Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mengungkap Muslihat Pasal-pasal Pangan Dalam UU Omnibuslaw Cipta Kerja
Pasal-pasal pangan dalam UU Omnibus Law dinilai penuh dengan kerancuan dan tidak memihak kepentingan rakyat.
Editor: Husein Sanusi
Mengungkap Muslihat Pasal-pasal Pangan dalam UU Omnibuslaw Cipta Kerja
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
TRIBUNNEWS.COM - Niat pemerintah dan para wakil rakyat dalam membela ketahanan pangan nasional inkonsisten. Pasal-pasal yang dibuat dalam UU Omnibuslaw Cipta Kerja kontradiksi satu sama lain. Indikasi tersebut terlihat dalam banyak pasal yang dibuat secara terburu-buru, dan telah disampaikan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Salah satunya dalam bidang Pangan Nasional.
Pasal-pasal dalam UU Ciptaker ini saling meniadakan, interminus. Satu pasal mendukung penguatan produksi dalam negeri. Dalam pasal lain, muncul dukungan pada impor pangan dari luar. Sebagai hasilnya, lahir pemikiran bahwa impor dapat dilakukan untuk penguatan produksi pangan dalam negeri. Kontradiksi interminus semacam ini dapat dilihat sebagaimana berikut:
Pertama, hasil perubahan Pasal 15 berbunyi: "Produksi Pangan dalam negeri digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi Pangan."
Dalam pasal tersebut, komitmen pemerintah pada produksi dalam negeri sangat tinggi. Rakyat memiliki peluang untuk terlibat dan bekerjasama dengan pemerintah dalam hal produksi.
Namun, "political-will" pemerintah atas kerja produksi dalam negeri tersebut memudar pada Perubahan Pasal 36 yang berbunyi: (1) Impor Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan (2) Impor Pangan Pokok dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan nasional."
Pasal 36 di atas sudah menyisakan ruang kosong, yang berjarak jauh dari komitmen Pasal 15. Produksi tidak mungkin duduk semeja dengan impor. Bagaikan langit dan bumi; bagaikan Barat dan Timur. Keduanya tidak mungkin berjalan bergandengan.
Ruang kosong yang diciptakan oleh Pasal 36 dapat diisi oleh tipu muslihat elite politisi, dengan memainkan angka statistik dan menggiring opini publik, supaya suatu saat nanti pemerintah punya alasan bahwa impor dibutuhkan karena produksi tidak mencukupi.
Ruang untuk mempolitisir Pasal 15 dan menggunakan Pasal 36 sangat kuat. Pada pasal berikutnya, seperti Perubahan Pasal 39 : "Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan dalam rangka keberlanjutan usaha tani, Peningkatan kesejahteraan petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil."
Pasal di atas terang-terangan membuka kedok kebohongan pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri. Pasal 39 ini berbicara secara terbuka pada publik tentang dirinya sendiri sebagai "pasal pesanan", yang lebih menguntungkan para pelaku impor dan bukan demi kepentingan rakyat kecil.
Dalam pasal ini, rakyat dibingkai dalam satu asumsi dasar bahwa mereka tidak mampu survavi dan berdikari, sehingga mereka butuh penguatan melalui impor. Rakyat diasumsikan sebagai pihak yang tidak sejahtera, dan karena butuh disejahterakan melalui kebijakan impor.
Baik Pasal 36 maupun 39 tersebut adalah bukti kontradiksi interminus UU Omnibuslaw Ciptaker 2020 ini. Waketum PBNU M. Maksum Machfoedz mengatakan bahwa RUU Omnibuslaw Ciptaker ini mengandung banyak kezaliman, dan karena tidak bisa dilanjutkan.
Salah satu bentuk kezaliman Undang-undang yang sudah ditetapkan dan mengundang kontroversi tersebut bukan saja karena tidak berpihak kepada rakyat. Tetapi, juga karena telah menodai rasionalitas berpikir manusia. Penipuan, pengkhianatan terhadap rakyat, dan rekayasa politik diselipkan secara terang-terangan logika bahasa pasal demi pasal.
Akhir kata, hemat penulis, komitmen dan ikhtiar pemerintah untuk meningkatkan produksi dalam negeri tidak bisa dijalankan bersamaan dengan perilaku membuka peluang bagi impor. Lebih-lebih meniatkan sejak awal agar impor berperan memperkuat kebutuhan pangan. Sederhananya, seorang petani tidak memerlukan impor hasil pertanian dari petani asing. Seorang nelayan tidak butuh impor hasil nelayan asing. Wallahu a'lam bis shawab.
*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.