Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Tradisi Leadership Pesantren

Tradisi leadership pesantren berarti sunnah atau kultur kepemimpinan yang telah berjalan lama di pesantren.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Tradisi Leadership Pesantren
Pesantren Bina Insan Mulia.
KH. Imam Jazuli 

Tradisi Leadership Pesantren

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA.

TRIBUNNEWS.COM - Pesantren Bina Insan Mulia mengadakan tes seleksi di hotel pertama kali tahun 2015. Waktu itu hotel Aston Cirebon yang terpilih sebagai lokasi acara. Saya dan seluruh guru-guru terjun total. Pikiran dan tenaga kami terkuras sebagian besarnya ke acara tersebut. Acara dihadiri tak kurang dari 1.000 orang. Mereka adalah santri, wali santri, dan tamu undangan.

Karena acara tersebut berbiaya lumayan mahal untuk ukuran pesantren, maka agendanya harus dikemas semenarik mungkin. Kualitas agendanya pun harus mendukung tujuan Pesantren. Jangan sampai acaranya meriah dan menarik tapi tujuan pesantren tidak tercapai.
Seluruh rangkaian tes seleksi berjalan mulus.

Di tahun kedua, saya mulai menarik keterlibatan saya secara fisik, namun tidak total. Saya tugaskan beberapa guru untuk mengadakan acara serupa di hotel yang sama. Hasilnya alhamdulillah. Semua berjalan sesuai rencana. Ada kekurangan teknis di beberapa poin yang saya lihat masih wajar, dan itu OK.

Di tahun ketiga, saya sudah lepas total, meskipun acaranya lebih besar. Yang menangani semua urusan dari A sampai Z adalah para guru dibantu para pembimbing.

Di tahun keempat, saya ingin guru-guru hanya fokus untuk mengurus kualitas pembelajaran. Untuk penanganan acara-acara seremonial di luar pesantren, saya ingin mengalihkan penanggung jawabnya kepada para pembimbing.

BERITA REKOMENDASI

Para pembimbing adalah alumni Pesantren Bina Insan Mulia ditambah alumni dari pesantren lain. Ada yang dari Pondok Modern Gontor, Pesantren Parinduan, alumni Lirboyo dan juga dari BEC Pare Kediri dll.

Di tahun berikutnya, semuanya sudah ditangani oleh pembimbing dan para santri yang menjadi pengurus OSIP (Organisasi Santri Intra Pesantren). Saya sendiri malah tidak sampai menyentuh urusan teknis di lapangan. Saya hanya memberikan pengarahan dan haluan lalu target hasil akhirnya seperti apa.

Bahkan di masa Covid tahun 2021, seluruh pelaksanaan tes seleksi di Hotel Luxton ditangani oleh alumni, beberapa pembimbing dan 3 orang guru yang saya tugaskan di luar selama Pandemi.

Eksperimen berikutnya, saya mempersilakan bagi pengurus OSIP (Organisasi Santri Intra Pesantren) Bina Insan Mulia untuk mengadakan musyawarah organisasi dan training di Luxton Hotel & Convention. OSIP dikelola oleh santri-santri kelas 2 Aliyah dan SMK.

Para senior menyampaikan pengalamannya selama setahun. Para pengurus menyusun program ke depan yang lebih inovatif. Karena mereka sudah melihat model dari seniornya, maka seluruh program acara berjalan lancar.

Mungkin pengalaman seperti ini terasa biasa bagi pesantren yang telah berjalan puluhan tahun. Tapi bagi Bina Insan Mulia yang saat itu usianya belum genap 5 tahun, pengalaman itu luar biasa. Saya mendapatkan bukti langsung bahwa tradisi leadership pesantren ternyata manjur untuk mendidik para santri.

Pemimpin Melahirkan Pemimpin

Tradisi leadership pesantren berarti sunnah atau kultur kepemimpinan yang telah berjalan lama di pesantren. Tentu tidak cukup untuk menjelaskan seluruh bangunan tradisi tersebut beserta komponen dan elemennya di sini. Saya hanya akan menjelaskan beberapa sendi utama saja yang saya serap dan saya praktikkan.

Dalam tradisi leadership pesantren, misi utama pemimpin adalah mencetak pemimpin, bukan mencetak pengikut. Begitu seseorang masuk pesantren, langsung jiwa dan raganya mendapatkan sentuhan dari kiai dan ustadz-ustadz untuk menjadi tokoh, imam, atau pemimpin di masyarakat.

Tidak satu pun kiai pesantren yang mendoktrin santrinya untuk menjadi warga masyarakat biasa. Meski demikian, hingga hari ini tidak ada pesantren yang punya panduan manual leadership. Kalau pun ada, jumlahnya mungkin bisa dihitung dengan jari.

Lalu dengan cara seperti apa proses transfer leadership terjadi? Para kiai memiliki formula tersendiri dalam melahirkan pemimpin. Para kiai menciptakan formula sebuah praktik (best practices) yang bisa dipelajari dan dan diajarkan oleh guru dan santri.

Mirip seperti yang saya gambarkan di atas. Saya membuat kegiatan lalu dari situ tercipta sebuah formula yang bisa dipelajari dan diajarkan (modelling). Para santri dan guru terlibat langsung sesuai arahan saya untuk menghasilkan out-put yang telah distandarkan. Sajian model demikian terbukti efektif.

Di Bina Insan Mulai 1 dan 2, terdapat berbagai kegiatan yang tidak perlu diajarkan melalui pembelajaran di kelas. Dan hasilnya alhamdulillah. Misalnya Panggung Gembira, Dalailan, kepramukaan, perkenalan nilai-nilai Pesantren, dan lain-lain. Semua itu terjadi melalui proses transfer learning.

Secara teori ternyata tradisi demikian mendapatkan penguatan yang diakui para ahli dari waktu ke waktu. Teori pembelajaran “social learning” (pembelajaran sosial) menjelaskan bahwa suatu perilaku baru dari seseorang dapat dihasilan dengan memberikan kesempatan untuk observasi dan imitasi.

Berbagai studi ilmiah mengungkap bahwa pembelajaran sosial berperan penting dalam menjaga kelangsungan proses pendidikan di suatu tempat. Pembelajaran sosial juga sangat bagus untuk meningkatkan kualitas hasil pembelajaran. Pembelajaran sosial dapat meningkatkan motivasi dan totalitas pembelajar.

Pertanyannya, seberapa berhasil tradisi tersebut dalam melahirkan pemimpin? Bisa dibuktikan bahwa seluruh pesantren di Indonesia ini pasti dipimpin oleh alumni pesantren. Bila ada orang yang memiliki pesantren tapi bukan alumnus pesantren, tetap saja akan menunjuk seorang alumnus pesantren untuk menjadi pengasuh atau kiai.

Para kiai telah terbukti melahirkan para pemimpin di berbagai lembaga. Mulai dari pesantren, kampus, perusahaan, militer, presiden, kementerian, dan lain-lain. Tetapi belum satu pun lembaga yang bisa melahirkan kiai selain pesantren.

Artinya, tradisi leadership pesantren jika mau diuji dengan parameter leadership profesional saat ini justru menunjukkan keberhasilan yang luar biasa. Keberhasilan seorang leader ditentukan oleh seberapa mampu leader tersebut melahirkan para leader. Itulah parameter yang menjadi pedoman dalam leadership profesional hari ini.

Darimana metode demikian bersumber? Rasulullah SAW diajari oleh Allah SWT untuk mentransformasi ajaran Islam yang pokok-pokok melalui formula praktik yang dapat diterapkan, dipelajari, dan diajarkan. Inilah sumber penting dalam tradisi leadership pesantren.

Contohnya membaca al-Qur’an, shalat, puasa, zakat, haji, dan seterusnya. Rasulullah SAW memberi contoh, lalu dipraktikkan, dipelajari dan diajarkan. Sampai hari Kiamat 0pun tidak akan habis praktik shalat dikupas oleh para ahli. Meski sedemikian kompleks isinya, tapi semua orang di dunia ini dapat mengerjakan shalat.

Bahwa di dalamnya terdapat muatan yang lebih dalam dan lebih esensial yang tidak bisa diajarkan tekniknya secara fisik, itu adalah ruang untuk berlomba dalam meningkatkan kualitas. Sama-sama mengerjakan shalat dengan urutan rukun yang sama, tapi kualitas shalatnya akan beda jika tingkat keilmuan dan kehadiran hatinya berbeda.

Motivasi tanpa Henti

Selain melakukan transfer kepemimpinan dengan cara di atas, tradisi leadership pesantren juga memiliki ciri khas lain yaitu motivasi tanpa henti. Pagi, siang, sore, malam, bahkan tengah malan pun santri dan guru mendapatkan motivasi dari kiai.

Tentu tradisi demikian ditemukan akarnya dari praktik yang dilakukan Rasulullah. Dalam berbagai kesempatan, Rasulullah SAW selalu memberi motivasi kepada para sahabatnya dan kepada umatnya. Motivasi tersebut terkadang menggunakan kata kerja perintah, larangan, himbauan, sampai menggunakan kalimat seru sebagai petanda bahwa pesan itu merupakan hal yang baru.

Riset di manajemen membuktikan bahwa para pengikut itu perlu mendapatkan motivasi dari para pemimpinnya. Idealnya, motivasi itu diberikan setiap hari. Kalau tidak bisa ya setiap minggu atau setiap bulan.

Ketika mereka sudah lama tidak mendapatkan motivasi, maka mereka bisa menjadi de-motivator (perusak semangat) atas dirinya lalu orang-orang di sekelilingnya. Atau, mereka seperti ban yang anginnya bocor. Kerjanya biasa-biasa saja karena dalam hatinya tidak ada getaran apa-apa.

Di Pondok Bina Insan Mulia misalnya, guru-guru dimotivasi dan dievaluasi para kiai setiap hari Kamis dan itu rutin dari sejak pertama. Di berbagai tempat, para kiai memotivasi guru-gurunya seminggu sekali meskipun harinya berbeda-beda.

Di Bina Insan Mulia, motivasi langsung oleh saya setiap saat. Saya tidak hanya mengajar kitab yang dipelajari dari bab per bab. Tetapi memberikan motivasi dan arahan setiap saat.

Saya memilih untuk menyampaikan materi berdasarkan topik aktual sesuai dengan problem. Misalnya, hubungan ajaran Islam dengan keterbukaan berpikir, kewirausahaan, perkembangan teknologi, inovasi pendidkan, dan lain-lain.

Untuk variasi dan pendekatan yang lebih kaya, Pesantren juga menghadirkan para trainer dan motivator nasional dari luar. Bahkan setiap tamu yang datang, yang menurut saya punya peranan bagus di masyarakat, saya minta untuk memotivasi santri.

Jadi, motivasi punya kedudukan yang sangat penting dalam tradisi leadership pesantren. Sampai-sampai tidak sedikit santri yang mungkin sudah lupa dengan beberapa materi pelajaran dalam kitab yang dipelajarinya di kelas, namun masih tetap mengingat motivasi yang disampaikan kiainya maupun gurunya.

Tidak jarang alumni pesantren itu meski sudah sekolah kemana-mana, namun begitu diminta untuk menyampaikan nasihat, yang disampaikan adalah nasihat kiainya dulu.

Nasihat Mbah Hasyim Asy’ari selalu disampaikan oleh santri-santri beliau. Nasihat Kiai Machrus Lirboya terus beredar di hati dan pikiran para santrinya. Nasihat Kiai Faqih Langitan dihafal dan disebarkan oleh santri-santrinya.

Memfasilitasi Proses

Di sejumlah pesantren di Indonesia ini ada orang yang ahli konstruksi, namun tidak pernah mengeyam pendidikan formal di sipil atau arsitek. Ada yang ahli herbal, namun tidak pernah sekolah formal di bidang itu.

Ada yang ahli pertanian dan peternakan, namun tidak pernah sekolah kampus pertanian. Ada yang ahli ilmu mengenai benda-benda langit (falak), namun tidak pernah kuliah di astronomi. Ada banyak lulusan pesantren yang menjadi pemimpin formal, namun tidak pernah sekolah di lembaga seperti Lemhanas atau yang lain.

Apa rahasia semua itu? Selain karena ada proses pembelajaran berbasis transfer cahaya spiritual, ada proses yang disebut fasilitasi. Seorang kiai memberi kesempatan kepada para guru atau santri untuk memainkan peranan tertentu dalam tugas-tugas tertentu.

Misalnya santri atau guru tersebut ditugaskan untuk mengajar di suatu tempat, berceramah di suatu tempat, menjadi kepala sekolah, mengurus bangunan, mengurus kurikulum, mengurus dapur, dan seterusnya. Fasilitasi. menghantarkan santri mendapatkan peningkatan penguasaan atau pemahaman yang lebih luas dan lebih dalam.

Tentu, seorang kiai sudah mengantongi alasan dan pertimbangan tersendiri. Dasarnya tidak hanya pada fakta yang terukur dan kelihatan (fisik), tetapi juga dengan petunjuk istikhoroh (metafisika). Tradisi inilah yang saya praktikkan di Bina Insan Mulia.

Baik dalam memilih guru-guru dan santri untuk memainkan peranan tertentu, dasar metafisika dan fisika selalu diterapkan. Terkadang hasilnya bikin banyak orang kaget, tapi setelah dipraktikkan, terbukti tugas-tugas berjalan dengan baik.

Kerap saya memilih orang yang secara fisika tidak masuk kualifikasi. Bagaimana mungkin anak yang baru lulus Aliyah atau SMK diberi tugas untuk memimpin para pembimbing atau guru-guru? Tapi setelah dijalankan, tugas-tugas berjalan dengan baik.

Tradisi demikian ini jika dikaji dengan menelaah konsep leadership profesional ternyata memiliki kelebihan yang bagus. Riset terhadap sejumlah organisasi yang bisa tumbuh besar (from good to great) mengungkap bahwa rahasia kesuksesannya adalah karena mampu membesarkan orang-orang dalam.

Pertanyaannya, bagaimana cara organisasi tersebut membesarkan orang-orangnya? Pasti dengan memfasilitasi prosesnya. Caranya dengan penugasan, pengarahan, dan evaluasi. Hampir semua pesantren yang besar di Indonesia ini pasti dipenuhi oleh orang-orang yang dididik oleh kiai pesantren tersebut.

Seni Leadership Pesantren

Lazimnya di Indonesia ini, peranan seorang kiai dalam pesantren adalah pengasuh. Pengasuh berarti menjadi orangtua, wali, dan pihak yang diberi amanah untuk membesarkan anak secara jasmani dan rohani.

Dasar dari pengasuhan adalah kasih sayang atau rahmat. Namun karena pesantren merupakan lembaga pendidikan, maka bentuk kasih sayang yang diberikan seorang kiai kepada santrinya tidak selalu berupa perlakuan yang enak seperti di rumah.

Justru di sinilah yang membedakan. Kasih sayang seorang kiai tetap dalam koridor leadership dan pendidikan. Tujuannya adalah agar para santri nanti menjadi orang yang bermanfaat dan berakhlak baik ketika menjadi pemimpin di masyarakat.

Tanpa pedoman pada nilai-nilai tersebut, maka kasih sayang yang diberikan orang dewasa kepada anak-anak adalah kasih sayang yang menjerumuskan, bahkan merusak. Misalnya, memberikan kemanjaan yang berlebihan kepada anak-anak. Pasti membahayakan pada anak itu, membahayakan orangtuanya, dan juga kepada lingkungannya.

Ketika Rasulullah SAW menyuruh orangtua supaya memberikan pukulan yang mendidik saat meninggalkan shalat di usia 7 tahun, bukan berarti itu kekejaman. Justru itu bentuk kasih sayang.

Kenapa? Ketika seorang anak tidak pernah mendapatkan warning keras, maka hati dan pikirannya dalam memahami kewajiban shalat akan berbeda. Memang, implementasinya tidak selalu berbentuk pukulan. Sebab intinya bukan di pukulan melainkan pada peringatan yang membekas.

Sebagai pengasuh, saya menerapkan tiga seni memimpin yang diajarkan oleh tradisi leadership para kiai.

Pertama, pengasuh sebagai pendidik. Peranan pendidik adalah mengeluarkan kehebatan para santri. Mulai dari kehebatan moralnya, mentalnya, intelektualnya, bakatnya, keterampilannya, spiritualnya sampai ke kehebatan fisiknya.

Semua santri pasti punya berbagai macam kehebatan, tapi masih berupa potensi yang terpendam. Tugas pendidiklah untuk mengeluarkannya agar menjadi prestasi atau bisa menjadi orang yang bermanfaat.

Selain mengeluarkan kehebatan, peranan pendidik adalah menanamkan nilai-nilai atau ajaran agar terbentuk akhlak mulia. Menanamkan nilai-nilai ini bermacam-macam pendekatannya. Ada yang melalui pengajaran dengan kitab, pengajaran dengan contoh, dan ada yang melalui riyadhoh ruhaniyah dengan menggunakan amalan-amalan tertentu.

Kedua, pengasuh sebagai penguasa. Peranan seorang penguasa adalah memberikan batasan, aturan, paksaan/pembiasaan, larangan, atau perintah. Hampir di setiap pesantren punya aturan yang sifatnya sangat lokal, meski tetap ada yang sifatnya jeneral (berlaku di semua pesantren).

Di Bina Insan Mulia 1 dan 2 terdapat banyak larangan dan perintah yang sifatnya sangat lokal dan itu saya terapkan karena alasan-alasan yang sangat spesifik. Dan pasti untuk kemaslatahan santri, guru, dan pesantren.

Misalnya saja, guru dan pembimbing dilarang untuk memberikan ide-ide program. Tapi mereka saya gerakkan untuk memunculkan ide-ide kreatif dalam pelaksanaan program. Protes atau debat jelas tidak punya tempat. Bahkan ada tradisi penghormatan yang mungkin bagi orang luar itu berlebihan, tapi saya terapkan di Pesantren Bina Insan Mulia untuk menumbuhkan kepercayaan (trust) dan penerimaan yang optimal.

Ketiga, pengasuh sebagai pelayan (khodim). Tradisi melayani ini sudah dihidupkan para kiai sejak pesantren hadir di Nusantara 400 tahun lalu. Para kiai melayani kebutuhan santri terhadap ilmu, terhadap papan (pondok), terhadap pangan, bahkan terhadap sandang santri. Sampai sekarang masih ada pesantren yang memberikan pelayanan demikian meski jumlahnya terbatas.

Seiring dengan kebutuhan dan perubahan masyarakat, para santri kemudian membayar untuk kebutuhan operasional pendidikan di pesantren. Meski demikian, peranan kiai sebagai pelayan bagi kebutuhan santri, kepentingan pesantren, dan masyarakat, bahkan pemerintah tetap tak bisa dilepaskan.

Seluruh kegiatan santri dan guru yang sifatnya non-reguler di Pesantren Bina Insan Mulia menjadi layanan kiai. Seluruh kebutuhan harian guru dan pembimbing juga menjadi bagian dari layanan Kiai. Hubungan santri dan kiai tidak sebatas antara tenaga pendidik dan peserta didik, tapi hubungan kasih sayang seumur hidup.

Dalam teori leadership akademik sering dijelaskan bahwa ada 3 gaya kepemimpinan yang menjadi induk berbagai gaya kepemimpinan yang terus berkembang. Ada situational leadership, participative leadership, collaborative leadership, servant leadership, dan lain-lain. Induknya adalah kepemimpinan demokratis, otokratis (otoriter), dan bebas (laissez faire).

Secara konsep, ketiga gaya tersebut tidak bertentangan dengan tradisi pesantren. Yang tidak bisa diterima di pesantren adalah penghakimannya. Seolah-olah yang paling bagus adalah demokratis. Atau seolah-olah yang paling buruk adalah otoriter.

Saya pikir semua orang yang telah memainkan peranan pemimpin akan paham bahwa penghakiman itu salah. Demokratis tidak selalu baik. Bahkan bisa menghancurkan apabila diterapakan dengan cara keliru atau pada keadaan yang keliru.

Otoriter pun belum tentu jelek semua. Bahkan sangat bagus apabila diterapkan di keadaan tertentu, orang tertentu, atau kebutuhan tertentu. Merujuk pada konsep Ushul Figh Pesantren, penghakiman itu haruslah disesuaikan dengan konteks (al-hukmu yaduuru bainal illah wujudan wa adaman).

Dalam al-Qur’an, Allah mengajari kita berbagai gaya dan cara berkomunikasi. Ini perlu diambil pelajaran oleh manusia yang diberi amanah untuk memimpin. Terkadang Allah memberikan pilihan yang demokratis mau A atau B. Jika manusia bersyukur akan diberi nikmat, tapi jika kufur akan disiksa. Ini tawaran untuk menguji kecerdasan.

Terkadang Allah memberikan motivasi untuk bersabar atau berbuat baik. Jika manusia bersabar untuk mencari ridho Allah, maka balasannya akan diberi pahala yang tak sanggup dihitung manusia (bighoiri hisab).

Terkadang Allah memberikan pertimbangan untuk melatih kematangan. Khamar dan judi itu ada manfaatnya bagi manusia, tapi dosanya lebih besar dari pada manfaatnya.

Terkadang Allah sangat super otoriter. Misalnya perintah shalat atau zakat yang menggunakan kata kerja perintah yang bersifat mutlak.

Terkadang Allah memberikan larangan yang mengerikan hingga mendapat ancaman dengan neraka selama-lamanya (kholidina fiiha).

Meski menggunakan berbagai cara, tapi icon Allah adalah ar-Rahman dan ar-Rahim.

Without the BoX Thinking adalah rubrik khusus di tribunnews.com di kanal Tribunner. berisi artikel tentang respon pendidikan Islam, khususnya pesantren terhadap perubahan zaman dan paparan best practices sebagai bahan sharing dan learning di Pesantren Bina Insan Mulia. Seluruh artikel ditulis oleh KH. Imam Jazuli, Lc, MA dan akan segera diterbitkan dalam bentuk buku. Selamat membaca.

*Penulis adalah Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia 1 dan Bina Insan Mulia 2 Cirebon. Pernah dipercaya sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. Penulis merupakan alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; juga alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; dan alumnus Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies.*_

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas