Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menguji Kesiapan Parpol dalam Kampanye Daring Pilkada
KPU masih mengijinkan kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog dengan dihadiri maksimal sebanyak 50 orang.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Efriza
Peneliti Citra Institute dan Penulis Buku 'Kekuasaan Politik'
TRIBUNNEWS,COM - Pemerintah dan penyelenggara pemilu tetap kukuh melanjutkan Pilkada di tengah pandemi.
Sikap kukuh ini ditindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pilkada Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
PKPU tersebut dianggap mengedepankan semangat menjaga kesehatan masyarakat melalui kegiatan kampanye yang lebih bersifat daring dibandingkan dengan luring.
Meski demikian, KPU masih mengijinkan kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog dengan dihadiri maksimal sebanyak 50 orang.
Permasalahan yang perlu dicermati adalah pengaturan terkait kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog yang tidak disertai dengan komitmen dan kepatuhan para pihak dalam menerapkan protokol kesehatan.
Sejauh ini, model kampanye terbuka dan tatap muka sepertinya tetap menjadi pilihan utama para calon kepala daerah.
Dalam realitasnya, model kampanye daring juga tidak mudah dilaksanakan mengingat masih banyak daerah yang tidak terjangkau jaringan internet secara merata.
Baca juga: KPU Minta Paslon Ikut Sosialisasikan Prokes saat Kampanye Pilkada
Hal ini bisa dilihat dari temuan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) di lapangan di mana sebanyak 43 persen kampanye dilakukan dengan pertemuan terbatas, didasarkan pemantauan pada 28-30 September di 187 kabupaten kota.
Sedangkan aktivitas kampanye media sosial (daring) hanya sebesar 11 persen.
Di Kota Depok misalnya, metode kampanye online tidak banyak diminati oleh para pasangan calon Wali Kota-Wakil Wali Kota.
Dalam sepekan pertama masa kampanye, berdasarkan catatan Bawaslu Kota Depok, porsi kampanye online hanya 1 persen dari total 194 kegiatan kampanye para pasangan calon dalam kurun 26 September hingga 4 Oktober lalu.
Dari 194 kegiatan kampanye, metode pertemuan tatap muka dan dialog mendominasi sebesar 82 persen, yang digunakan oleh peserta pemilihan, sementara 17 persen lainnya merupakan pertemuan terbatas dan hanya 1 persen kegiatan kampanye merupakan pertemuan dalam jaringan (daring/online).
Pilihan kampanye dengan cara konvensional yang lebih mengedepankan pertemuan terbatas, tatap muka dan dialog dianggap lebih tepat sasaran.
Selain dapat menjangkau pemilih yang ingin disasar secara akurat, model kampanye ini dianggap dapat mengurangi miskomunikasi antara pasangan calon dengan pemilih terkait konten-konten program yang disosialisasikan.
Sementara itu, model kampanye daring dianggap dapat memunculkan sekat-sekat informasi dan misskomunikasi akibat jaringan internet yang kurang merata serta rendahnya tingkat literasi internet di sejumlah daerah.
Inilah kendala utama yang dihadapi dalam pola kampanye virtual.
Problematika ini terjadi karena ketidaksiapan partai politik dan pasangan calon kepala daerah dalam proses adaptasi dengan situasi pandemi.
Dalam kondisi grafik pergerakan penyebaran covid-19 yang terus naik, aktifitas-aktifitas yang bisa memicu penyebaran virus secara massif mestinya dapat dikurangi.
Partai-partai politik dan pasangan calon depala daerah tampak tidak siap dengan infrastruktur kampanye daring.
Selain karena kegagapan para pengurus parpol dalam mengimplementasikan perangkat-perangkat kampanye virtual, kampanye tatap muka telah dipraktekkan selama bertahun-tahun dan menjadi “konsensus” serta budaya politik yang mengakar di kalangan pegiat politik.
Meskipun telah diatur dalam peraturan KPU, model kampanye virtual tetap menemui kendala-kendala teknis di lapangan yang tidak mudah.
Sementara itu, kampanye terbuka maupun pertemuan terbatas memiliki risiko penularan lebih besar karena interaksi yang lebih intens antara calon, tim kampanye, dan masyarakat pemilih.
Potensi penyebaran virus dari model kampanye tatap muka inipun bisa semakin meluas karena durasi kampanye yang cukup panjang, sekitar 71 hari.
Memperpendek durasi waktu kampanye tentu berimplikasi pada munculnya ketidakadilan karena dianggap lebih mementingkan calon incumbent.
Tetapi durasi kampanye yang panjang, disertai kecenderungan tingginya intensitas kampanye luring dibanding kampanye virtual, menimbulkan kekhawatiran tersendiri di mana aktifitas kampanye berpotensi menimbulkan cluster baru penularan covid-19.
Dalam konteks ini, periode 71 hari kampanye Pilkada 2020 menjadi sangat krusial dalam upaya bersama memutus rantai penularan virus Corona.
Pelanggaran protokol kesehatan sepanjang periode kampanye Pilkada mestinya tidak boleh ditolerir.
Berdasarkan realitas yang ada di berbagai daerah penyelenggara pilkada, tahapan kampanye tetap berpotensi memperluas penyebaran virus corona karena pengaturan kampanye tidak dipersiapkan dengan mengupayakan pencegahan penularan covid-19, seperti pelaksanaan rutin bagi calon dan tim sukses untuk melakukan tes usap PCR dalam rentang waktu yang telah ditetapkan.
Idealnya, partai politik sudah semestinya memfasilitasi para calon dan tim sukses untuk melakukan tes usap PCR secara berkala.
Di sisi lain, partai politik mestinya mengupayakan pembangunan infrastruktur yang lebih mengedepankan terselenggaranya kampanye secara daring, dengan disertai pelatihan bagi para pengurus dan anggota-anggota partainya untuk lebih memahami platfrom media, aplikasi media, dan literasi-literasi perangkat virtual.
Tanpa adanya komitmen dan keseriusan yang tinggi dari parpol beserta calon kepala daerah, model kampanye daring tidak akan berjalan optimal. Padahal, momentum pandemi adalah periode paling tepat untuk melaksanakan transformasi penggunaan information communication technology (ICT) dalam tahapan kampanye pilkada dalam rangka membangun digital habit dan literasi electoral masyarakat pemilih.
Parpol memiliki tanggungjawab moral untuk turut melaksanakan pendidikan pemilih berbasis digital melalui perangkat-perangkat teknologi informasi untuk meningkatkan digital engagement pemilih dan memperkuat network society yang cerdas terhadap literasi-literasi politik dan pemilihan umum.