Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mengembalikan Minat Siswa Menjadi Kutu Buku
Era digital menggerus minat generasi masa kini untuk rajin membaca buku. Mereka kebanyakan mencari sumber dari internet.
Editor: Husein Sanusi
Mengembalikan Minat Siswa Kembali Menjadi Kutu Buku
Oleh: TEGUH WIDODO,M.Pd, Guru bahasa Indonesia SMK Kesehatan BIM Ngawi
TRIBUNNEWS.COM - "Buku adalah jendela dunia " Itulah sebuah ungkapan atau kata mutiara yang selalu berkumandang di bangku sekolah. Sehingga keberadaannya benar-benar berharga laksana mata air di tengah gurun pasir.
Tingginya minat membaca buku seseorang berpengaruh terhadap wawasan, mental, dan prilaku seseorang.
Namun seiring berkembangnya jaman dan modernisasi keberadaan buku bergeser dan tergantikan oleh buku elektronik atau digitalisasi. Maka secara otomatis Semboyan itu bergeser menjadi "google adalah jendela dunia".
Sangat aneh kedengarannya namun inilah fakta yang terjadi. Teknologi boleh semakin maju, akan tetapi belum dapat dijadikan jaminan literasi akan berjalan baik pula.
Durasi waktu membaca orang Indonesia per hari rata-rata hanya 30-59 menit, kurang dari sejam. Sedangkan jumlah buku yang ditamatkan pertahun rata-ratahanya 5-9 buku.
Itu hasil penelitian Perputakaan Nasional tahun 2017. Kondisi itu, tentu jauh di bawah standar Unesco yang meminta agar waktu membaca tiap orang 4-6 jam perhari.
Minat membaca berbanding lurus dengan tingkat kemajuan pendidikan suatu bangsa. Kegiatan membaca merupakan hal yang sangat penting bagi kemajuan suatu bangsa. Parameter kualitas suatu bangsa dapat dilihat dari kondisi pendidikannya. Pendidikan selalu berkaitan dengan kegiatan belajar (Harjasujana, 1997).
Gerakan literasi yang dikibarkan di mana-mana menjadi sebuah gerakan bom waktu yang menindas gemar baca buku. Sebutan anak milenial sekarang yang suka baca adalah " Kutu google bukan kutu buku".
Jadi dahulu yang dibawa di tangan adalah buku, kini yang tergenggam adalah android. Era digitalisasi memang memudahkan dan mempercepat informasi namun juga mempercepat pembunuhan karakter.
Yaitu karakter cinta buku.. Banyak perpustakaan yang didalamnya menyediakan fasilitas aplikasi yang dapat merangkum ribuan bahkan jutaan judul buku. Namun buku cetak sangat terbatas akan keberadaannya.
Mereka cenderung lebih memilih perpustakaan modern yang dianggap lebih keren daripada perpustakaan konvensional. Padahal bukan perpusnya yang modern,tapi pola pikir literasinya yang perlu upgred.
Para guru dan ulama dahulu selalu mengajarkan ilmu kepada murid dan santrinya tidak boleh ditulis melainkan dihafalkan. Karena ilmu itu bukan untuk ditulis tapi untuk diamalkan.
Adab dan perilaku inilah yang menunjukkan dan membangun karakter bangsa yang kuat serta kokoh. Sebagai contoh orang suku Jawa yang kuat akan adab anshornya. Menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kebudayaan warisan leluhur.
Tentunya penanaman karakter ini bukan melalui google tapi melalui penerapan langsung melalui metode menghafal dan tindakan.
Yang mengajarkan literasi dengan penuh kasih sayang. Sehingga karakter mereka kuat walaupun jaman semakin berganti dan kehidupan penuh warna-warni.
Google memang pintar punya sejuta ilmu tapi tidak bisa menggantikan penaman karakter layaknya kyai mengajarkan ilmu kepada santrinya.
semakin hafalannya kuat semakin kuat pula imajinasinya. Akan lebih mudah dipahami dan implementasi nya dalam kehidupan sehari-hari yang sudah mendarah daging di sanubari.
Namun, apabila bacaannya kuat, maka semakin kuat dan hebat pula berucap. Akan tetapi sulit dalam penerapannya. Sekedar pandai bersilat lidah dalam teori saja. Kalau istilah gaulnya "omdo" Artinya omong doang.