Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Hanya Sekadar Tes di KPK? Awas Oversimplistis
KPK menyelenggarakan tes wawasan kebangsaan dalam rangka alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Editor: Malvyandie Haryadi
Oleh: Reza Indragiri Amriel
Ahli Psikologi Forensik
TRIBUNNERS - KPK menyelenggarakan tes wawasan kebangsaan dalam rangka alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Media mengabarkan, puluhan pegawai tidak lulus dan mungkin diberhentikan. KPK sendiri menyerahkan masa depan 75 orang itu ke PANRB dan BKN.
Persoalannya, apakah nasionalisme bisa ditakar hanya dengan mengandalkan tes? Dan apakah layak jika nasib seseorang ditentukan sepenuhnya hanya berdasarkan tes?
Banyak peneliti yang mengingatkan bahwa nasionalisme sejatinya punya makna lebih luas dari 'sekedar' urusan ideologi.
Ada sejumlah indikator yang dapat digunakan untuk menilai seberapa jauh rasa cinta Tanah Air, yaitu tingkat kejahatan, perusakan fasilitas publik, pembajakan musik, dan korupsi.
Baca juga: Apa Kata Menteri Tjahjo Soal 75 Pegawai KPK yang Tak Lolos Asesmen?
Sayangnya, hal-hal semacam itu cenderung terlupakan, sehingga jiwa kebangsaan ditinjauh sebagai masalah ideologi 'semata'.
Dengan penyempitan makna seperti itu, maka tidak lulus tes bermakna tidak cukup berwawasan kebangsaan alias tidak nasionalis.
Karena tidak nasionalis, maka yang bersangkutan adalah cikal-bakal pengkhianat. Karena berpotensi makar, maka harus dipecat. Ini penarikan simpulan sekaligus penyederhanaan langkah yang overdosis.
Tes memang penting. Apalagi bagi penegak hukum, sangat baik jika tes dilakukan secara berkala. Di Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, misalnya, saya merekomendasikan agar assessment dilakukan paling sedikit dua tahun sekali.
Assessment rutin akan membuat personel merasa terawasi, sehingga terdorong untuk terus-menerus bekerja dengan baik.
Baca juga: Eks Pimpinan KPK Kecewa Hasil Putusan MK terkait Uji Formil UU 19/2019
Assessment pun idealnya tidak hanya mengandalkan tes sebagai format satu-satunya. Banyak cara lain yang perlu juga diselenggarakan dan diintegrasikan dalam sebuah program assessment kinerja.
Program assessment yang menerapkan pendekatan beragam (multiapproach) akan menghasilkan simpulan lebih utuh tentang personel penegakan hukum.
Beda dengan tes, yang jika dijadikan sebagai pendekatan tunggal, rawan menghasilkan gambaran yang terlalu simplistis tentang diri personel.
Lagi pula, kurang bijak apabila assessment langsung dijadikan sebagai penentu bagi kelanjutan maupun pemberhentian personel.
Yang tepat, assessment diselenggarakan guna mengumpulkan data yang nantinya dipakai untuk memberikan feedback kepada personel, sekaligus sebagai dasar pemberian rekomendasi bagi pengembangan diri dan karir personel bersangkutan.
Jadi, alih-alih dimanfaatkan sebagai alat penebas leher personel, hasil assessment justru dipakai untuk pengembangan karir yang bersangkutan.
Tes merupakan pendekatan diambil dalam episode singkat. Beda dengan penilaian kerja sehari-hari.
Misal, bagi masing-masing personel KPK, bisa dicek clearance rate-nya, response times-nya, dan enforcement productivity-nya.
Pengecekan hal-hal konkret semacam itu justru lebih jitu untuk menyimpulkan seberapa tinggi produktivitas personel.
Semakin tinggi produktivitasnya, dimaknakan semakin tinggi pula profesionalismenya.
Semakin profesional dia, semakin tinggi pula sesungguhnya derajat nasionalismenya selaku pengemban amanat rakyat dalam memberantas korupsi.
Dengan demikian, penilaian kontinyu terhadap kerja sehari-hari personel KPK semestinya lebih menentukan nasib mereka, ketimbang tes yang diselenggarakan secara insidental dalam waktu singkat.
Begitulah sepatutnya nasionalisme dimaknai dan diterjemahkan ke dalam program pembinaan personel KPK.