Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Masih Relevankah Pancasila?

Pancasila hanya ramai dipidatokan di dalam acara-acara seremoni kenegaraan, kepartaian, dan kantor-kantor.

Editor: Hasanudin Aco

Oleh: Dr Anwar Budiman SH MH

TRIBUNNEWS.COM- Masih relevankah Pancasila

Pertanyaan bernada gugatan ini patut kita lontarkan di hari lahir Pancasila kemarin, hari di mana untuk pertama kalinya istilah Pancasila disebut Bung Karno dalam pidatonya di depan rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945. Betapa tidak?

Pancasila kini seakan telah kehilangan nilai-nilai praksisnya. 

Cita-cita luhur yang termaktub di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, di mana Pancasila ada di dalamnya, yang muaranya adalah keadilan dan kesejahteraan rakyat, masih jauh panggang dari api. 

Pancasila hanya ramai dipidatokan di dalam acara-acara seremoni kenegaraan, kepartaian, dan kantor-kantor. 

Kalau sudah dipidatokan, seolah-olah Pancasila sudah diamalkan. Seolah-olah bangsa ini sudah hebat. 

Berita Rekomendasi

Pengamalan Pancasila hanya sebatas retorika. 

Akibatnya, Pancasila kehilangan nilai-nilai praksisnya. 

Akibat lanjutannya, tak sedikit di antara anak bamgsa yang mencari-cari ideologi alternatif, baik ideologi lama maupun ideologi baru, meski masih berkisar pada ekstrem kanan dan ekstrem kiri.

Dalam 10 tahun terakhir, aspirasi ekstrem kanan marak di Indonesia. 

Sekadar contoh, baru-baru ini polisi mengamankan sepasang suami-istri saat mereka sedang menyebarkan pamflet paham khilafah di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Ada pula ribuan orang yang rela bergabung dengan Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) di Timur Tengah untuk bertempur melawan tentara pemerintah yang sah. 

Ketika kemudian terlunta-lunta di negeri orang, mereka berniat pulang ke Indonesia. Mereka merasa tertipu oleh ISIS. 

Kalau sudah begini, siapa yang harus bertanggung jawab? 

Lalu bagaimana seharusnya sikap pemerintah, memulangkan mereka ke Tanah Air atau membiarkan mereka terlunta-lunta di negeri orang? 

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan agar negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. 

Namun di sisi lain, dengan mereka membakar paspor Indonesia, Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan bersumpah setia kepada tentara negara asing, maka secara otomatis kewarganegaraan Indonesia mereka gugur, sesuai ketentuan UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Di sinilah pemerintah menghadapi buah simalakama. 

Aksi-aksi terorisme yang diasosiasikan dengan paham radikalisme juga marak di Indonesia. 

Ribuan tersangka teroris telah ditangkap, tapi aksi-aksi terorisme tetap marak. 

Di pihak lain, komunisme tak kunjung mati. Pada 11 Mei 2020 lalu, misalnya, sebuah bendera Merah Putih yang dibubuhi logo palu arit, yang identik dengan logo Partai Komunis Indonesia (PKI), berkibar di kawasan Kampus Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, dan hingga kini proses hukum kasus ini masih berlangsung. 

Mengapa bahaya laten, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri di Indonesia tak mati-mati? 

Tak berlebihan kiranya bila dikatakan karena Pancasila belum bisa memuaskan semua pihak. 

Pancasila belum mampu memberi solusi atas problem-problem yang nenghantui bangsa ini, terutama problem keadilan dan kesejahteraan. 

Relevansi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pun dipertanyakan. 

Misalnya, kalau memang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, mengapa aktivitas-aktivitas keagamaan marak, tapi di saat yang sama korupsi yang jelas-jelas diharamkan agama juga marak?

Bila ber-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, mengapa masih banyak fakir miskin dan anak-anak terlantar yang tidak dipelihara oleh negara, sebagaimana diamanatkan Pasal 34 UUD 1945?

Bila ber-Persatuan Indonesia, mengapa masih banyak konflik sosial di negeri ini? Mengapa masih ada kelompok seperatis di Papua? 

Mengapa elite-elite politik kita masih suka gontok-gontokan?

Bila ber-Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, mengapa tidak ada lagi musyawarah untuk mufakat?

Mengapa yang ada voting atau pemungutan suara, sehingga yang kuatlah yang menang, dan berlaku hukum rimba, homo homini lupus?

Bila ber-Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, mengapa kesenjangan sosial semakin melebar, orang kaya yang jumlahnya hanya 4% menguasai perekonomian nasional dan hajat hidup 96% rakyat lainnya?

Mengapa sistem perekonomian dengan asas kekeluargaan (koperasi) seperti yang diamanatkan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 mati suri, dan yang berkembang justru sistem ekonomi liberal kapitalis, atau yang berkembang konglomerasi? 

Itulah sederet pertanyaan yang muaranya adalah pertanyaan bernada gugatan: masih relevankah Pancasila

Pancasila adalah ideologi jalan tengah di antara komunisme dan kapitalisme. 

Pancasila adalah ideologi paling tepat bagi Indonesia sebagai bangsa yang pluralis atau ber-Bhinneka Tunggal Ika. 

Para founding fathers bangsa ini menggali nilai-nilai luhur Pancasila dari Bumi Pertiwi sehingga cocok pula bagi bangsa ini. 

Jadi, Pancasila akan senantiasa relevan bagi bangsa ini, dengan catatan diimplementasikan dengan sungguh-sungguh, bukan sebatas retorika.

Alhasil, Pancasila tak lebih dari sekadar teks dan kata-kata bila telah kehilangan nilai-nilai praksisnya, karena tidak diamalkan dengan sungguh-sungguh. 

Pengamalan Pancasila yang riil dan konkret terdapat dalam aturan perundang-undangan yang dibuat eksekutif dan legislatif, serta kebijakan-kebijakan pemerintah.

Bila semua regulasi dan kebijakan pemerintah sudah senafas dengan Pancasila, di situlah Pancasila akan menemukan kesaktiannya yang tak akan tergoyahkan oleh ideologi lain. 

Anak-anak bangsa ini pun tak akan lagi mencari-cari ideologi alternatif.

Bila Pancasila telah kehilangan nilai-nilai praksisnya maka jangan berharap gerakan laten ekstrem kanan dan ekstrem kiri akan mati.

*Dr Anwar Budiman SH MH: Advokat/Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas