Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

22 Tahun Reformasi: Das Sollen, Das Sein?

Soeharto menyatakan mundur dari jabatan Presiden pada 21 Mei 1998. Ini menandai berakhirnya era Orde Baru dan lahirnya era Reformasi.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in 22 Tahun Reformasi: Das Sollen, Das Sein?
Istimewa
Dr Anwar Budiman SH MH. 

Oleh: Dr Anwar Budiman SH MH

TRIBUNNEWS.COM - Soeharto menyatakan mundur dari jabatan Presiden pada 21 Mei 1998. Ini menandai berakhirnya era Orde Baru dan lahirnya era Reformasi.

Kini, apa yang terjadi (das sein), setelah 22 tahun era Reformasi bergulir dengan cita-citanya (das sollen)?

Das sollen? Sedikitnya ada enam tuntutan pokok ketika para mahasiswa mendesakkan Reformasi 1998.

Pertama, amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Kedua, penghapusan doktrin dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Ketiga, penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Berita Rekomendasi

Keempat, desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah. Kelima, mewujudkan kebebasan pers. Keenam, mewujudkan kehidupan demokrasi.

Das sein? Pertama, amandemen UUD 1945. Tahun 1999-2002 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali.

Lalu, hal-hal apa saja yang muncul sebagai implikasi empat kali amandemen konstitusi?

Terjadi perubahan struktur dan pola ketatanegaraan kita. Di ranah legislatif lahirlah Dewan Perwakilan Daerah (DPD), setelah ada MPR dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Setiap provinsi memiliki empat kursi perwakilan di DPD ini. Anggota MPR terdiri atas anggota DPD dan DPR.

Idealnya, anggota-anggota DPD terdiri atas tokoh-tokoh yang merupakan representasi daerah meskipun pemilihannya dilakukan lewat pemilu. Tapi faktanya banyak tokoh-tokoh partai politik yang baru melepaskan jabatan di parpol terpilih menjadi anggota DPD.

Keberadaan DPD ini mengacu sistem dua kamar seperti yang berlaku di Amerika Serikat, yakni legislatif dan senat, dan di Jepang, yakni majelis tinggi dan majelis rendah.

Dalam perjalanannya, tak jarang terjadi sengketa kewenangan antara DPD dan DPR, bahkan sering terjadi perebutan kewenangan dalam menyusun undang-undang.

Pemilihan anggota DPR dan DPD ini diwarnai money politics (politik uang) sehingga memunculkan high cost politics (politik berbiaya tinggi).

Akibatnya, lebih dari 100 oknum anggota DPR RI dan lebih dari 3.700 anggota DPRD terlibat korupsi. Bahkan oknum pimpinan DPR dan DPD harus mendekam di penjara karena korupsi.


Di ranah eksekutif, terjadi perubahan sistem pemilihan dari semula pemilihan tak langsung menjadi pemilihan langsung.

Presiden/Wakil Presiden semula dipilih oleh MPR, sekarang dipilih oleh rakyat melalui pemilu. Dari sisi demokrasi memang positif, tapi ada efek negatifnya, yakni maraknya konflik horisontal dan money politics.

Lembaga Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang dikonotasikan sebagai lembaga stempel pemerintah serta tempat "pembuangan" pensiunan kemudian dibubarkan dan diganti dengan Dewan Pertimbangan Presiden yang dalam praktiknya ternyata tak jauh berbeda dengan DPA.

Gubernur, bupati dan walikota yang semula dipilih DPRD kini juga dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu.

Akibatnya, tak sedikit kepala daerah yang tidak patuh dengan pemerintah pusat, karena mereka tak bisa dipecat oleh Presiden. Bahkan ada fenomena oknum-oknum kepala daerah menjadi raja-raja kecil di daerah.

Implikasinya, KKN pun marak di daerah, sehingga mengkhianati cita-cita Reformasi. Sejak pemilihan kepala daerah digelar secara langsung tahun 2004 hingga kini sekitar 400 kepala daerah terlibat korupsi.

