Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menepuk 'BEM' di Dulang, Terpercik 'Rektor' Sendiri
"Air" itu Badan Eksekuif Mahasiswa (BEM) dan "muka" itu Rektor Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.
"Air" itu Badan Eksekuif Mahasiswa (BEM) dan "muka" itu Rektor Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro.
BEM UI mengunggah meme bernada satir di akun media sosialnya, Sabtu (26/6/2021), dengan menyebut Presiden Jokowi sebagai "King of Lip Service" (Raja Pembual).
Sontak, keesokan harinya Rektorat UI memanggil BEM untuk klarifikasi. Alih-alih mendapat simpati, Rektor UI Ari Kuncoro malah dicaci. Ibarat menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.
Sebaliknya, BEM UI justru panen dukungan. Ibarat mendapat durian runtuh. Mereka kebanjiran simpati yang efeknya bak bola salju, makin lama makin membesar.
Baca juga: Cara Presiden Jokowi Respons Kritik BEM UI Dipuji Politisi PPP
Dukungan itu datang dari akademisi, politisi, dan terutama sesama BEM dari berbagai kampus ternama di Indonesia, seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas 11 Maret (UNS) dan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Rektor UI Ari Kuncoro bahkan didesak mundur. Apalagi ia merangkap jabatan sebagai Wakil Komisaris Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Ombudsman RI pun menyatakan dalam perangkapan jabatan Ari Kuncoro itu terjadi maladministrasi.
Ari Kuncoro menjabat Rektor UI sejak 25 September 2019. Ari diangkat menjadi Wakil Komisaris Utama BRI melalui Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPTS) pada 18 Februari 2020.
Rangkap jabatan tersebut dinilai melanggar Statuta UI yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 68 Tahun 2013.
Pasal 35 huruf C PP Statuta UI menyebut Rektor UI dan Wakil Rektor UI dilarang merangkap jabatan sebagai petinggi pada BUMN, BUMD, maupun perusahaan swasta.
Ari juga diduga melanggar Pasal 17 Undang-Undang (UU) No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menegaskan pelaksana pelayanan publik dilarang rangkap jabatan baik sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha.
Larangan rangkap jabatan juga tertuang dalam Pasal 33 UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Tidak itu saja. Ada yang mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Ari terkait dugaan penyalahgunaan jabatan, sebagaimana diatur Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun pihak Rektorat UI diduga melanggar prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 24 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 4 ayat (1) menyebutkan pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Pendidikan tinggi juga wajib menjujung kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UU Sisdiknas.
Mengapa pihak Rektorat UI memanggil BEM untuk klarifikasi? Kritik bernada satir itu dinilai melanggar aturan.
Kepala Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI Amelita Lusia menjelaskan bahwa pihak UI sangat menghargai kebebasan menyampaikan pendapat. Namun, katanya, pendapat tersebut mestinya disampaikan sesuai aturan yang ada. Kendati demikian, Amelita tidak menunjuk aturan mana yang dilanggar BEM UI.
Pemadam Kebakaran
Menyadari riuhnya reaksi publik, Presiden Jokowi hadir dan seakan menjadi pemadam kebakaran. Sambil tersenyum, Jokowi mengaku sudah terbiasa dikritik.
Jokowi menilai sebutan "king of lip service" sama seperti julukan plonga-plongo, klemar-klemer, otoriter, bapak bipang, dan sederet label lain yang pernah ia terima.
Jokowi menilai BEM UI sedang belajar menyampaikan pendapat. Sebab itu ia tak ingin menanggapi kritik itu secara berlebihan.
Jokowi juga meminta semua pihak tak berlebihan menanggapi kritik "king of lip service". Jokowi berpesan kepada UI agar tak menghalangi kebebasan berekspresi para mahasiswanya. Namun Jokowi juga mengingatkan kita ini punya budaya sopan-santun.
Apakah kritik yang disampaikan BEM UI itu tidak santun? Nisbi!
Memang, sesuatu yang baik jika disampaikan dengan cara yang kurang baik, hasilnya bisa jadi kurang baik pula.
Kritikan yang baik jika disampaikan dengan diksi yang kurang baik, hasilnya bisa jadi kurang baik. Begitu pentingnya sebuah kemasan.
Ini terbukti dari kritikan yang disampaikan BEM UI itu. Jokowi tersirat tidak nyaman. Kalau nyaman, ia tak akan tersenyum sebelum menanggapi meme BEM UI itu.
Lihat saja senyum "The Smiling General" Soeharto. Seperti Pak Harto, Jokowi pun tipikal pemimpin Jawa yang tidak ingin terlihat berkonfrontasi di depan.
Namun, yakinkah kita jika kritikan itu disampaikan dengan diksi yang santun maka akan mendapat perhatian luas dari publik, apalagi Presiden?
Di sinilah BEM UI melakukan kreativitas dengan mengemas kritikannya itu dalam bentuk meme bernada satir.
Mereka barangkali berprinsip: "bad news is good news".
Di sisi lain, mahasiswa itu pemuda. Pemikiran pemuda sering kali revolusioner, tidak linier.
Itulah sebabnya mengapa dulu para pemuda menculik Bung Karno untuk memproklamasikan Kemerdekaan RI, tidak percaya janji Jepang. Kalau pemuda berpikir linier, mungkin sampai sekarang Indonesia belum merdeka.
Bahwa ada politisi atau pihak lain yang memanfaatkan BEM UI untuk kepentingan politik mereka, tuduhan itu sah-sah saja.
Tapi BEM UI juga sah-sah saja melancarkan kritik bernuansa politik.
Yang penting BEM sebagai lembaga intra-kampus tidak main politik praktis. Bukankah pemerintah juga main politik?
Di pihak lain, BEM UI pun tak perlu reaktif kalau dituduh berpolitik. Sebab faktanya meme satire itu bernuansa politik, karena yang menjadi sasaran adalah tokoh politik.
Blessing in disguise. Tanpa disengaja, unggahan meme satire itu membuka kotak Pandora rangkap jabatan Ari Kuncoro. Mungkin bukan Ari Kuncoro saja yang melakukan rangkap jabatan.
Itulah mengapa sopan-santun dalam konteks meme satire BEM UI itu disebut nisbi.
Tugas mahasiswa memang mengkritik. Kalau tidak mengkritik, bukan mahasiswa namanya. Perkara yang dikritik itu mau menerima atau tidak, mau berubah atau tidak, itu soal lain.
Yang penting, tugas itu telah tertunaikan oleh mahasiswa yang merupakan "agent of change". Konsekuensinya, termasuk konsekuensi hukum, tentu sudah mereka perhitungkan.
Yang tak kalah penting, tugas pemimpin bukan hanya menjadi pemadam kebakaran. Apalagi sampai kebakaran jenggot. Pemimpin harus berpegang pada hukum dan konstitusi.
* Karyudi Sutajah Putra, Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.