Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Perlunya Postmortem Trial Bagi Tersangka yang Sudah Meninggal
Postmortem trial menjadi terobosan bahwa supremasi hukum tidak 'kalah' oleh kematian.
Editor: Setya Krisna Sumarga
OLEH : ABDUL RACHMAN THAHA, Anggota Komisi I DPD RI
KASUS Km 50 yang menyebabkan tiga orang anggota Laskar FPI jadi tersangka, dihentikan karena mereka sudah meninggal dunia.
Sementara seorang anggota Polri yang terkait peristiwa itu dikabarkan tewas akibat kecelakaan tunggal. Proses hukum atas dirinya pun niscaya berhenti.
Walau demikian, awam bisa saja memandang mereka bukan sebatas sebagai tersangka atau pun terlapor, melainkan sebagai terpidana alias pelaku.
Itu karena ada anggapan keliru tersangka, terlapor, bahkan terduga pasti bersalah. Penghakiman seperti ini tentu merugikan mereka.
Martabat mereka tercemar akibat opini publik seolah mereka benar-benar sudah terbukti melakukan perbuatan yang dituduhkan.
Lain situasi. Sebagai ilustrasi adalah peristiwa kejahatan seksual terhadap anak. Merujuk UU Perlindungan Anak, korban kejahatan jenis tersebut berhak memperoleh restitusi alias ganti rugi dari pelaku.
Tapi jika pelaku telanjur meninggal dunia sebelum disidang, maka perkaranya gugur. Dengan demikian, secara hukum belum ada orang yang patut disebut sebagai terpidana atau pelaku.
Konsekuensinya, tidak tersedia dasar bagi dikenakannya keharusan bagi pelaku kejahatan seksual tersebut untuk membayar ganti rugi kepada korbannya.
Satu contoh lagi, operasi antiteror yang menewaskan target justru rawan memunculkan polemik. Keluarga target dirugikan akibat stigma yang telanjur dikenakan masyarakat.
Aparat penegak hukum juga dirugikan karena dinilai telah melakulan extrajudicial killing. Seolah aksi mereka tidak didasarkan pada bukti apa pun.
Padahal, pemberantasan teror merupakan agenda penting yang patut didukung secara kuat. Berhadapan dengan tiga contoh situasi tersebut, saya memandang ada kebutuhan serius bagi Indonesia untuk memiliki mekanisme posthumous trial atau postmortem trial atau persidangan anumerta.
Ketiganya adalah istilah untuk proses persidangan yang diadakan ketika orang yang diduga melakukan kejahatan telah meninggal dunia.
Postmortem trial bukan sesuatu yang mengada-ada. Martin Borrman, misalnya, adalah penjahat perang yang tetap diproses hukum meskipun ia sudah tiada.
Oleh pengadilan Nurenberg, Borrman bahkan dijatuhi hukuman mati. Sergei Magnitsky, yang meninggal di dalam penjara, juga diteruskan perkaranya.
Magnitsky divonis bersalah atas penggelapan pajak di dalam sebuah persidangan yang tidak ia hadiri.
Mumpung Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly menyatakan harapannya agar RUU KUHP masuk dalam Prolegnas 2021, inilah momentum baik untuk mengkaji dan merumuskan penyelenggaraan postmortem trial di Indonesia.
Postmortem trial menjadi terobosan bahwa supremasi hukum tidak 'kalah' oleh kematian. Upaya membuktikan "yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah" tetap bisa berlangsung, demi kepastian, kemanfaatan, dan keadilan hukum.
Termasuk politikus seperti Harun Masiku pun, andaikan dia sudah menghembuskan napas terakhirnya, tetap bisa diproses pidana untuk membuktikan sejauh apa kebenaran spekulasi keterlibatan dia dalam kasus suap.
Sangat disayangkan pada waktu-waktu lampau bahkan hingga sekarang DPR sama sekali belum pernah memunculkan gagasan apalagi melakukan pembahasan tentang hal tersebut.
Kini, dengan keterlibatan aktif DPD dalam kerja penyusunan undang-undang, saya akan upayakan agar wacana tentang pengadilan anumerta ini dapat direalisasikan lewat RUU KUHP.(*)