Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menggerek UMKM Menjadi Panglima Ekonomi Nasional
UMKM adalah benteng terakhir dari perekonomian nasional yang menjadi tempat bernaung paling tidak hingga lebih separuh rakyat Indonesia.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Veldy Reynold
TRIBUNNEWS.COM - Beberapa bulan ini, kita serasa takluk dalam kekuasaan Covid-19.
Ia tak hanya menggerus masalah kesehatan masyarakat tapi juga merambat pada sektor ekonomi yang ikut porakporanda.
Bagaikan panas setahun dihapuskan hujan sehari, seperti itu pula ekonomi kita.
Kekuatan ekonomi yang telah dibangun bertahun-tahun tiba-tiba ambrol karena masalah pandemik Covid-19 yang tanpa ampun merubah banyak konsensus di berbagai lini kehidupan.
Dari semua yang terpukul itu, tak terkecuali bisnis dilingkup masyarakat akar rumput yang menguasai sektor riil yang dikenal dengan usaha kecil mikro dan menengah atau UMKM.
Padahal UMKM adalah benteng terakhir dari perekonomian nasional yang menjadi tempat bernaung paling tidak hingga lebih separuh rakyat Indonesia.
Menurut data Kementerian Koperasi dan UMKM Republik Indonesia hingga tahun 2018, tak kurang 62.9 juta unit usaha dengan menyerap sekitar lebih dari 120 juta jiwa tenaga kerja di Indonesia.
Baca: Masyarakat Diminta Beli Produk UMKM untuk Pulihkan Ekonomi Nasional
Dengan kata lain, mayoritas serapan tenaga kerja Indonesia justru berada pada sektor UMKM yang tersebar di berbagai sektor baik jasa, industri pengolahan dan perdagangan.
Bila kita menggunakan kriteria UMKM berdasarkan Undang-undang UMKM No. 20 Tahun 2008 dengan kisaran pendapatan minimal omset 300 juta sampai 2.5 milyar perbulan, maka bila rata-rata pendapatan per bulan UMKM sebesar 15 juta itu hilang maka, bila dihitung selama 2 semester berjalan total potensi kerugian UMKM sekitar 10.080 triliun.
Bila dilihat dari total PDB Indonesia yang berkisar pada 15.000 triliun, maka kontribusi lost dari kerugian UMKM ini sebesar 66%.
Dengan kata lain. Bila UMKM kita ambruk maka secara keseluruhan ekonomi Indonesia juga runtuh.
Menyadari betapa pentingnya UMKM kita, maka pemerintahpun menggelontorkan anggaran dalam konteks Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar 123,46 triliun untuk menjaga kestabilan ekonomi nasional.
Walaupun apabila jumlah dana itu yang notebene kurang lebih 15% dari APBN itu terserap dengan benar ke UMKM, kita yakin negara ini tidak saja akan stabil ekonominya tapi pasti akan meroket.
Pasalnya, selama ini program bantuan tersebut kadang masih tersendat dan terkendala proses teknis.
Namun, dengan dipercayakannya BRI sebagai Lembaga keuangan yang mengelola penyaluran dana ini maka kita harapkan pemulihan ekonomi nasional akan lebih cepat dari yang diperkirakan.
Kenapa? Sejatinya UMKM adalah pilar ekonomi bangsa yang sudah teruji. Kita lihat
peristiwa krisis moneter 1998 serta berbagai fase kondisi ekonomi Indonesia yang terpojok baik karena faktor politik nasional atau karena imbas krisis ekonomi interanasional seperti yang dihadapi ketika krisis di Yunani tahun 2015 silam.
Dan ini telah membuktikan bahwa UMKM kita benar-benar tangguh menjadi benteng terakhir pertahanan ekonomi nasional.
Hanya saja, tentu sangat miris karena selama ini UMKM hanya menjadi formalitas untuk menyebut program yang telah dibuat seolah-olah berpihak kepada usaha kerakyatan.
Tapi faktanya, dari tahun ke tahun, dari presiden satu ke presiden yang berikutnya, UMKM terus menjadi lagu lama yang diputar-putar tanpa memberi dampak signifikan bagi UMKM itu sendiri.
Kemewahan Baru di Kebiasaan Baru Kini di era pandemi ini, tiba-tiba pemerintah melakukan tindakan pencegahan yang cepat dan nyata dengan langsung menggelontorkan dana yang sangat besar ini.
Ini jelas menunjukkan keberpihakan yang super serius dari pemerintah. Tapi juga sekaligus memberikan PR besar bagi semua pihak.
Bertapa tidak, mengelola dana sebesar itu tentu tidak sederhana karena beberapa hal berikut :
Pertama, lembaga keuangan yang ditunjuk tentu harus bisa mengatur arus dana yang
mengalir ke bawah sesuai dengan harapan dari Pemerintah.
Selain itu lembaga ini harus memahami tujuan program ini hingga ke tingkat ksekutor paling bawah agar prioritas penanganannya ada pada program penyelamatan UMKM, bukan soal business as usual sebuah korporasi.
Kedua, bagi UMKM ini adalah kemewahan baru. Ini bagaikan durian runtuh. Apalagi di
tengah pandemic ini. Memang selama ini UMKM ingin sekali mendapat kepastian atas
kekuatan modal usahanya agar lebih leluasa berusaha.
Yang ketiga, semua UMKM ingin naik kelas.
Mulai dari mikro ke kategori kecil. Kemudian bergerak menjadi menengah dan kalau bisa menjadi usaha besar.
Bagi UMKM kata ini sebenarnya adalah kerangkeng yang membelenggu usahanya. Mau maju tidak cukup modal. Mau bertahan harus kuat dihantam berbagai masalah. Sementara kondisinya sangat rentan terhadap keberlangsungan bisnisnya.
Maka, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan program jaringan pengaman sektor riil ini sudah jelas menjadi solusi dari kondisi ekonomi kita. Sekali dayung beberapa pulau terlampaui.
Penguatan UMKM sama seperti memperkuat sektor riil dan menjaga stabilitas ekonomi nasional, sekaligus menjadi pilar penyanggah ekonomi nasional yang kokoh karena ditopang oleh tiang-tiang UMKM yang tangguh, yang sudah teruji dan tahan banting.
Karena itu, mari menempatkan UMKM tidak semata sebagai obyek program apapun yang berbauh berpihak kepada rakyat banyak, tapi benar-benarlah menjadikannya sebagai panglima perekonomian nasional.
Dengan UMKM kuat. UMKM jadi panglima, maka perekonomian nasional bakal meroket dan menjadikan Indonesia semakin maju, adil Makmur dan sejahtera.
* Veldy Reynold: Ketua Umum UMKM Tangguh Indonesia