Di ranah yudikatif, lahirlah Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY), di samping Mahkamah Agung (MA) yang sudah ada.

Pemilihan hakim agung MA, hakim konstitusi MK, dan komisioner KY melibatkan DPR melalui fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan).

Dalam perjalanannya, tak jarang terjadi sengketa kewenangan antara MA dan MK, dan antara MA dan KY terutama dalam rekrutmen hakim agung dan pengawasan hakim.

Ranah yudikatif juga tak lepas dari aroma korupsi, terbukti dengan adanya oknum Ketua MK dan hakim konstitusi MK, oknum hakim agung MA dan oknum komisioner KY yang terlibat korupsi.

Dalam pemberantasan korupsi, lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di samping Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung RI yang sudah ada. KPK berdiri tahun 2003 dengan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK yang kini sudah direvisi dengan UU No 19 Tahun 2019.

Dalam perjalanannya tak jarang terjadi sengketa kewenangan bahkan konflik antara KPK dan Kejagung, serta KPK dan Polri.

Istilah Cicak versus Buaya pun sempat mengemuka ketika terjadi konflik antara KPK dan Polri.

Kedua, penghapusan doktrin dwifungsi ABRI. ABRI saat ini telah berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Dwifungsi, atau tentara berperan dalam dua fungsi, yakni fungsi pertahanan dan keamanan serta fungsi sosial dan politik, kini telah dihapuskan. TNI kini hanya mengemban fungsi pertahanan dengan lahirnya UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Tidak itu saja, MPR juga memisahkan TNI dan Polri melalui Ketetapan MPR No VI Tahun 2000. Polri yang semula berada di bawah Panglima TNI kini berada langsung di bawah Presiden dengan lahirnya UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Mungkin karena ada shock culture (gegar budaya), yang semula di bawah bayang-bayang TNI kini berdiri sendiri dan sejajar dengan TNI, banyak kemudian oknum-oknum Polri bentrok dengan oknum-oknum TNI. Inilah efek negatifnya.

Karena sudah tak ada dwifungsi, maka bila ada prajurit TNI atau anggota Polri hendak mencalonkan diri untuk jabatan-jabatan sipil, seperti Presiden/Wapres, DPR, DPD, menteri, gubernur, bupati atau walikota, maka harus mengundurkan diri dari institusinya. Contohnya Agus Harimurti Yudhoyono saat akan maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

Ketiga, penegakan supremasi hukum, penghormatan HAM, dan pemberantasan korupsi.

Dalam rangka penegakan supremasi hukum, negara telah membentuk MK melalui UU No 24 Tahun 2003 yang diperbarui dengan UU No 8 Tahun 2011 tentang MK, dan KY melalui UU No 22 Tahun 2004 yang diperbarui dengan UU No 18 Tahun 2011 tentang KY, di samping MA yang sudah lebih dulu ada dengan UU No 14 Tahun 1985 yang diperbarui dengan UU No 5 Tahun 2004 tentang MA.

Dalam praktiknya, supremasi hukum masih jauh panggang dari api, karena penegakan hukum masih bernuansa politis sesuai selera atau kepentingan pemegang kuasa, baik di legislatif, yudikatif dan terutama di eksekutif.

Penegakan hukum belum sepenuhnya berpihak pada kebenaran dan keadilan. Pun, masih ada oknum-oknum penegak hukum nakal.

Penghormatan HAM? Selain Komisi Nasional (Komnas) HAM yang sudah ada sejak akhir era Orba, kini sudah ada Komnas Perempuan dan Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang bergerak di bidang perlindungan perempuan dan anak.

Juga ada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Pun, sudah ada UU No 23 Tahun 2002 yang diperbarui dengan UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Tapi, tak dapat dipungkiri masih banyak terjadi kasus pelanggaran HAM.

Pemberantasan KKN? Selain sudah ada Polri dan Kejagung, kini juga ada KPK. Ironisnya, kasus korupsi bukannya berkurang tapi malah bertambah.

Mungkin karena sebelum Reformasi kasus-kasus korupsi tidak ada yang mengungkap.

Kemungkinan lain karena efek dari pemilu langsung itu. Kini bahkan korupsi masuk desa dengan adanya Dana Desa. Ratusan kepala desa dan perangkat desa di seluruh Indonesia sudah menjadi tersangka korupsi Dana Desa.

Keempat, desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah.

Pemerintah pusat telah melakukan desentralisasi kepada daerah-daerah melalui otonomi daerah, termasuk soal anggaran melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH), di samping kepala daerah yang dipilih secara langsung. Papua, Papua Barat dan Aceh bahkan dijadikan daerah otonomi khusus, di samping Jakarta sebagai daerah khusus ibu kota, dan Yogyakarta sebagai daerah istimewa.

Namun, otonomi daerah dan pilkada langsung membawa efek negatif, yakni munculnya raja-raja kecil di daerah, dan aturan yang mereka buat pun bisa tidak sinkron dengan aturan pusat.

Inilah salah satu pemicu korupsi di daerah, dan penghambat investasi.

Mewujudkan kebebasan pers? Begitu BJ Habibie naik menjadi Presiden menggantikan Pak Harto, keran kebebasan pers langsung dibuka dengan lahirnya UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Pemberedelan pers diharamkan. Departemen Penerangan dibubarkan, diganti dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi. Maka lahirlah media massa-media massa baru baik cetak, elektronik, maupun online atau daring (dalam jaringan). Ratusan bahkan ribuan media baru bermunculan bak jamur di musim penghujan.

Efek negatifnya, kebebasan pers ada yang menyalahgunakan sehingga kebablasan.

Kini, selain media massa, juga tumbuh subur media sosial di internet seperti Facebook, Instagram, WhatsApp dan sebagainya yang lebih bebas daripada media massa. Lalu lahirlah UU No 11 Tahun 2008 yang diperbarui dengan UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Betapa banyak orang yang sudah terjerat UU ITE ini.

Keenam, mewujudkan kehidupan demokrasi? Selain kebebasan pers, negara juga tidak membatasi jumlah parpol. Bila pada era Orba hanya dibatasi dua parpol, yakni Partai Persatuan Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), serta satu Golongan Karya (Golkar), maka pada era Reformasi ini jumlah parpol tidak dibatasi.

Parpol pun bermunculan bak jamur di musim penghujan. Ada puluhan bahkan ratusan parpol yang lahir, tapi tak semua bisa ikut pemilu. UU hanya mengatur parpol-parpol yang berhak ikut pemilu, yakni yang memenuhi parliament threshold atau ambang batas parlemen.

Pemilu pertama di era Reformasi (1999) diikuti oleh 48 parpol, pemilu kedua (2004) diikuti oleh 24 parpol, pemilu ketiga (2009) diikuti oleh 18 parpol, pemilu keempat (2014) diikuti oleh 10 parpol, dan pemilu kelima (2019) diikuti oleh 14 parpol.

Ditambah dengan pilpres dan pilkada, Indonesia mencatat rekor tertinggi sebagai negara yang paling banyak menyelenggarakan pemilu.

Selain kegaduhan politik, efek samping dari banyaknya pemilu adalah konflik horisontal. Keamanan rawan. Akibatnya, tak banyak investor yang mau menanamkan modalnya di Indonesia. Demokrasi yang dicita-citakan gerakan Reformasi pun sering kebablasan.

Pendek kata, das sein selama era Reformasi masih jauh dari das sollen atau yang dicita-citakan para mahasiswa.

Bila dipadatkan, cita-cita gerakan Reformasi adalah terwujudnya keadilan dan kemakmuran. Keduanya sampai saat ini masih jauh panggang dari api. Inilah tantangan kita bersama sebagai bangsa.

* Dr Anwar Budiman SH MH: Advokat/Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas