Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Batik Dalam Pemaknaan Kualitas Pelayanan Publik

Batik berasal dari bahasa Jawa yaitu “amba” yang berarti tulis dan “nitik” yang berarti titik. Yang dimaksud ialah menulis dengan lilin.

Editor: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Batik Dalam Pemaknaan Kualitas Pelayanan Publik
Koleksi Pribadi RES Fobia
RES Fobia, Dosen FH UKSW Salatiga menyambut putri Gus Dur, Yenni Wahid yang diundang sebagai pembicara sebuah forum di kampus tersebut beberapa waktu lalu. 

OLEH : RES FOBIA, Dosen FH UKSW Salatiga; Alumni FH UNS, Graduate School of Policy Studies Kwansei Gakuin University, Japan

RES Fobia Sambut Hari Batik 2020
RES Fobia, Dosen FH UKSW Salatiga, mengulas filosofi batik dan perspektifnya ke isu pelayanan publik.

UNESCO telah menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity), pada 2 Oktober 2009.

Pemerintah Indonesia kemudian menetapkan tanggal ini sebagai Hari Batik Nasional. Iskandar dan Eny Kustiyah (2017), menyebutkan elemen-elemen yang mendukung batik sebagai Indonesian Cultural Heritage ialah (1) perajin batik dan industri batik, (2) event batik; (3) museum batik, dan (4) batik sebagai tujuan wisata.

Tulisan populer ini masih harus dibaca berdasarkan banyaknya kajian akademik tentang batik.

Walau demikian, sebaiknya diperhatikan suatu hal yang setidaknya menurut penulis penting adanya, yaitu kearifan tradisional sering menginspirasi kerja kontemporer. Batik yang senyatanya sangat maknawi dapat membahani kualitas pelayanan publik.

Sekilas Tentang Batik

Dalam khasanah kebudayaan, batik merupakan salah satu bentuk seni kuno yang adiluhung.

Berita Rekomendasi

Batik berasal dari bahasa Jawa yaitu “amba” yang berarti tulis dan “nitik” yang berarti titik. Yang dimaksud ialah menulis dengan lilin.

Membatik di atas kain menggunakan canting yang ujungnya kecil memberi kesan “orang sedang menulis titik-titik”.

Batik adalah seni gambar di atas kain untuk pakaian. Seni gambar ini tidaklah asal menggambar saja akan tetapi motif apa yang digambar juga memiliki makna filosofis.

Filosofi motif batik ini berkaitan erat dengan kebudayaan Jawa yang sangat kental dengan simbol-simbol yang sudah mengakar kuat dalam falsafah kehidupan masyarakat Jawa (Iskandar & Eny Kustiyah; 2017).

Keduanya menyebutkan, berkenaan dengan warisan budaya adiluhung berupa seni batik, maka eksistensi batik mengalami pasang surut dalam pencarian dan penemuan identitas kulturalnya.

Kesadaran akan identitas kultural ini melalui proses panjang dimulai dari unexamied cultural identity, cultural identity search sampai dengan cultural identity achievement.

Saat ini, Indonesia telah mencapai cultural identity achievement dengan dikukuhkannya batik sebagai intangible culture dari Indonesia oleh UNESCO.

Pencapaian cultural identity achievement ini mendapatkan tantangan dari globalisasi yang mengusung panji-panji kapitalisme.

Dengan adanya gempuran dahsyat budaya asing yang mengalir dalam derasnya globalisasi, maka bangsa Indonesia sudah sepatutnya mengambil sikap yakni mempertahankan nilai-nilai dan beliefs system melalui karya seni batik yang menjadi ciri khas bangsa Indoesia.

Sebab batik merupakan identitas, penjelasan strata sosial, bahasa kebudayaan, spiritualitas manusia, penemuan teknologi, dan perjalanan suatu peradaban yang menjadi identitas bangsa Indonesia.

Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan bahan malam (wax) yang diaplikasikan ke atas kain sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye) atau dalam bahasa Inggrisnya “wax resist dyeing” (Sularso dkk.; 2009).

Sehubungan pemahaman tentang batik maka Kasiyan (dalam Sariyatun 2018), mengatakan dua hal penting: (1) pengkritisan atas dimensi sosiologis yakni bagaimana budaya batik dipahami dalam kesadaran dalam lingkungan masyarakat kontemporer; (2) pengkritisan dari dimensi akademis untuk mencermati bagaimana sesungguhnya nilai-nilai filosofis batik mendapatkan ruang concern sebagai disiplin kajian.

Van Roojen (2001) menyatakan apa yang dimaksud batik klasik bersumber pada arus budaya yang mendasarinya yakni pada masa kerajaan Mataram II (1575-1755) di pulau Jawa.

Adapun istilah klasik merujuk pada ragam hias dari masa pra-Hindu, Hindu-Jawa Majapahit dan masa kesultanan yang berasal dari pengaruh kerajaan Islam Demak dan Pajang.

Tentang fungsinya, Batik Jawa terkenal sangat intricate yang berarti memiliki tingkat kerumitan tinggi dalam hal motif dan pewarnaan.

Dalam hal motif, batik Jawa memiliki motif-motif yang kental akan filosofi hidup. Batik dengan ragam hias dan motifnya telah mengakar dalam kebudayaan Jawa dan mempunyai fungsi masing-masing mulai dari fungsi untuk menggendong bayi, untuk alas, selimut, khusus untuk di pakai raja, khusus dipakai pengantin sampai untuk kain penutup jenasah (Hardjonagoro; 1999).

Secara material, bahan-bahan pewarna batik yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri, seperti pohon mengkudu, tinggi, soga, dan nila.

Soda yang menjadi salah satu bahan pembuat batik dibuat sendiri dari soda abu, serta bahan garam dibuat dari tanah lumpur.

Bahan kain umumnya berupa mori, sutra, katun, atau pun media lainnya. Bahan lain yang biasa digunakan adalah malam atau lilin lebah.

Dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan malam adalah hasil sekresi dari lebah madu dan jenis lebah lainnya untuk keperluan tertentu tidak dapat digantikan dengan lilin buatan.

Josephine Komara, pendiri Bin House yang merupakan salah satu penghasil batik terbaik dengan gerai toko yang tersebar sampai ke Singapura dan Jepang, menandaskan, “Batik, yang dihasilkan di Indonesia, hanya dapat dihasilkan di Indonesia” (Rospita Fajar Utami; 2016).

Sebagai contoh kebermaknaan, Honggopuro (dalam Ghufronudin, Ahmad Zuber, Argyo Demartoto; 2017), menerangkan setiap motif batik Surakarta mengandung makna filosofis.

Misalnya Raden Rama (ajaran yang harus dimiliki putra mahkota (pemimpin) yang dikenal dengan istilah Hasta Brata).

Babon Angrem (suatu harapan untuk diberi keturunan sebagai penyambung sejarah), Semen Kingkin (menunjukkan suasana prihatin dalam kehidupan yang dijalani dan permohonan supaya diberi jalan yang terang).

Semen Kipas (dalam bahasa Jawa diartikan paring seseger atau bisa membuat ketentraman dalam rumah tangga, di mana diharapkan bisa menghilangkan segala residu yang datang dalam kehidupannya).

Semen Kukila atau bermotif burung (gambaran oceh-ocehan dianalogikan manusia dalam bertutur kata hendaknya tidak membuat sakit hati orang lain).

Semen Sida Raja (harapan untuk bisa terlaksanannya cita-cita pemimpin), Semen Buntal (penolak bala sekaligus menggambarkan keanekaragaman tumbuhan di bumi), Semen Remeng (memberikan petunjuk kepada kita untuk tidak berbuat berlebihan).

Semen Kakrasana (keteguhan hati berjiwa merakyat), Semen Naga Raja (nasehat bagi pemimpin di dalam menjalankan kekuasaan, memberikan perlindungan kepada rakyat atas dasar cinta kasih).

Semen Candra (piwulang sebagai seorang yang mempunyai kedudukan tinggi harus bisa memberikan perlindungan kepada yang berada di bawah atau menunjukkan sikap kumawula dan tidak kumuwasa).

Semen Gendhong (supaya bisa mengangkat tinggi derajat keluarga), Ratu Ratih (kemuliaan, keagungan pribadi yang bisa menyesuaikan dengan alam lingkungannya).

Bokor Kencana (diharapkan akan mendatangkan kewibawaan dan keagungan sehingga disegani di dalam lingkungan masyarakat), serta Wirasat (supaya dikabulkan semua permohonan dan bisa mencapai kedudukan tinggi serta bisa mandiri terpenuhi secara materi).

Batik dan Kualitas Layanan Publik

Sudah ada Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pasal 1 Ayat (1) undang-undang ini mengatur bahwa, “pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik.”

Walau demikian tentang kualitas pelayanan publik tidak didefinisikan secara khusus dalam undang-undang ini.

Pokok bahasan tentang kulaitas pelayanan publik hanya disinggung dalam konsepsi yang lain yaitu standar pelayanan.

Ayat (7) menyebutkan, “Standar pelayanan adalah tolok ukur yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan, dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.”

Untuk mengetahui ukuran pelayanan publik yang berkualitas, sebenarnya tidaklah sulit, bahkan dapat ditemukan dalam berbagai kajian yang sudah lama ada, sehingga hal ini lebih merupakan upaya mengingatkan kembali kepada negara, pemerintah dan masyarakat tentang urgensi kualitas pelayanan publik.

Sebagai contoh, Valarie A Zeithaml et.al (dalam Pandji Santosa; 2017; dan Herdiyansyah; 2018), telah menyebutkan sepuluh ukuran kualitas pelayanan publik yaitu: (1) tangible (terlihat/terjamah), terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personil dan komunikasi; (2) reliable (kehandalan), terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat.

Ketiga, responsiveness (tanggap), kemauan untuk membantu konsumen bertanggungjawab terhadap kualitas yang diberikan; (4) competence (kompeten), tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan pelayanan

Kelima, courtesy (ramah), sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi; (6) credibility (dapat dipercaya), sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat.

Ketujuh, security (keamanan), jasa pelayanan yang diberikan harus bebas dari berbagai bahaya dan risiko; (8) access (akses), terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan

Sembilan, communication (komunikasi), kemauan pemberi pelayanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat; dan (10) understanding the customer (memahami pelanggan), melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan.

Untuk dan atas nama pelayanan publik yang berkualitas, maka saya berpandangan ada beberapa hal yang tak boleh diabaikan, setidaknya yang juga diperoleh inspirasinya dari batik sebagai kekayaan budaya Indonesia yang adiluhung.

Pertama, kualitas identifikasi. Bila diperhatikan bahan, warna dan motif batik maka kita akan gampang menyadari bahwa pilihannya berbasis permenungan mendalam, pandangan jauh ke depan, pencermatan tentang detail dalam daya kreasi, dan penyesuaian terhadap kebutuhan lingkungan kontemporer.

Pembatik dan pengusaha batik belajar secara turun temurun dengan daya kreasi yang terus diperkembangkan.

Hal ini mutlak diperlukan dalam layanan publik yang bertanggungjawab. Penyelenggara layanan publik harus dapat merancang layanan dengan basis yang cermat dan lengkap tentang kebutuhan publik, apalagi pada masa pandemi seperti ini.

Ada masalah yang menggejala, bahkan tampak mempengaruhi kualitas pelayanan publik, yaitu soal keberagaman.

Walaupun sering diinformasikan format tunggal tentang penyesuaian terhadap keadaan baru, namun skenario pelaksanaannya tampak belum sepenuhnya berjalan.

Pola tergambarkan baik di atas kertas, tetapi pada praksis di lapangan beragam adanya. Bila selama ini keberagaman tampak dipercakapkan lebih pada ranah sosial dan budaya, maka pada saat pandemi ini keberagaman lebih mudah tampak.

Misalnya dalam bentuk dampak yang beragam, aneka suasana baru yang mewarnai kebatinan publik, pengalaman hidup yang berisikan aneka kepanikan, serta pilihan dan cara tanggap yang diliputi banyak alternatif pada deret keadaan nan tak pasti.

Karena itu kualitas identifikasi haruslah mumpuni, apalagi seluruh ranah kehidupan manusia terdampak keadaan yang kurang menguntungkan karena adanya Covid-19 ini.

Sebut saja tingkat kesehatan menurun, proses pendidikan berbasis sistem online belum merata, dan adanya resesi ekonomi global dengan berbagai ikutannya.

Kedua, kualitas operasi. Hampir setahun belakangan dunia dikendalikan oleh gaya, cara dan isi hubungan sosial yang ditandai dengan jarak fisik (physical distancing).

Namun suatu hal tak boleh diabaikan bahwa justru dalam keadaan seperti itulah kehidupan bersama umat manusia harus tahan uji.

Bahkan, tetap dikehendaki mampu berkreasi memaknai peradaban dalam urusan strategi kebijakan dan pelayanan publik untuk sanggup menghadapi krisis dan bertahan hidup.

Tidak ada perintah kepada negara dan pelayan publik untuk mengambil jarak dari urusan dan kualitas pelayanan publik.

Sebaliknya, tiada pula larangan kepada masyarakat untuk tak boleh mendekat kepada negara dan pelayan publik dalam rangka meminta perhatian dan tanggungjawab. Tak ada hukum yang melawan cinta kasih.

Jika politik dipahami sebagai seni untuk memainkan kemungkinan-kemungkinan strategis dalam mendayagunakan pengaruh, kekuasaan, kewenangan, dan panggilan peradaban untuk mendatangkan kebaikan kepada semua atau kesejahteraan bersama, maka adanya virus corona sebagai suatu keadaan yang kurang menguntungkan ini, perlu disikapi dengan saling menyemangati bukan saling menjatuhkan.

Belajar dari detail tentang mengkreasi motif batik, proses membatik dan memasarkan batik yang bertanggungjawab, maka pelayanan publik yang berkualitas membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi, ketenangan dan kesungguhan dalam proses pengerjaannya, koordinasi yang efektif dalam pemasarannya, serta kebertanggungjawaban kinerja yang akurat dan lengkap.

Ketiga, kualitas reparasi. Hal ini terutama berkaitan dengan kepemimpinan dan kepemanduan dalam mengerjakan kualitas layanan publik yang sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat.

Artinya, layanan publik yang berkualitas haruslah dipimpin oleh orang dan sistem yang benar-benar bertanggungjawab dalam menghasilkan layanan yang juga tepat guna.

Batik menginspirasi lewat siapa yang sepatutnya memenuhi standar kelayakan penggunaan, serta beragam motif untuk berbagai keadaan masa pakai atau pengenaannya.

Terkait kepemimpinan, maka pemimpin sejati adalah orang yang menempatkan rakyat pada puncak tertinggi dari susunan ingatannya, dan pada lubuk terdalam dari landasan perhatiannya.

Identifikasi dan operasionalisasi hanya dapat menghasilkan reparasi yang andal, hebat, terpercaya, berkelanjutan dan reproduktif melalui kepemimpinan yang tangguh dan peduli pada pemenuhan kebutuhan rakyat.

Selamat Hari Batik Nasional, 2 Oktober 2020

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas