Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Gali Pendidikan Karakter dan Nilai Anti Korupsi Lewat Naskah Kuno Nusantara
Salah satu bentuk kearifan lokal berupa pemikiran dan gagasan tentang sikap, perilaku bermasyarakat bisa kita jumpai pada naskah Amanat Galunggung.
Editor: Choirul Arifin
Oleh: Ervina Nurjanah, Pustakawan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) setiap 9 Desember seakan tiada artinya. Bagaimana tidak, jelang peringatan tersebut bangsa Indonesia justru dihadiahi dua kasus korupsi yang akhirnya terbongkar dilakukan oleh pejabat negeri ini.
Sebut saja penangkapan Menteri Sosial, Juliari P. Batubara sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Sosial terkait program bantuan sosial penanganan Covid-19.
Lalu penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo yang diduga terlibat kasus korupsi dalam penetapan izin ekspor benih lobster. Keduanya berhasil diciduk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kasus korupsi semacam ini sebenarnya sudah tidak asing lagi di telinga kita, sebelumnya sudah sangat banyak kasus korupsi yang terjadi di negara ini.
Bahkan tercatat beberapa kasus korupsi yang memiliki nilai kerugian yang fantastis seperti kasus korupsi yang menjerat PT Asuransi Jiwasraya, PT Asbri, Bank Century, PT Pelindo II, Kotawaringin Timur, BLBI, E-KTP, Hambalang dan masih banyak lagi.
Berdasarkan data KPK, tercatat total kasus tindak pidana korupsi berdasarkan jenis instansinya dari tahun 2004 sampai dengan Juni 2020 berjumlah 1075 kasus.
Para tersangka dan terdakwa yang terjerat kasus korupsi ini justru merupakan orang-orang yang berpendidikan tinggi, bahkan kebanyakan merupakan lulusan dari universitas ternama.
Pendidikan karakter dan nilai moral pada dasarnya sudah ada sejak zaman dahulu kala.
Nilai-nilai tersebut tersimpan dalam budaya dan kearifan lokal masyarakat, yang jika kita gali dan pahami kembali hal ini bisa menjadi salah satu kekuatan transformasional untuk meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia di Indonesia.
Kearifan lokal dapat berupa hasil pemikiran dan merupakan produk budaya manusia, yang digunakan sebagai tuntunan dalam berperilaku, bersikap, dan hidup bermasyarakat.
Salah satu bentuk kearifan lokal berupa pemikiran dan gagasan mengenai sikap, perilaku dan kehidupan sosial bermasyarakat dapat kita jumpai pada naskah Amanat Galunggung yang merupakan sekumpulan naskah yang ditemukan di daerah Kabuyutan Ciburuy, Kabupaten Garut.
Naskah tersebut merupakan salah satu naskah kuno peninggalan suku Sunda.
Diperkirakan naskah ini telah ditulis pada abad ke-16 atau sekitar tahun 1518 dengan menggunakan media daun lontar dan nipah sebanyak 6 lembar dan terdiri dari 13 halaman, yang ditulis menggunakan bahasa dan aksara Sunda Kuna.
Saat ini naskah tersebut disimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta, dengan nomor kode MSA (Manuschrift Soenda A) Kropak 632. Nama Amanat Galunggung sendiri diberikan oleh seorang filolog bernama Saleh Danasasmita yang telah melakukan transkripsi dan menerjemahkan naskah tersebut.
Naskah itu kemudian dituangkan dalam kajiannya yang berjudul “Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung”.
Naskah Amanat Galunggung berisi nasihat-nasihat Rakeyan Darmasiksa kepada putera dan keturunannya. Rakeyan Darmasiksa merupakan seorang Raja Sunda yang diperkirakan pemerintahannya sampai abad ke 13 atau berkisar antara tahun 1175–1297 M.
