Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Melepas Jebakan Khittah, Kembali ke Spirit Walisongo; Saatnya NU Move On !
. Mereka yang memilih jalur khittah menemukan pijakannya pada figur-figur anggota Walisongo yang tidak berada di pucuk kepemimpinan politik.
Editor: Husein Sanusi
Melepas Jebakan Khittah, Kembali ke Spirit Walisongo; Saatnya NU Move On !
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
TRIBUNNEWS.COM - Nahdlatul Ulama (NU) adalah ormas yang paling bangga mewarisi spirit dakwah Islamiah ala Walisongo. Setiap figur dari sembilan waliyullah menjadi road maps perjuangan membela agama, bangsa dan negara. Sementara itu tidak ada guideline yang tegas bagaimana menentukan posisi masing-masing para wali; siapa yang pertama dan siapa yang terakhir.
Generasi muda Nahdliyyin terpaksa menjadi terbelah. Mereka yang memilih jalur khittah menemukan pijakannya pada figur-figur anggota Walisongo yang tidak berada di pucuk kepemimpinan politik. Bagi golongan ini, NU sebagai sebuah organisasi modern lebih baik bergerak di ranah politik kebangsaan dari pada terjun ke ranah politik kekuasaan.
Warga Nahdliyyin yang lain memilih jalur tafsir yang berbeda. Mereka menemukan pijakan pemikirannya pada figur-figur waliyullah seperti Sunan Giri Kedaton yang pertama dan Sunan Gunung Jati yang terakhir. Atau, figur Raden Fattah yang melepas statusnya sebagai anggota Walisongo sebelum diangkat secara mufakat untuk menjadi Raja Demak. Kelompok Nahdliyyin ini memandang politik kekuasaan jauh lebih penting daripada politik kebangsaan.
Perdebatan antara pendukung politik kebangsaan dan politik kekuasaan sudah pasti tidak akan selesai sampai kapanpun. Bahkan, Muktamar NU ke-34 di Lampung nanti tidak menjamin dua kubu ini sepakat satu suara tentang hermeneutika tafsir atas peran Walisongo. Sebab, figur para wali memang beragam sejak awal. Sejarah tidak bisa diubah, walaupun tafsir atas sejarah bisa terus berkembang.
Memang benar ada satu upaya yang mencoba untuk memadukan dua paradigma berpikir umat Islam di Nusantara kala itu. Misalnya Sultan Agung dari Mataram Islam melakukan profanisasi atas konsep teologis Manunggaling Kawulo-Gusti, yang semula bermakna spiritual (manusia dan Tuhan) menjadi politis (rakyat dan raja). Pengaruhnya berupa perubahan status seorang raja, yang sekaligus adalah waliyullah.
Konsep baru Sultan Agung Mataram Islam ini secara substansial tidak cukup baru, karena masih menyimpan aspek ortodoksi Islam Nusantara itu sendiri, yang bisa dirujuk pada figur Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, dan Raden Fatah. Tiga figur ini bukan saja waliyullah melainkan juga raja; bukan saja raja tetapi juga waliyullah. Raja dan Wali manunggal dalam satu figur.
Penyatuan konsep Raja dan Wali adalah konsep paling matang yang bisa kita nikmati sebagai warisan agung dari Mataram Islam. Hal ini harus terus dipertahankan sebagai wujud kecintaan kita pada bentuk interpretasi Islam versi Nusantara. Walaupun Islam Nusantara semacam ini juga mengandung sisi ortodoksi, yaitu sebuah pemahaman keislaman yang sudah eksis sejarah era Rasulullah dan Khalafaurrasyidin.
Warga Nahdliyyin tidak satupun yang akan menolak kenyataan sejarah bahwa Muhammad bin Abdullah adalah Utusan Allah sekaligus penguasa politik Madinah. Sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib adalah penguasa politik sekaligus sahabat terpilih yang dijamin masuk surga. Artinya, kombinasi agama dan politik kekuasaan bertahan sejak awal Islam sampai wujud terbarunya di Nusantara.
Adalah kenyataan yang cukup sulit diterima dalam konteks mutakhir perkembangan kebangsaan kita hari ini untuk memisahkan Nahdlatul Ulama dari politik. Sebab, atmosfer politik hari ini adalah atmosfer demokrasi yang berbeda total dari demokrasi ala orde lama. Kepimpinan Soeharto memang sangat represif. Jika saat itu ada wacana khittah maka sangat rasional. Karena di bawah otoritarianisme hanya sentralisasi yang mungkin hidup. Kebebasan direpresi sedemikian mengerikan.
Konsep NU kembali ke Khittah, yakni meninggalkan politik kekuasaan dan memilih politik kebangsaan, hari ini tidak relevan. Hari ini bukan lagi zaman Orde Baru yang otoriter represif. Mempertahankan produk pemikiran yang tidak kontekstual adalah bentuk kejumudan yang logis. Karena konsekuensinya adalah menganggap era reformasi hari ini masih serupa dengan era orde baru Soeharto. Hanya dengan meninggalkan produk pemikiran era orde baru kita bisa sepenuhnya masuk ke era reformasi, termasuk meninggalkan Khittah itu sendiri.
Meninggalkan Khittah bukan berarti menyalahi jalan dakwah Islamiah ala Walisongo. Tetapi, kita sedang mencontoh beberapa figur Walisongo dengan meninggalkan figur yang lain. Kita mencontoh anggota Walisongo yang memilih jalur politik kekuasaan dengan meninggalkan anggota Walisongo lain yang memilih jalur politik kebangsaan. Ini modal konseptual yang perlu dibahas pada muktamar 34 nanti.
Dengan demikian, hemat penulis, PBNU yang baru harus lahir dari muktamar 34 nanti, yaitu berorientasi pada kekuasaan bukan sekedar kebangsaan, Kepemimpinan PBNU yang baru harus terlepas dari Jebakan Khittah yang secara nyata telah merugikan NU secara politik, Khittah adalah "masa lalu" dan saat ini NU membutuhkan masa depan, muktamar adalah momentum NU untuk move on bahkan NU membutuhkan kepemimpinan baru yaitu PBNU yang Ketua Umum Tanfidziah dipimpin oleh politisi ulung kader terbaik Nahdliyyin. Sedangkan Rais 'Amm dipimpin oleh ulama, keduannya menyatu sebagai kepemimpinan konsep era walisongo seperti Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Raden Fatah. Tidak ada pilihan yang lebih baik, karena berdasarkan pengalaman NU paling mutakhir; ada upaya menjadikan warga Nahdliyyin sebagai objek politik kekuasaan bukan subjek politik kekuasaan. Wallahu a'lam bis shawab.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*