Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Parodi, Lalu Pidana?
Ada hubungan antara kegemaran pada pelajaran sejarah dan patriotisme. Persoalannya, rendahnya rasa cinta tanah air
Editor: Hendra Gunawan
Oleh Reza Indragiri Amriel *)
MEMPARODIKAN lagu Indonesia Raya memang tidak lucu. Pelakunya salah. Tidak boleh ditiru.
Tapi haruskah pelakunya, apalagi karena masih berusia anak-anak (siswa SMP dan SD), dipidana?
Mari kita cermati sejumlah penelitian.
Ada hubungan antara kegemaran pada pelajaran sejarah dan patriotisme. Persoalannya, rendahnya rasa cinta tanah air dialami siswa karena para guru--utamanya sejarah--tidak terampil menanamkan nilai patriotisme ke dalam diri anak didik.
Mata pelajaran sejarah tak lebih dari penyampaian informasi tentang serangkaian peristiwa yang dianggap historis.
Baca juga: Sosok Pelaku Parodi Indonesia Raya, Dikenal Tertutup dan Jarang Berinteraksi dengan Lingkungan
Baca juga: Parodi Indonesia Raya, Anggota DPR Cianjur Siap Fasilitasi Milenial Perkuat Nasionalisme
Baca juga: Kronologi Penangkapan Remaja SMP Pembuat Parodi Lagu Indonesia Raya, Pelaku Lihai Kelabui Petugas
Karena sebatas pengayaan kognitif, mata pelajaran menjadi cenderung satu sisi. Abai terhadap perasaan (afeksi). Padahal, rekomendasi ilmuwan, pelajaran sejarah sepatutnya dikemas sebagai bahasan kontroversial.
Dengan menyertakan unsur pro-kontra, perasaan siswa akan lebih terlibat. Inilah jalan bagi penyerapan nilai-nilai, bukan hanya penghapalan pengetahuan.
Beberapa faktor yang menghalangi tumbuhnya rasa cinta tanah air: rendahnya standar hidup, ketidakpastian sosial, ketidakpercayaan pada pengelola negara.
Perbedaan rasa cinta tanah air ditentukan oleh latar budaya, peran orang tua (keluarga), dan pengaruh sosial.
Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa tinggi rendahnya kecintaan pada tanah air bukan masalah hitam putih. Tidak bersumber dari faktor tunggal, melainkan multidimensional.
Dengan konteks sedemikian kompleks, akankah pidana (vonis bersalah atau tidak bermasalah) justru terlalu simplistis dan berpotensi kontraproduktif? Simplistis, karena cenderung menuding pelaku sebagai satu-satunya pihak yang harus diintervensi. Kontraproduktif, karena justru dapat membuat pelaku merasa takut--bukan cinta--lalu membenci negara.
*) Reza Indragiri Amriel, Mantan Ketua Delegasi Indonesia, Program Pertukaran Pemuda Indonesia Australia.