Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Meraba Angin Politik Kang Emil
Di sisi lain, kinerja pemerintah babak belur dihantam pandemi Covid-19 maupun krisis ekonomi yang ditimbulkannya.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM
TRIBUNNEWS.COM - Dua kali "offside", Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil alias Kang Emil coba mengembangkan layar bahtera politiknya, ikut ke mana angin berembus.
Kita pun "dipaksa" meraba-raba angin politik Kang Emil. Ia berlayar ke tengah kanan?
Offside pertama terjadi saat Kang Emil berkirim surat ke Presiden Joko Widodo, 8 Oktober lalu.
Dengan dalih mengakomodasi tuntutan buruh, Emil menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Tapi, RUU inisiatif pemerintah itu tetap disahkan DPR.
Offside kedua, Kang Emil menyentil Mahfud Md, 16 Desember lalu. Emil meminta Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan itu bertanggung jawab atas terjadinya kerumunan massa dalam acara Muhammad Rizieq Syihab (MRS) di Megamendung, Bogor, Jawa Barat, yang berujung pada pemeriksaan dirinya oleh Polda Jabar, Rabu (16/12).
Tapi, Mahfud kemudian meng-counter dan siap bertanggung jawab.
Baca juga: Kaleidoskop 2020: Panasnya Demo Besar-besaran Tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja oleh Masyarakat
Terkait Gubernur Banten Wahidin Halim yang tak diperiksa polisi, padahal menurut Emil terjadi kerumunan massa di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, 10 November lalu, Mahfud berdalih itu adalah diskresi pemerintah yang memperbolehkan penjemputan kedatangan MRS dari Arab Saudi hingga ke kediaman MRS di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Selebihnya tak ada diskresi. Polemik pun berakhir.
Tak lazim, memang, seorang birokrat menyerang birokrat di atasnya, meskipun hal itu sah-sah saja, karena Mahfud bukan atasan Emil. Apalagi sebagai kepala daerah, Emil dipilih lamgsung oleh rakyat, sebagaimana Presiden.
Tentu, jalan offside yang ditempuh Emil bukan tanpa sekenario. Ia diduga sedang mencoba melepaskan diri dari kungkungan politik yang melingkupinya.
Emil mencoba "lari" dari bayang-bayang pemerintah yang berada di tengah kiri. Emil coba bergeser ke tengah kanan, tempat oposisi bercokol. Sebab, angin politik sedang bertiup ke tengah kanan.
Emil mungkin sadar. Sesuai siklus, pada 2024 nanti giliran blok tengah kanan yang akan unjuk gigi di panggung kekuasaan. Blok tengah kiri harus menunggu 5 bahkan 10 tahun lagi untuk kembali unjuk gigi di panggung kekuasaan.
Di sisi lain, kinerja pemerintah babak belur dihantam pandemi Covid-19 maupun krisis ekonomi yang ditimbulkannya.
Ditambah memteri-menterinya yang korup, yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara, plus belakangan isu Gibran Rakabuming Raka diduga merekomendasikan proyek pengadaan tas ke PT Sritex, meski isu ini sudah dibantah, tak pelak makin bopenglah wajah pemerintahan Jokowi.
Dus, calon presiden yang akan datang pun lebih difavoritkan yang merupakan antitesis dari presiden yang ada saat ini, Jokowi.
Jokowi pun pada 2014 merupakan antitesis dari presiden yang digantikannya, Susilo Bambang Yudhoyono. SBY cenderung serba teratur dan terencana, sementara Jokowi cenderung spontan dan situasional.
Capres mendatang pun kira-kira yang karakternya mendekati SBY. Siapa dia? Kang Emil masuk. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun masuk.
Bagaimana dengan Ganjar Pranowo? Jika dipaksakan, Gubernur Jawa Tengah ini pun masuk. Tapi karakter Ganjar sebenarnya lebih dekat ke Jokowi.
Dalam sejumlah survei, nama Ganjar memang selalu masuk 5 besar dalam bursa capres.
Tapi konon ia tak dikehendaki Megawati Soekarnoputri. Ketua Umum PDIP itu lebih menghendaki capres dari trah Soekarno, apakah Puan Maharani ataukah adiknya, Prananda Prabowo. Benarkah? Biarlah waktu yang menjawab.
Yang jelas, kini Kang Emil sedang berjuang mengikuti ke mana arah angin berembus. Andai beringsut ke tengah kanan pun bukan sesuatu yang asing bagi Kang Emil.
Saat maju sebagai calon walikota dalam Pilkada Kota Bandung 2013, Emil diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Dari blok tengah kanan, mau tak mau Anies Baswedan adalah capres yang paling diperhitungkan. Anies juga leading dalam sejumlah survei, meski masih di bawah Prabowo Subianto.
Emil masih di bawah Anies. Jadi, kalau dia mau maju pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, sebaiknya cukup menjadi orang kedua dari Anies. Anies-Emil mungkin lebih menjanjikan.
Lantas, siapa penantang Anies-Emil? Kalau Ganjar tak bisa maju, mungkin Puan atau Prananda yang akan maju. Tapi, itu pun tak bisa sebagai capres. Puan atau Prananda mungkin harus puas di lapis kedua.
Siapa di lapis pertama? Mungkin Prabowo, sehingga akan terjadi duet Prabowo-Puan atau Prabowo-Prananda. Tapi syaratnya, nama Prananda harus dilempar dulu ke publik, jangan disimpan terus. Sudah saatnya nama Prananda dijual sebagai cawapres atau bahkan capres.
Lantas, bagaimana kans Anies-Emil versus Prabowo-Puan atau Prabowo-Prananda? Searah tiupan angin politik, dan siklus 10 tahunan, tampaknya Anies-Emil atau Anies berpasangan dengan cawapres lainnya diyakini akan leading.
Selebihnya kita hanya bisa meraba-raba. Namanya juga politik, seni menjajaki kemungkinan-kemungkinan. Politik bukan ilmu eksakta. Yang pasti, Kang Emil sedang mencari angin.
* Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)/ Anggota DPR RI Periode 1999-2004, 2004-2009 dan 2009-2014.