Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Tenggang Rasa dalam Bermuamalah Ekonomi
Sekarang saat yang tepat bagi pemerintah dan para orang kaya menunjukkan kepeduliannya dengan mensupport saudara-saudara yang terpuruk ekonominya.
Editor: Dewi Agustina
Penulis: Deni Nuryadin
Relawan BAZNAS
Nu'man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi (bahasa Arab: النعمان بن ثابت), lebih dikenal dengan nama Abū FCḤanīfah, (bahasa Arab: أبو حنيفة) (lahir di Kufah, Irak pada 80 H / 699 M — meninggal di Baghdad, Irak, 148 H / 767 M) merupakan pendiri dari Madzhab Fiqih Hanafi.
Di masanya beliau juga dikenal sebagai seorang pedagang ulung kain sutera.
Suatu hari di depan tokonya, abu Hanifah didatangi oleh seorang ibu setengah baya dengan raut wajah nampak dalam kesulitan.
Ibu : Sambil nenyodorkan sehelai kain sutera yang masih terlihat rapih dalam lipatan, si ibu berkata, ....Tuan maukah engkau membeli sehelai kain sutera saya? Dengan intonasi dan raut wajah penuh harap agar kain suteranya dapat dibeli oleh tuan yang ia tawarkan
Abu Hanifah: Wahai Ibu nampak dari wajah dan tutur kamu terlihat sangat berharap agar saya dapat membeli kain sutera yang engkau jajakan, selanjutnya ia bertutur kepada si ibu,.... berapa harga kain sutera yang engkau akan jual?
Ibu: hamba sebenarnya masih sayang dengan kain sutera ini karena ini merupakan peninggalan almarhum suami hamba, namun karena ada kebutuhan mendesak saya berharap engkau dapat membeli kain sutera saya seharga 50 dinar.
Abu hanifah: Kain sutera yang engkau jual masih terlalu murah silahkan ibu jual dengan harga yang lebih pantas dan lebih tinggi, sambil berkata kembali, ... sebenarnya berapa harga jual kain sutera yang akan ibu jual, sehingga hasil penjualan kain ibu ini dapat menutupi kebutuhan dan kesulitan yang ibu hadapi
Ibu: seketika rona wajah ibu penuh harap dan terkesima mendapatkan jawaban dari ulama besar, ia pun melanjutkan penawarannya,. . . bagaimana jika Tuan dapat membeli kain sutera hamba dengan harga 200 dinar, mintanya.
Abu hanifah: sambil menunduk seakan ada yang ia pikirkan, bagaimana jika kita minta tolong kepada juru taksir agar dapat menilai seobjektif mungkin harga dari kain sutera yang engkau jajakan dengan demikian ibu tidak merasa menyesal terhadap harga kain yang akan akan saya beli nantinya
Singkat ceriata juru taksir kain sutera pun selesai menaksir dengan mengeluarkan nilai taksir kain sutera sebesar 400 dinar dan untuk selanjutnya kain sutera itupun dibeli oleh ulama besar tersebut.
Dari kisah di atas nampak sebuah transaksi biasa jual beli di dalamnya, dimana ada tawar menawar harga hingga terjadi kesepakatan keduanya untuk bertransaksi.
Namun sesungguhnya kisah di atas memberikan pelajaran bagi kita bahwa ada nilai kemuliaan disana yakni tenggang rasa yang diajarkan oleh seorang ulama besar yakni Abu Hanifah.
Rasa tersebut barangkali saat ini semakin menipis untuk dimalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kisah tersebut mengajarkan pada kita tenggang rasa pada transaksi bidang ekonomi inilah yang semestinya dipelihara oleh umat manusia, bukan sebaliknya berniaga yang hanya berorientasi mengejar pada keuntungan materi keduniawian semata.
Apabila kita telaah lebih jauh bahwa tenggang rasa merupakan sikap seseorang yang menempatkan perasaannya pada perasaan orang lain, manakala ia dihadapkan permasalahan yang sama sehingga ia akan bersikap lebih bijak dalam mengambil sebuah keputusan.
Seorang ulama besar sekaligus sebagai pedang kain sutera dimasanya, tentulah ia dalam menjalankan bisnisnya tidak semata-mata pada kalkukulasi hitungan untung rugi semata.
Namun ia sadar bahwa bahwa amanat yang ia jalankan di dunia hanya sebagai perhentian sementara untuk memperoleh dari pintu surga mana saja yang akan ia masuki.
Jika ia pedagang yang sholeh maka dengan menjunjung tinggi kejujuran, transparan dan berlaku adil didalam menjalankan profesinya tersebut dapat membawa dirinya pada keselamatan dan akan mendiami surga kekal abadi.
Jauh ribuan tahun silam sebelum adanya teori deflasi dalam teori ekonomi yang dideklarasikan oleh para pemikir ekonom barat, bahwa ulama besar itu sadar betul bagaimana caranya mencegah atau menanggulangi daya beli masyarakat yang turun yakni dengan jalan mempertahankan atau meningkatkan daya beli sang ibu dengan membayar barang yang dijual kepadanya untuk dibeli dengan harga pantas sesuai harga pasar.
Kisah ini memberikan hikmah bagaimana ulama besar tersebut menaikkan kembali daya beli sang ibu yang dalam kondisi keadaan terpaksa menawarkan harga kain suteranya dengan harga murah dengan cara membeli kain sutera si ibu dengan harga pantas di atas harga pasar.
Hal ini dimaksudkan agar sang ibu memiliki daya beli kembali untuk memenuhi kebutuhan dan menanggulangi kesulitannya.
Dari kisah di atas terdapat nilai yang tersirat yakni rasa tenggang rasa, atau empati menimbulkan dan mendorong orang lain bertindak untuk bergotong royong saling membantu.
Nilai-nilai dari kisah di atas inilah yang kita butuhkan, kepedulian atau tenggang rasa ekonomi bagi kita semua.
Sekarang saat yang tepat bagi pemerintah dan para orang kaya menunjukkan kepeduliannya dengan mensupport saudara-saudara kita yang terpuruk ekonominya.
Banyak orang kehilangan upah akibat pemutusan hubungan kerja dan para pengusaha mengalami penurunan omzet secara drastis dan lain-lain, untuk bangkit kembali dengan memberikan sumber penghasilan yang telah hilang dengan memberikan kesempatan kerja baru sehingga daya beli masyarakat dapat pulih kembali.
Harapan kita adalah dengan menjalankan ekonomi syariah mudah-mudahan menjadi solusi, gerakan ekonomi syariah saat ini bukan lagi sebagai pilihan atau pelengkap saja, melainkan harus sudah menjadi gerakan yang harus terus dikobarkan semangatnya agar umat ini berdaya secara ekonomi dan sejahtera semua sebagai perwujudan Islam rahmatan lil alamin.