Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
New Normal, Budaya Malu, dan Berita Nyesek Slavoj Žižek
Janji Jokowi untuk mengadakan test masif terhadap virus ini sulit ditepati karena biaya yang dikeluarkan sangatlah besar.
Editor: Sri Juliati
Oleh: Xavier Quentin Pranata, Kolumnis dan Penulis Buku
“New Normal? Ah, gombal!” Bisa jadi itulah yang keluar dari mulut sebagian kita.
Mengapa? Karena kelaziman baru ini sebenarnya adalah eufemisme dari apa yang bisa jadi tagar yang gahar #pemerintahnyerah.
Dari Gagah sampai Nyerah
Sejak Covid-19 menghajar dunia sampai hampir koit, buku PANDEMIC!: Covid-19 Shakes the World karya Slavoj Žižek menjadi populer.
Filsuf psikoanalitik Slovenia ini memberikan road map respons setiap orang (baca = negara) menghadapi pandemi virus yang sangat menular ini.
Pertama, mirip dengan orang yang mengalami bencana dari putus cinta sampai kehilangan orang terkasih denial.
Penyangkalan diri ini sebagai bagian dari defence mechanism untuk tetap waras.
Bukankah banyak di antara kita yang saat tragedi menimpa bisa nekat sampai gila dan merasa semua itu hanya mimpi. Sikap ini sungguh berbahaya.
Wilayah atau negara yang mengklaim dirinya green zone, bisa jadi justru merah membara.
Dari berita yang kita dapatkan, bukankah negara maju seperti China, Eropa dan Amerika, termasuk Singapura, yang persentase penduduk yang terjangkit penyakit sulit ini tinggi dibandingkan negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia?
Mengapa bisa demikian? Apakah betul, negara-negara yang katanya bebas korona memang sungguh-sungguh tidak terjangkit? Atau karena tidak diungkit?
Penyebabnya sederhana: dua M.
M yang pertama adalah ‘Malu’. Siapa yang senang kalau negaranya dianggap sumber penyakit? M yang kedua adalah ‘Mahal’.
Janji Jokowi untuk mengadakan test masif terhadap virus ini sulit ditepati karena biaya yang dikeluarkan untuk melakukan test korona terhadap 269 juta penduduk Indonesia sangatlah besar.
Kedua, anger. Banyak pihak yang marah terhadap virus ini sehingga mencari sumber penyebar sampai kambing hitam.
Bisa saja kambing hitam marah sama kelelawar hitam yang disinyalir menjadi salah satu sumber virus yang katanya asal Wuhan ini.
Karena virus ini banyak orang yang kehilangan pekerjaan sehingga menjadi marah. From hunger to anger sudah jadi kenyataan.
Dalam perjalanan untuk shooting untuk mengisi content YouTube, saya melihat pedagang sayur yang marah karena dagangannya tidak laku.
Di video yang menjadi viral, ada serombongan pedagang sayur segar yang membuang dagangannya ke sungai dengan alasan yang sama.
Orang yang lapar bukan hanya menggelepar dan terkapar, tetapi juga jadi sangar dan mengumbar angkara murka.
Ketiga, bargaining. Posisi tawar-menawar antara pertimbangan medis dan kepentingan ekonomi sama kuatnya.
Tarik tambang sudut pandang yang sama kuatnya ini membuat pemerintah bukan saja bimbang, melainkan mengalami pneumonia.
Siapa yang tidak sesak nafas saat tabungan menipis tetapi pengeluaran naik drastis? Siapa yang kembali jadi korban?
Jika dua raksasa berkelahi, kurcaci yang ada di tengah ngacir dan kucar-kacir.
Keempat, depression. Kekecewaan dan keputusasaan bisa berlanjut ke depresi.
Orang yang terserang depresi bisa putus asa karena merasa tidak berdaya, bahkan tidak berharga, sampai ujungnya sulit berpikir, berkonsentrasi, apalagi mengambil keputusan.
Jika itu yang terjadi, termasuk pemerintah, bisa jadi mengambil langkah mengibarkan bendera putih atau melempar handuk, padahal, kita tidak boleh kalah melawan wabah.
Depresi tidak menyelesaikan masalah, apalagi menganggapnya hanya mimpi buruk yang berakhir saat kita buang.
If you are chronically down, it is a lifelong fight to keep from sinking, ujar Elizabeth Lee Wurtzel.
Penulis Amerika ini sangat paham apa artinya depresi karena mengalaminya sendiri. Meski begitu, dia bertempur agar tidak hancur dan gugur.
Kelima, acceptance. Inilah langkah terakhir saat kita tidak lagi mampu berpikir.
Saat seorang yang dikejar musuh terdesak ke tembok tebal dan tinggi, tindakan rasional adalah melawan habis-habisan atau menyerah dengan harapan diberi pengampunan.
Bukankah saat ini ungkapan berdamai dengan korona makin sering kita dengar?
Inilah tatanan baru yang terus-menerus didengungkan pemerintah.
Untuk apa? Paling tidak ada dua alasan, yaitu agar kita terbiasa dan akhirnya melakukannya.
Kalau Nggak Bisa Mikir Jangan Nyinyir
Pernah dengar kalimat ini?
Ungkapan itu kalau dipikir-pikir, juga merupakan ketidakmampuan kita untuk ikut dalam barisan pemecah masalah dan justru menambah beban yang di atas.
Siapa yang di atas? Bisa pemerintah sampai Tuhan.
Bukankah ada yang menyalahkan Sang Pencipta dengan ungkapan: Mengapa Tuhan membiarkan virus mematikan ini merajalela?
Di satu sisi, tiba-tiba saja dunia dipenuhi para pakar yang semua merasa paling pintar memberikan pencerahan.
Saat SARS edisi pertama muncul pada 2002 dan dikenal secara luas pada 2003, saya bersama sahabat dokter, berkolaborasi menulis buku saku tentang virus yang mirip dengan Covid-19 ini.
Tentu saja, saya tidak mendudukkan diri saya sebagai orang yang pakar virus.
Tujuan utama saya adalah ikut menyumbangkan pemikiran, walaupun itu hanya setetes embun di samudra bernama Indonesia.
Kehadiran buku PANDEMIC! karya Slavoj Žižek jelas memberikan sumbangsih yang jauh lebih besar lagi.
Dalam usia 71 tahun, pemikir luar biasa dari Slovenia ini memberikan sinar pemikiran yang terus berpijar.
Salah satu ‘saran’ yang dia lontarkan, dengan bahasa sederhana adalah menerapkan pola komunis modern.
Jangan alergi dulu dengan kata komunis yang dipakai di sini. Maknanya bisa kita cerna dengan ilustrasi berikut.
Seorang nahkoda yang terkenal lembut, penyabar dan penuh kasih ini tiba-tiba mengeluarkan pistolnya, mengacungkannya dan membentak ABK: Tiarap atau saya tembak!
Meskipun kaget dengan ucapan dan tindakan pemimpinnya yang tidak biasa itu, mereka patuh.
Pada saat itulah mereka terhindar dari maut. Ternyata tiang kapal patah dan ada kawat baja yang menyambar geladak.
Seandainya mereka terlambat satu detik saja, nyawa mereka bisa melayang.
Slavoj Žižek sadar betul kegawat-daruratan dunia sehingga di awal bukunya menulis ‘Noli Me Tangere’ yang mengambil peristiwa saat Yesus bangkit dan berkata kepada Maria Magdalena: “Janganlah engkau memegang Aku."
Versi King James lebih tegas lagi, Touch me not. Meski selama PSBB kita diminta untuk jaga jarak, masih banyak masyarakat yang bandel.
Di sikon yang sungguh mengkhawatirkan seperti saat ini, peran keras dan tegas dari yang di atas sangat diperlukan.
Mengapa? Karena keputusan apa pun yang diambil, tetap salah dan disalahkan.
Lemah dianggap plonga-plongo dan plin-plan.
Kalau tegas? Bisa dianggap otoriter.
Dalam sikon genting seperti ini, tampaknya tidak ada pilihan lain. Kendor atau di-dor.
Terbukti di negara-negara yang tegas dan keras menegakkan disiplin (baca = RRT), kurva penurunan orang yang terjangkit turun drastis.
Sebaliknya di negara yang ambigu dan ragu-ragu, kurva pandemik ini justru semakin naik.
Dengan jumlah korban yang sudah demikian besar, rekan-rekan dokter mengatakan bahwa kurvanya belum mencapai titik puncak.
Dari kajian yang tidak remeh temeh inilah jangan ada di antara kita yang menganggap pemikiran Slavoj Žižek remah-remah belaka.
Apalagi yang alergi terhadap filsul sehingga berkata, “Filsafat tidak mampu membuat roti”, sindiran yang justru menjauhkan kita dari persoalan yang sesungguhnya.
Apalagi orang-orang yang dengan sinis berpendapat, “Peraturan itu dibuat untuk dilanggar."
Jangan sampai kita diejek sebagai generasi +62 yang tidak tahu apa-apa tetapi sok tahu. (*)