Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kasus Novel dan Amsal Pertunjukan Wayang
"Borok-borok" Jaksa Fedrik pun mulai dikorek. Fedrik dikulik. Fedrik seakan telah menjadi "public enemy" atau musuh publik.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Kita tentu tak asing lagi dengan "wayang", kesenian tradisional asal Jawa, yang kerap digelar dalam acara-acara tertentu seperti khitanan, perkawinan, hingga Agustusan.
Pertunjukan wayang menyaratkan adanya wayang itu sendiri, "dalang" (sutradara), "lakon" (skenario), "kelir" (layar), "gamelan" (musik), "niyaga" (pemusik) dan "waranggana" atau "pesinden" (penyanyi).
Agar pertunjukan wayang dapat berlangsung dengan baik, maka diperlukan kekompakan dan kerja sama semua komponen tersebut, sesuai peran masing-masing.
"Wayang", yang berarti "bayangan" (karena jika dilihat dari balik layar yang tampak hanya bayangannya), peran, gerak-gerik, dialog, dan pola permainannya tergantung dalang yang memainkannya.
Sedangkan dalang, dalam memainkan wayang, tergantung skenario atau jalan ceritanya.
Robertino Fedrik Adhar Syaripuddin, salah seorang Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan perkara penyiraman air keras penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (11/6/2020), pun tampaknya tak lebih dari sekadar wayang yang dimainkan dalang.
Dus, mengikuti jalannya persidangan kasus Novel Baswedan, kita serasa menonton pertunjukan wayang yang mirip film, drama atau sandiwara.
Sang wayang, yakni Jaksa Fedrik, gegara menuntut Ronny Bugis dan Rahmat Kadir, oknum polisi yang menjadi terdakwa penyiram air keras terhadap Novel Baswedan, dengan hukuman 1 tahun penjara, langsung menjadi "center point" atau titik pusat perhatian publik, terutama para pendamba keadilan di negeri ini.
"Borok-borok" Jaksa Fedrik pun mulai dikorek. Fedrik dikulik. Fedrik seakan telah menjadi "public enemy" atau musuh publik.
Padahal, Fedrik tak lebih dari sekadar wayang yang dimainkan oleh dalang.
Ingat Fedrik, ingat pula Jaksa Cirus Sinaga dalam persidangan perkara pembunuhan Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarnaen di PN Jakarta Selatan, 19 Januari 2010, dengan terdakwa mantan Ketua KPK Antasari Azhar.
Seperti Fedrik, Cirus pun tampaknya tak lebih dari sekadar wayang. Bedanya, Cirus menuntut terdakwa dengan hukuman maksimal, yakni hukuman mati, sedangkan Fedrik menuntut terdakwa dengan hukuman minimal: 1 tahun penjara!
Antasari akhirnya divonis 18 tahun penjara pada 11 Februari 2010.
Bagaimana dengan Ronny dan Rahmat? Mereka bisa divonis 6 bulan penjara bahkan bebas.
Dua terdakwa, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir, dituntut dengan dakwaan subsider, yakni Pasal 353 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan dengan rencana, yang ancaman pidana maksimalnya tujuh tahun penjara. JPU tidak menggunakan dakwaan primer, yakni Pasal 355 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan berat dengan rencana, yang ancaman hukumannya 12 tahun penjara, karena menganggap hal itu tidak terbukti.
Menurut JPU, Ronny dan Rahmat "tidak ada niat melukai" Novel. Mereka hanya "ingin memberikan pelajaran", dengan menyiramkan air keras ke tubuh Novel, tapi tak sengaja mengenai muka.
Novel yang diserang orang tak dikenal pada 11 April 2017 di dekat kediamannya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, dalam perjalanan pulang salat subuh dari madjid kompleks perumahannya, kini menderita cacat seumur hidup.
Bola mata kiri Novel tak berfungsi alias buta, meskipun sudah menjalani operasi di Singapura.
Terlepas dari "track records" atau rekam jejak Novel yang kontoversial dan penuh misteri, terutama saat menjabat Kepala Satuan Reserse Polresta Bengkulu tahun 2004, dakwaan bagi terdakwa penyerang Novel itu tidak adil.
Bagaimana bisa penyiraman dengan air keras jenis asam sulfat atau H2SO4 itu disebut tak ada niat?
Di sinilah kejanggalan berpangkal.
Lebih janggal lagi ketika JPU mengajukan tuntutan 1 tahun penjara dipotong masa tahanan terhadap kedua terdakwa.
Tuntutan ini dinilai melukai rasa keadilan publik. Tuntutan ini kemudian dibandingkan dengan kasus serupa yang antara lain terjadi di Jawa Tengah, Jawa, Timur, dan Bengkulu, di mana, terdakwa pelaku penyiraman dengan air keras dihukum 8, 10 hingga 12 tahun penjara.
Publik pun geram. Sebagian mereka mulai mengorek "borok" dan mengulik "dosa" Jaksa Fedrik melalui jejak digital di akun media sosialnya.
Misalnya, postingan di Facebook yang katanya milik Fedrik pada 2016, yang belakangan ini ramai dibahas di media.
Katanya akun Facebook milik Jaksa Fedrik itu menyindir OTT KPK.
Dan isu-isu lainnya terhadap Fedrik yang banyak beredar di media sosial.
Entah "borok" apa lagi yang hendak dikulik publik dari Jaksa Fedrik. Yang jelas, perannya sebagai wayang dalam persidangan perkara Novel telah menarik perhatian publik.
Tuntutannya terhadap dua terdakwa dinilai janggal, melengkapi puluhan kejanggalan lainnya, dan melukai rasa keadilan publik.
Bila memang Fedrik hanya sekadar wayang, begitu pula Ronny Bugis dan Rahmat Kadir yang terkesan mudah "menyerah", lantas siapakah dalang (sutradara) sekaligus penulis skenarionya?
Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, sinyalemen Novel Baswedan tampaknya patut dipertimbangkan. Novel pernah mensinyalir ada oknum jenderal yang diduga terlibat dalam kasus teror yang menimpa dirinya.
Apakah dalang atau sutradara sekaligus penulis skenario pertunjukan wayang atau sandiwara kasus Novel itu adalah oknum jenderal tersebut? Kita tidak tahu pasti, dan mungkin tak bisa berharap banyak.
Sebab, berharap terungkap dan tertangkap siapa aktor intelektual di balik dua terdakwa, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir, yang kita tengarai sekadar "stuntman" atau pemeran pengganti, seperti menunggu Godot yang tak jelas kapan datangnya, bahkan mungkin tak akan pernah datang.
Maklum, teror Novel Baswedan ini merupakan "high profile" atau kasus kakap yang aromanya menyerupai kasus Antasari Azhar dan kasus Munir yang diduga sarat rekayasa.
Maka jangan berharap pelaku sesungguhnya, dalang (sutradara) atau penulis skenarionya akan terungkap apalagi tertangkap. Yang muncul di permukaan adalah sekadar eksekutor lapangan atau bahkan "stuntman", sementara "intelectual dadder" atau aktor intelektualnya tak tersentuh. Mereka adalah "invisible hands" dan juga "superman" yang berperan di balik layar.
Alhasil, benar kata Tere Liye (41) bahwa di negeri para pedebah kisah fiksi kalah seru dibanding kisah nyata.
Benar pula kata Taufiq Ismail (85) bahwa dunia ini panggung sandiwara: ada peran wajar, ada peran berpura-pura!
* Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.