Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mencari Model Kepemimpinan Bagi Generasi Milenial
Kaum milenial menganggap dirinya butuh aktualisasi lebih dari pada kewajiban untuk setia bekerja di satu perusahaan
Editor: Eko Sutriyanto
Oleh : Poernama Prijatna *)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berdasarkan hasil sensus penduduk Indonesia yang diterbitkan Badan Pusat Statistik pada Januari 2021, saat ini jumlah penduduk Indonesia mencapai 270,20 juta jiwa yang didominasi oleh usia produktif sebanyak 70,72%.
Insight menarik lainnya adalah dari total jumlah penduduk Indonesia tersebut 25,87%-nya adalah milenial dan 27,94% adalah gen-Z.
Sekedar informasi, milenial adalah mereka yang lahir di rentang tahun 1981–1996 dan Gen-Z adalah mereka yang lahir pada rentang tahun 1997–2012.
Berdasarkan catatan diatas, para milenial merupakan yang terbesar di berbagai organisasi atau perusahaan dan tidak sedikit dari mereka telah menduduki jabatan startegis.
Ada yang bilang kepemimpinan bukan tentang banyaknya umur atau pengalaman, akan tetapi tentang kesiapan.
Kesiapan inilah yang membedakan kualitas seorang pemimpin dan yang lainnya.
Karena kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan tertentu sehingga penting bagi kita untuk memahami betul tujuan kita dalam memimpin dan mengkomunikasikan tujuan tersebut dengan jelas kepada team, seperti kutipan John Maxwell berikut “A leader is a one who knows the way, goes to the way, and shows the way”.
Baca juga: Lomba Jakarta Millenial Report Pilih Taman Ismail Marzuki Jadi Objek Video
Beragam stempel melekat mewakili para milenial. Di satu sisi mereka dianggap sangat kreatif, inovatif dan enerjik.
Di sisi lain banyak juga yang menilai bahwa mereka mudah bosan, mudah mengeluh dan terlalu banyak menuntut.
Kaum milenial menganggap dirinya butuh aktualisasi lebih dari pada kewajiban untuk setia bekerja di satu perusahaan.
Ketergantungan terhadap sumberdaya digital dengan berbagai aplikasi di dalamnya membuat mereka dianggap sebagai generasi yang serba instan dan lebih berorientasi kepada hasil ketimbang proses.
Amat mudah bagi mereka untuk memutuskan resign dengan alasan kurangnya tantangan, lingkungan kerja yang tidak nyaman, tidak mendapat pengembangan, atau bahkan tidak adanya kesamaan visi-misi antara mereka dengan perusahaan.
Situasi-situasi tersebut akhirnya memaksa pemimpin organisasi untuk menemukan pola baru dan gaya kepemimpinan yang lebih “ramah” milenials. Goal-nya tentu saja pencapaian team yang lebih efektif.
Baca juga: Agen Asuransi Perlu Lakukan Ini Agar Tetap Produktif di Masa Pandemi