Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pasca Tewasnya Dokter Sunardi, Apa Lagi PR Negara?
Benar tidaknya dr Sunardi adalah bagian dari jaringan terorisme, kita tidak punya mekanisme untuk mengujinya, mengingat dr Sunardi sudah tewas.
Editor: Dewi Agustina
KOMNAS HAM memanggil Densus 88, nampaknya untuk menguji apakah penembakan terhadap Dokter Sunardi tergolong sebagai lawful killing atau unlawful killing.
Jika Komnas HAM menyimpulkannya sebagai unlawful killing, maka boleh jadi akan ada proses hukum seperti pada kasus km 50.
Tapi benar tidaknya dr Sunardi adalah bagian dari jaringan terorisme, sayangnya kita tidak punya mekanisme untuk mengujinya, mengingat dr Sunardi sudah tewas.
Andai kita mengenal posthumous trial, persidangan bagi terdakwa yang sudah meninggal, maka diharapkan akan ada kepastian status para terduga teroris di mata hukum.
Mungkin posthumous trial perlu diadakan sebagai bentuk penguatan terhadap operasi pemberantasan terorisme.
Ketika operasi Densus 88 menjatuhkan korban jiwa, kerap muncul kontroversi.
Untuk mengatasinya, penting bagi Polri untuk melengkapi para personel Densus 88 dengan body camera.
Teknologi ini akan bermanfaat untuk kepentingan pemeriksaan jika nantinya muncul tudingan bahwa Densus 88 telah melakukan aksi brutal terhadap terduga teroris.
Body camera, dalam berbagai studi, juga ampuh mencegah aparat menggunakan kekerasan secara berlebihan.
Tapi masalah ini tidak hanya sebatas menyangkut hidup matinya dr Sunardi dan benar tidaknya statusnya sebagai anggota jaringan terorisme.
Setiap kali Densus 88 melakukan penangkapan, apalagi sampai mengakibatkan terduga teroris meninggal dunia, akan sangat konstruktif jika Polri berperan aktif ikut memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak para terduga teroris tersebut.
Hal ini merupakan kewajiban sekaligus tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya (termasuk Polri) yang diatur dalam UU 35/2014.
Kategori yang relevan bagi anak-anak tersebut adalah, pertama, mereka sebagai anak-anak korban terorisme.
Baca juga: Terduga Teroris Ditembak, Aliansi Mahasiswa dan Aktivis Nasional Indonesia: Masyarakat Jangan Keliru
Dan, kedua, anak-anak korban stigmatisasi akibat kondisi orang tua mereka.
Dengan perlindungan khusus tersebut, semoga tidak ada anak-anak terduga teroris yang misalnya dikucilkan atau bahkan diusir dari rumah mereka.
Juga, perlindungan khusus diharapkan bisa mencegah terjadinya regenerasi teror.
Kita mendukung negara bekerja sekomprehensif dan setuntas mungkin menanggulangi masalah terorisme di Tanah Air.
Penulis: Reza Indragiri Amriel
Psikolog Forensik