Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Tepatkah Langkah Penyidik Datangi dan Berbincang Akrab dengan Habib Bahar?
Kalau mau konsekuen dan non-diskriminatif dengan asumsi sedemikian rupa, maka Habib BBS pun sudah sepatutnya disikapi secara sama.
Editor: Malvyandie Haryadi
Penulis:
Reza Indragiri Amriel
Psikolog Forensik
TRIBUNNERS - Ahok adalah mantan narapidana.
Habib Bahar bin Smith (BBS) juga pernah masuk penjara.
Setelah masa hukumannya berakhir, Ahok diasumsikan "bersih", sehingga dia diperlakukan sebagaimana warga negara lainnya yang tidak pernah berurusan dengan hukum.
Kalau mau konsekuen dan non-diskriminatif dengan asumsi sedemikian rupa, maka Habib BBS pun sudah sepatutnya disikapi secara sama.
Toh masa pemidanaan Habib BBS juga sudah selesai.
Baca juga: Viral Video Polisi Sambangi Habib Bahar, Ngopi Diakhiri Berpelukan Akrab, Ini Penjelasan Polda Jabar
Tapi mari kita lebih substantif sekaligus lebih berempati.
Dari kacamata pidana, boleh jadi Habib BBS termasuk dalam kategori individu berisiko.
Anggaplah, tidak sedikit kalangan yang memandang Habib BBS sebagai sosok idealis yang mengartikulasikan sikapnya dengan cara yang frontal bahkan keras.
Namun andaikan dilakukan risk assessment, sikap Habib BBS itu boleh jadi menjadikannya sebagai orang yang potensial berulang kali berhadapan dengan hukum.
Terhadap individu semacam itu, otoritas penegakan hukum bisa saja menerapkan langkah super represif.
Tapi, terlebih dalam situasi sekarang, langkah sedemikian rupa dikhawatirkan malah akan menambah ketegangan di masyarakat.
Opsi lain, kepolisian bisa mengambil prakarsa yang--katakanlah--lebih dari hati ke hati.
Kerja dari hati ke hati dalam menyikapi Habib BBS memiliki dua pembenaran.
Pertama, pendekatan soft oleh Polda Jabar sebenarnya selaras dengan agenda ketujuh Kapolri, Jenderal Listyo Sigit, yakni problem solving dan restorative justice.
Pendekatan ini sangat tepat diimplementasikan, antara lain, ke situasi atau individu yang berisiko melakukan pengulangan pidana.
Kesesuaian antara karakteristik Habib BBS dengan problem solving dan restorative justice itulah yang tampaknya dipelajari dan dilakukan Polda Jabar terhadap Habib.
Saya mengartikan pertemuan itu sebagai kerja yang berfokus pada titik paling hulu pengendalian situasi rawan yaitu dimensi preemtif.
Dieksposnya momen silaturahim itu ke publik semakin memperlihatkan betapa Polri (cq. Polda Jabar) transparan dalam melaksanakan kerjanya itu, sekaligus semoga dapat berdampak positif ke kelompok-kelompok masyarakat secara lebih luas.
Kedua, sowan antara aparat negara dan Habib BBS juga dapat dirasionalisasikan sebagai implementasi pemasyarakatan sebagai filosofi penghukuman di Indonesia.
Spesifik, kunjungan seperti yang dilakukan Polda Jabar menyerupai program diversi berupa civil citation program atau pun caution and warning program.
Polisi bekerja menunjukkan kewenangannya.
Namun alih-alih langsung represif, hukum dihadirkan dengan paras yang lebih humanis sekaligus progresif.
Progresif dalam pengertian polisi menerapkan cara yang melampaui persepsi sebagian kalangan agar Habib BBS dikenakan perlakuan berat.

