Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Pentingnya Kekuasaan Politik di Tangan Santri dan Saatnya Kiai dan Pesantren Berpolitik

Tak bisa dipungkiri oleh Indonesia bahwa santri atau pesantren punya saham besar terhadap kemerdekaan Indonesia.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Pentingnya Kekuasaan Politik di Tangan Santri dan Saatnya Kiai dan Pesantren Berpolitik
Pesantren Bina Insan Mulia.
KH. Imam Jazuli 

Pentingnya Kekuasaan Politik Di Tangan Santri & Saatnya Kiai Dan Pesantren Berpolitik!

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*

TRIBUNNEWS.COM - Dari renungan yang lama, saya kemudian memberanikan diri untuk membuka sekolah politik. Namanya Sekolah Politik Bina Insan Mulia. Sekolah ini memberikan pendidikan kepada para calon legislator dari santri-santri senior yang telah berkiprah di masyarakat dan telah memiliki modal sosial dan finasial yang memadai. Syukur-syukur santri tersebut juga kaya harta.

Sekolah Politik Bina Insan Mulia pertama kali di launching di Luxton Hotel and Convention Cirebon yang dihadiri 1000 undangan dari berbagai kalangan pada tanggal 21 Januari 2018, dan mulai dibuka pelaksanaanya pada 23 Februari 2018. Program ini diikuti oleh para santri senior, utamanya lulusan Al-Azhar Kairo Mesir dan lulusan pesantren ternama di Indonesia yang menjadi calon legislatif . Hadir dalam program perdana ini 100 peserta yang mewakili semua partai yang ikut kontestan di Pemilu 2019.

Ada PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PSI, PAN (Partai Amanat Nasional), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PDI-P, Golkar, Nasdem, PKS, Hanura, dan Gerindra. Mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia, antara lain: NTB, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jabodetabek.

Agendanya bukan berkampanye untuk partai politik tertentu, tetapi memberikan bom kesadaran spiritual di hati mereka, pembekalan pengetahuan mengenai peta pertarungan politik sekaligus membekali skill dalam mengelola diri secara branding dan psikologis, plus strategi pemenangan yang efektif dan Jitu.

Program berlangsung lima hari. Semua peserta menginap di Pesantren Bina Insan Mulia. Kami hadirkan narasumber dari pakar dan praktisi. Kami juga mengundang pihak pemerintah, antara lain KPU dan Bawaslu Cirebon.

Berita Rekomendasi

Untuk strategi pemenangan politik, kami mengundang Dr. Jayadi Hanan dari SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting), Dewi Haroen dan tim dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menyampaikan materi seputar personal branding dalam pertarungan politik, Dr. HC. Ubaydillah Anwar, Reza M. Syarief, MBA, dan Imam Ratrionso, Psi membekali skill bagaimana mengoptimalkan potensi, mengelola tekanan stres, dan menjaga stamina jiwa.

Para kru senior dari salah satu televisi nasional juga kami datangkan untuk membekali skill dan teknik mendesain tayangan personal brand supaya menarik. Kami juga mengundang para legislator dari sejumlah partai politik tingkat nasional, Jawa Barat, dan Cirebon. Datang untuk menyampaikan materi beberapa perwakilan partai, antara PKB, Demokrat, Gerindra, PKS, PSI, PDIP, Golkar, dan PAN.

Renungan saya berawal dari sebuah pertanyaan terhadap kenyataan. Tak bisa dipungkiri oleh Indonesia bahwa santri atau pesantren punya saham besar terhadap kemerdekaan Indonesia. Tapi kenapa setelah Indonesia merdeka peranan santri dan pesantren seolah-olah termajinalkan? Pendidikannya tidak diakui, ijazah lokal nya ditolak, tapi suara politiknya dibutuhkan. Ini tidak berimbang, tidak fair, dan tidak adil.

Kita semua sudah diajari bahwa terhadap kesewenang-wenangan pihak lain, kita tidak boleh membiarkannya. Minimalnya harus bersuara sebagai bukti kesabaran yang baik (shobrun jamil). Tapi tidak berarti harus melawan secara gegabah dan inkonstitusional. Ini malah bahaya.

Kontestasi politik harus dijadikan pintu masuk. Inilah momen bagi santri yang telah mampu untuk ambil bagian penting dalam perubahan bangsa dan negara. Jangan sampai santri hanya menjadi manusia yang suka mengeluh terhadap realita namun tidak melakukan apa-apa.

Saya katakan kepada mereka bahwa kalau ingin Indonesia berubah, caranya adalah menjadi bagian dari sistem perubahan, bukan mengeluh. Santri dididik untuk memberi solusi atas problem masyarakat, bukan malah mengeluh, apalagi suka mengeluh di media sosial. Santri harus hadir dengan jawaban terhadap persoalan zaman.

Agar Dakwah Lebih Powerful

Panji reformasi yang kita angkat tinggi-tinggi, ternyata banyak agendanya yang ditunggangi oleh liberalisme dan kapitalisme. Dua saudara sekandung ini bekerja sama untuk menciptakan kemadharatan di Nusantara demi mengeruk untung. Sayangnya, itu tidak terantisipasi dari awal oleh para pemimpin kita.

Melalui demokrasi politik, kapitalisme dan liberalisme menyelundupkan amunisi serangannya lalu hasilnya adalah politik dagang sapi. Kekuasaan dibeli dengan uang. Rakyat pun disuap melalui cara yang sistematis dengan memanfaatkan kemiskinan, kebodohan, dan ketidakpedulian. Dan kekuasaan politik pun akhirnya berhasil digenggam.

Dengan kekuasaan politik di tangan, maka sekelompok orang yang sedikit jumlahnya dapat menentukan haluan pendidikan, ekonomi, hukum, partai, kehidupan social agama, pupuk, listrik, beasiswa, dan segalanya. Telunjuk orang yang telah memegang kekuasaan politik itu nilainya mahal. Bisa senilai jutaan orang dalam satu negara, satu provinsi, atau satu kabupaten.

Suka atau tidak suka, karena kita hidup dalam satu sistem negara maka yang menentukan hidup kita di wilayah sosial bukan kita tetapi sistem. Dan sistem itu siapa yang membuat? Sudah pasti pembuatnya adalah orang-orang yang berhasil merebut kekuasaan politik. “Yang menanglah yang mengatur,” begitulah rumus permainannya.

Sekadar bahan renungan. Jumlah umat Yahudi di seluruh dunia menurut catatan Atlas of The World"s Religions hanya 15.050.000. Tidak ada apa-apanya dengan jumlah umat Islam yang mau mendekati dua miliar.

Tapi, seperti yang kita saksikan hari ini, umat Yahudi memimpin dunia melalui tangan-tangan mereka di negara-negara besar. Merekalah penentu permainan. Kenapa? Mahathir Muhammad menyerukan umat Islam menggunakan strategi, ilmu, dan kerja keras.

Belakangan, banyak yang mengendus kedatangan famili dari liberalisme dan kapitalisme barat yaitu sosialisme dan komunisme. Melalui jalur-jalur ekonomi rente, mereka masuk dengan mulus. Kenapa bisa mulus? Jawabannya sama: kekuasaan politik yang telah direbut oleh saudaranya.

Apa tujuannya? Soal inti tujuan sama: bagi-bagi kue penjajahan, kue hegemoni, kue koloni.

Naluri untuk menancapkan cakar penjajahan dimiliki oleh makhluk hidup dan itu eksis sampai Kiamat. Bangsa ingin menjajah bangsa lain. Kelompok ingin menjajah kelompok lain. Seseorang ingin mengungguli orang lain. Mirip seperti kehidupan binatang buas antara singa, hayna, macan tutul, kera, dan seterusnya.