Sedangkan naskah ini baru ditulis pada abad ke 16, sehingga dapat dipastikan jika naskah ini merupakan hasil transliterasi dari nasehat tutur yang disampaikan secara turun temurun.
Secara umum, naskah Amanat Galunggung ini berisi pemikiran filosofis yang berkaitan dengan etika yang seharusnya dimiliki dan dilaksanakan oleh pemimpin negara dan masyarakat, serta nasihat-nasihat untuk menjadi manusia yang baik dan berbudi luhur.
Naskah Amanat Galunggung memuat banyak nasihat, pedoman hidup, dan ajaran yang bersifat keagamaan.
Di dalam naskah tersebut tertuang norma-norma dan nilai-nilai moral yang perlu untuk dimiliki demi mewujudkan kehidupan yang damai dan sejahtera.
Selain itu, dalam naskah Amanat Galunggung juga dibahas mengenai seperti apa kita harus menghargai para leluhur dan orang-orang terdahulu yang telah meletakan ajaran dan nilai-nilai luhur, bagaimana kita harus berbakti kepada keluarga dan berbuat baik terhadap sesama.
Dalam naskah Amanat Galunggung juga banyak terdapat nilai-nilai kepemimpinan yang dianggap baik dan harus dimiliki oleh Raja dan keturunannya pada masa itu.
Diantaranya berbunyi,
“Jagat daranandi sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu” (Sang Rama (tokoh masyarakat) bertanggung jawab atas kemakmuran hidup; Sang Resi (cerdik pandai, berilmu), bertanggung jawab atas kesejahteraan; Sang Prabu (birokrat) bertanggung jawab atas kelancaran pemerintahan).
“Haywa paala-ala palungguhan, haywa paalaala pameunang, haywa paalaala demakan, apan pada pawitanya, pada mulianya, maka pada mulianya, ku ulah ku sabda, (ku) ambek”
Artinya, jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah, karena sama asal-usulnya, sama mulianya. Oleh karena itu bersama-samalah berbuat kemuliaan dengan perbuatan, dengan ucapan, dan dengan itikad.
Menilik penggalan isi dari naskah Amanat Galunggung tersebut, dapat diketahui bahwa tatanan masyarakat Sunda pada masa itu telah mengenal pembagian tugas dan wewenang dari seorang pemimpin.
Pembagian kekuasaan yang dikelompokan ke dalam tiga unsur tersebut menjadi kunci keberlangsungan roda pemerintahan jika seluruhnya dapat bekerja secara sinergis.
Pada dasarnya, nilai-nilai yang terkandung dalam naskah Amanat Galunggung berisi pesan moral dan pendidikan karakter yang telah dilakukan secara turun temurun.
Di dalamnya disebutkan mengenai perilaku apa saja yang harus dilakukan, dan apa saja yang tidak boleh dilakukan demi mencapai kehidupan yang mulia sebagai manusia.
Jika kita gali lebih dalam, pada naskah tersebut dinyatakan bahwa salah satu perbuatan yang dilarang untuk dilakukan adalah berebut kedudukan, berebut penghasilan, dan berebut hadiah.
Jika kita telaah lebih jauh, pada masa sekarang nasihat tersebut sebenarnya masih relevan, sebab apa yang disebutkan dalam naskah tersebut, mejadi indikasi tindak pidana korupsi jika kita komparasi dengan keadaan pada masa kini.
Definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah pasal yang dimuat dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun jenis tindak pidana korupsi dapat dikelompokan dalam beberapa kategori, yaitu merugikan keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Komisi Pemberantasan Korupsi bersama dengan para pakar telah melakukan kajian dan identifikasi mengenai nilai-nilai dasar anti korupsi yang menghasilkan sembilan nilai anti korupsi, yaitu jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani, dan adil.
Nilai-nilai tersebut kemudian juga dituangkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, yang menyatakan bahwa Penguatan Pendidikan Karakter dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila.
Nilai-nilai Pancasila itu meliputi nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggungjawab.
Hal tersebut pada dasarnya selaras dengan ajaran yang tertuang dalam Naskah Amanat Galunggung, yang didalamnya memuat nasihat yang berbunyi:
“Jangan bentrok karena berselisih maksud, jangan saling berkeras, hendaknya rukun dalam tingkah laku dan tujuan. Ikuti, jangan hanya berkeras pada keinginan diri sendiri saja.
Jangan membunuh yang tidak berdosa, jangan merampas hak orang lain, jangan menyakiti yang tidak bersalah, jangan saling mencurigai. Berkeras kepada keinginan sendiri, tidak mendengar nasihat ibu dan bapak, tidak mengindahkan ajaran patikrama, itulah contoh orang yang keras kepala.
Bagi kita semua, tua dan muda, jangan berkata dengan berteriak, jangan berkata menyindir, menjelekkan sesama orang, dan berkata mengada-ada.
Perlu diketahui bahwa yang menghuni neraka adalah arwah pemalas, keras kepala, pandir, pemenung, pemalu, mudah tersinggung, lamban, kurang semangat, gemar tiduran, lengah, tidak tertib, mudah lupa, tidak punya keberanian, mudah kecewa, keterlaluan, sok jagoan, mudah mengeluh, malas, tidak bersungguh-sungguh, pembantah, selalu berdusta, bersungut-sungut, menggerutu, mudah bosan, segan mengalah, ambisius, mudah terpengaruh, mudah percaya omongan orang, tidak teguh memegang amanat, sulit, rumit mengesalkan, aib dan nista.
Orang pemalas tetapi banyak keinginan yang tidak tersedia dirumahnya lalu meminta belas kasihan pada orang lain. Bila tidak diberi maka kesal hatinya.
Orang pemalas seperti air di daun talas, plin plan namanya. Kesemrawutan dunia ini karena salah tindak para orang terkemuka, penguasa, para cerdik pandai, orang kaya, semuanya salah bertindak termasuk para raja di seluruh dunia”.
Berdasarkan isi dari naskah tersebut, dapat diketahui bahwa pendidikan karakter sebenarnya bukanlah hal yang baru.
Bangsa Indonesia sudah sejak lama mengenal sistem pendidikan karakter yang diawali dengan nasihat tutur yang diberikan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Salah satunya seperti yang tertuang dalan naskah Amanat Galunggung tersebut, secara tersirat amanat yang terkandung dalam naskah tersebut memuat komponen yang hampir sama dengan nilai-nilai pendidikan yang dimuat dalam nilai-nilai dasar anti korupsi yang dirumuskan oleh KPK dan juga nilai-nilai yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.
Sehingga jelas, usaha untuk memahami dan menggali kearifan lokal menjadi penting sebagai upaya untuk memetakan pemahaman mengenai konsep dasar dalam berperilaku dan berpikir secara komprehensif sebagai pijakan dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan sosiokultural.
Pendidikan karakter yang didasarkan atas kearifan lokal menjadi penting karena didalamnya terdapat proses pengembangan diri, internalisasi, dan penghayatan terhadap nilai-nilai dalam pergaulan di masyarakat.
Pola interaksi yang dilakukan akan mampu memberikan corak atau warna tertentu yang menjadi ciri khas terutama bagi negara yang multikultural seperti Indonesia.
Sehingga hal tersebut dapat dijadikan sebagai kekuatan yang transformasional guna meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusianya.
*Ervina Nurjanah, lahir di Kota Tasikmalaya tanggal 19 Januari 1994. Penulis merupakan alumnus program studi S1 Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran dan meraih gelar sarjana pada tahun 2017.
Saat ini Ervina Nurjanah merupakan Pustakawan Ahli Pertama yang ditempatkan pada unit kerja Pusat Bibliografi dan Pengolahan Bahan Perpustakaan, di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sejak Februari 2019.