Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Polemik Putusan MK tentang UU Cipta Kerja
UU Ciptaker dan aturan pelaksanaanya yang sudah ada tetap berlaku hingga dua tahun ke depan.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Dr Anwar Budiman SH MM MH
TRIBUNNEWS.COM - Kamis (25/11/2021) lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan No 91/PUU-XVIII/2020 yang isinya memutus permohonan uji formil tentang Undang-Undang (UU) No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Ciptaker.
Putusan itu antara lain berbunyi, pertama, menyatakan pembentukan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara RI Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”.
Kedua, menyatakan UU 11/2020 masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini.
Baca juga: Pakar Hukum Tata Negara Ingatkan UU Cipta Kerja Tetap Berlaku
Ketiga, memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka UU 11/2020 menjadi inkonstitusional secara permanen.
Keempat, menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU 11/2020 maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU 11/2020 dinyatakan berlaku kembali.
Kelima, menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU 11/2020.
Putusan MK tersebut ternyata menuai pro dan kontra dari masyarakat. Banyak yang berasumsi putusan tersebut telah bertentangan dengan asas hukum tata negara, namun tidak sedikit pula yang mengatakan itu suatu jalan tengah.
Perlu diketahui, pengajuan judicial review terbagi dari Uji Materi (pengujian terhadap isi pasal/materi undang-undang) dan Uji Formil (pengujian terhadap tata cara pembentukan undang-undang).
Putusan MK yang dimaksud saat ini berasal dari adanya gugatan masyarakat dikarenakan UU Ciptaker dianggap tidak berpihak kepada masyarakat kelas menengah ke bawah, di mana gugatan yang diajukan adalah fokus pada Uji Formil.
Di dalam gugatannya, penggugat menyatakan UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22A yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang."
Dalam teori hukum, jika pengujian yang diajukan adalah uji materil dan putusannya menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, maka hanya pasal yang diuji tersebut yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (pasal tersebut batal).
Sedangkan jika pengujian yang diajukan adalah uji formil dan putusannya menyatakan pembentukan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, maka sejatinya undang-undang dan seluruh materi/pasal yang ada di dalamnya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (UU tersebut batal).
Namun dikarenakan amar putusan MK menyatakan UU Ciptaker adalah inkonstitusional bersyarat dengan ketentuan harus dilakukan perbaikan pembentukannya dalam waktu dua tahun dan juga menyatakan UU tersebut tetap belaku sampai dua tahun ke depan, maka sudah menjadi kepastian hukum bahwa warga negara harus tunduk dan mentaati putusan MK tersebut.
Karena putusan pengadilan (dalam hal ini putusan MK) yang telah berkekuatan hukum tetap tidak lagi dipandang benar atau salah, melainkan semua warga negara wajib tunduk. Putusan ini bersifat erga omens (mengikat semua warga negara).
Sedangkan mengenai perintah menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas adalah ditujukan kepada pemerintah (eksekutif) yang dalam hal ini sesuai isi UU Ciptaker adalah menangguhkan tindakan kebijakan dalam rangka pengembangan infrastruktur, pengembangan wilayah, dan pengembangan ekonomi.
Menurut pemahaman saya, pengertian penangguhan adalah untuk tidak mejalankan hal-hal yang akan dijalankan (dalam rencana), bukan hal-hal yang sedang berjalan.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa UU Ciptaker dan aturan pelaksanaanya yang sudah ada tetap berlaku hingga dua tahun ke depan.
Alhasil, semua warga negara harus tunduk terhadap putusan MK ini, dan diharapkan pemerintah juga segera melaksanakan perintah dari putusan MK tersebut, karena sikap dan perilaku pemerintah menjadi keteladanan bagi warga negara.
Ingat, ketika undang-undang yang dibuat ternyata tidak memasukkan asas keadilan maka dapat diuji di lembaga peradilan. Namun ketika putusan MK tidak mencerminkan keadilan, tidak ada lagi tempat untuk menguji.
Oleh karena itu untuk menciptakan ketenteraman bernegara, pemerintah dapat segera melaksanakan perintah dari putusan MK tersebut atau dapat membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
* Dr Anwar Budiman SH MM MH, dosen Pasca-Sarjana Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, dan praktisi ketenagakerjaan.