Seperti dijelaskan Imam Ghazali dalam Ihya’ bahwa pada diri manusia itu terdapat potensi terbentuknya sifat binatang buas, binatang liar, setan, dan malaikat/ilahiyah. Tanpa agama dan pendidikan, maka dipastikan yang paling menonjol adalah tiga potensinya yang merusak.

Watak binatang buas adalah menjajah, mencaplok, atau merusakan yang lain. Watak binatang liar antara lain tidak mau peduli dengan kepentingan orang banyak, yang penting urusan perut dan kelamin. Watak setan antara lain menggoda, menjerumuskan, atau menipu. Watak malaikat antara lain pro pada kebaikan, mau menjalankan kebaikan, dan berkomitmen pada nilai-nilai ketuhanan.

Dengan kata lain, manusia punya potensi destruktif (merusak) dan juga konstruktif (membangun). Karena itulah Allah SWT menurunkan agama, ilmu, dan kekuasaan untuk mengerem yang kuat, mengatur hubungan antara yang kuat dan yang lemah, dan melindungi yang lemah.

Terhadap kekuasaan, Khalifah Ali bin Abu Thalib pernah menyampaikan, seperti dikutip dalam Adabud Dun-ya wad Din, bahwa kekuasaan itu diturunkan oleh Allah kepada sebagian manusia agar digunakan untuk melindungi yang lemah.

Masalah yang muncul dalam praktik adalah bagaimana jika kekuasaan itu berada di tangan orang yang jauh dari cahaya agama? Akankah digunakan untuk melindungi yang lemah dan mengerem atau menghalau yang kuat agar tidak semena-mena? Di sinilah pentingnya kekuasaan politik untuk para santri.

Dengan kekuasaan politik maka dakwah menjadi powerful. Nabi SAW pernah menyuruh setiap kita agar menolong yang dizalimi dan yang menzalimi. Menolong orang yang terzalimi sudah jamah dipahami. Tapi bagaimana menolong orang-orang zalim agar berhenti? Kekuatan yang paling kokoh adalah kekuasaan politik

Jadi, selama kekuasaan politik itu digunakan untuk menghentikan kezaliman, mengarahkan watak manusia melalui pendidikan, atau untuk menolong yang terzalimi, pasti hasilnya luar biasa bagi perubahan. Dan santri perlu berada di pusaran kekuatan ini meskipun tidak harus semua santri.

Kiss of Death untuk Para Kiai

Dulu, kita sering mendengar ucapan bahwa politik itu harus dijauhkan dari pesantren, kiai atau ulama di masyarakat. Kenapa? Alasannya karena politik itu kotor. Anehnya, kita juga percaya 100 persen terhadap ucapan itu tanpa merenunginya dan menelaah konsekuensinya.

Bahkan terasa ucapan itu seperti dimaksudkan untuk menghormati posisi pesantren, kiainya, dan ulama. Padahal, kalau melihat dampak dari kepercayaan kita terhadap ucapan itu, saya ingin menyebutnya dengan istilah kiss of death atau semacam ciuman maut. Kita dihibur habis-habisan padahal sejatinya akan dibunuh.

Politik memang kotor, tetapi kotornya politik bukan karena politiknya, melainkan karena ulah manusianya. Politik sebagai ilmu atau strategi tetap suci. Bukankah Allah pemilik semua ilmu yang ada di jagat ini? Allah memberikan ilmu itu kepada siapa yang menghendaki dan siapa yang dikehendaki oleh Allah.

Terlepas politik itu di dalamnya kotor atau tidak, tetapi dalam kehidupan demokrasi modern politiklah yang memegang kekuasaan. Ketika kekuasaan dipegang sekelompok orang, maka semua urusan tergantung mereka. Kekuasaan inilah yang mahal.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin pesantren bisa berkontribusi dalam perubahan secara signifikan kalau tidak ada alumni pesantren yang menguasai ranah politik itu? Berjuang dengan cara berdakwah seperti sekarang ini memang baik, tapi akan lebih baik dan lebih powerful lagi apabila diperkuat dengan kekuasaan politik. Memang tidak semua santri harus ke sana. Tapi bukankah kita diharuskan berjihad dengan ber-shaf-shaf/barisan yang ter-manage?

Kita tentu sudah paham bagaimana Nabi SAW berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Secara akidah, hijrah adalah perintah Allah. Namun ketika perintah itu direalisasikan di bumi, maka diolah oleh Nabi SAW menjadi strategi perjuangan yang hari ini disebut strategi politik.

Nabi dan pengikutnya di Makkah tidak bisa bergerak karena kekuasaan politik di tangan lawan-lawannya sementara dua tokoh berpengaruh, yaitu Khadijah dan Abu Thalib telah pergi. Tokoh-tokoh besar kala itu menguasai peta politik/sosial. Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Sofyan, Khalid bin Walid, dan lain-lain. Pintu negoisasi tertutup sehingga berbagai nasib buruk dialami umat Islam. Dari pengucilan, penghadangan, pengusiran, dan seterusnya.

Kenapa Allah SWT tidak langsung turun tangan untuk menyelesaikan persoalan kelakukan manusia yang menyakiti Nabi-Nya dan hamba kesayangan-Nya? Inilah pelajaran buat kita. Allah ingin mengajarkan bahwa sesoleh-solehnya pejuang kebenaran itu jika tidak punya kekuasaan politik, maka langkah kelompoknya terbatas, nasib kelompoknya akan ditentukan oleh pemegang kekuasaan, dan itu banyak menderitanya.

Nabi SAW dan umat Islam dididik oleh Allah untuk mendalami strategi politik dakwah selama 13 tahun di Makkah. Begitu datang ke Madinah, kompetensi Rasulullah SAW dan umat sudah canggih dalam urusan strategi politik sehingga dengan mudah umat Islam menguasai peta perebutan kekuasaan di masyarakat.

Hanya dalam waktu 10 tahun setelah hijrah, Nabi dan para sahabat telah menjadi tokoh besar di jazirah Arab. Surat ajakan untuk masuk Islam dan lobi kerjasama pun sudah dikirim ke negara-negara raksasa kala itu. Misalnya ke Raja Kisra.

Kita tahu bahwa saat Nabi dan rombongan datang, di Madinah sudah berkuasa kelompok-kelompok suku dari Yahudi dan Nasrani. Tidak mungkin Nabi SAW datang-datang menundukkan mereka dengan ayat al-Qur’an. Nabi dengan cepat memperkuat modal sosial sehingga posisinya di antara tokoh sangat kuat. Karena posisinya kuat, maka mereka menokohkan Nabi sebagai pemersatu.

Intinya, Sekolah Politik Bina Insan Mulia ingin mengajak masyarakat pesantren, para kiai, dan ulama untuk jangan lagi tertipu oleh ciuman maut dari orang-orang yang ingin mengeksploitasi dengan isme-isme di negeri ini.

Sekolah Politik Bina Insan Mulia hanya ingin berkonsentrasi pada pembekalan pengetahuan, keahlian, penyadaran, keyakinan dan memfasilitasi terbentuknya barisan (network) para santri senior yang telah memiliki modal sosial dan finacial di masyarakat.

Haruskah Menjadi Partisan Partai Politik?

Apakah seorang pimpinan pesantren harus terjun langsung di partai politik? Ini pilihan. Tapi banyak yang berpendapat sebaiknya tidak terjun langsung supaya dapat optimal mengurus pesantren dan supaya tetap dapat menyatukan umat untuk meraih tujuan-tujuan besar.

Terlepas mau terjun langsung maupun tidak, peranan yang perlu direbut oleh para kiai, para ulama, para pengasuh pesantren adalah ikut memperbaiki budaya politik dan mendorong sebagian santri untuk masuk ke gelanggang politik.

Apa yang bisa dilakukan oleh pesantren, para kiai, para ulama terhadap alumninya yang sudah punya modal sosial dan financial di masyarakat? Saya yakin banyak hal yang bisa kita lakukan asalkan kita mau melakukan dan mau membentuk barisan dan bersinergi.

Para kiai bisa menjadi motivator alumni pesantren agar terjun ke dunia politik. Motivasi ini penting bagi semua manusia. Kita bisa membayangkan para nabi saja masih dimotivasi oleh Allah dengan banyak ayat yang bisa kita temukan dalam al-Qur’an. Nabi Muhammad dimotivasi supaya “qum”. Nabi Musa dimotivasi supaya jangan takut atau jangan bersedih. Nabi Nuh dimotivasi jangan berkecil hati. Dan masih banyak lagi.

Daripada kita menjelek-jelekkan pihak barat atau pihak pemerintah, mari kita benahi apa yang terjadi di dalam. Kita perkuat barisan perjuangan santri. Lebih baik energi yang ada untuk memotivasi para santri bagaimana mereka berperan di masyarakat, dan salah satu kuncinya adalah masuk ke bidang politik bagi yang sudah mampu.

Para kiai juga dapat memberikan fasilitas seperti yang saya lakukan. Diundanglah tokoh-tokoh politik yang pernah nyantri atau para simpatisan perjuangan pesantren. Kita beri mereka kesempatan untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan serta penyadaran. Saya yakin dari kegiatan ini akan muncul banyak ide konstruktif bagi perjuangan santri di politik.

Para kiai juga bisa memberikan dukungan yang disebut modal sosial (social capital) tanpa harus menjadi pemecah belah umat dengan menjadi partisan. Sudah banyak yang mempraktikkan bahwa modal sosial merupakan kunci untuk meraih kesuksesan di politik. Dan kita semua tahu bahwa bagi alumni pesantren tidak sulit untuk membangun modal sosial itu.

Saat santri-santri tersebut memegang kekuasaan politik, para kiai lebih mudah untuk memberi masukan dan peringatan apabila langkahnya menyimpang dari jalur rel. Kita paham bahwa begitu seseorang telah berkuasa, iblisnya jauh lebih banyak dan jauh lebih ahli sehingga banyak yang jatuh. Di sinilah para kiai bisa lebih mudah mengakses untuk mengingatkan (basyiron wa nadziron)

Sebagai sebuah perjuangan, tentu langkah ini tidak seperti orang makan cabe yang begitu digigit langsung terasa pedasnya. Kita melakukan ini untuk generasi mendatang. Dan itu terbukti, Hari ini sudah banyak peserta Sekolah Politik Bina Insan Mulia yang telah menjadi anggota legislatif di DPD, DPRD maupun DPR RI.

Pertanyaannya, bagaimana Pesantren Bina Insan Mulia menghadapi pemilu 2024 ? Tentu saja, saya akan meningkatkan Sekolah Pendidikan Politik Bina Insan Mulia lebih besar lagi, di tahun 2023 akan dibuka kembali pendaftaran untuk 700 Peserta, kedepan, Sekolah Pendidikan Politik Bina Insan Mulia akan dilaksanakan di Ballroom Aston Hotel and Convention Cirebon selama 3 hari penuh. Seperti biasa semua layanan ini bersifat gratis, dengan syarat pesertanya betul-betul calon legislatif berlatar belakang santri/kiai. ini bagian dari kontribusi Pesantren Bina Insan Mulai untuk Indonesia.

Without the BoX Thinking adalah rubrik khusus di tribunnews.com kanal Tribunner, berisi artikel tentang respon pendidikan Islam, khususnya pesantren terhadap perubahan zaman dan paparan best practices sebagai bahan sharing dan learning di Pesantren Bina Insan Mulia. Seluruh artikel ditulis oleh KH. Imam Jazuli, Lc, MA dan akan segera diterbitkan dalam bentuk buku. Selamat membaca.

*Penulis adalah Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia 1 dan Bina Insan Mulia 2 Cirebon. Pernah dipercaya sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. Penulis merupakan alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; juga alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; dan alumnus Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas