Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Islam di Tiongkok, Agama dan Peran Negara
Usai ngobrol dengan Zaid, sayapun akhirnya mencari masjid baru yang sedang dibangun untuk menggantikan masjid yang lama
Editor: Eko Sutriyanto
Oleh : Ahmad Syaifuddin Zuhri *)
“MASJID ini akan pindah ke lokasi baru yang letaknya sekitar satu setengah kilometer dari sini” ujar Zaid Chang dengan semangat dan ramah, sambil memperlihatkan lokasinya di aplikasi peta berbahasa mandarin di gawai saya.
Peristiwa itu masih terkenang selalu bagi saya. Di hari Jumat sore pada musim dingin, akhir tahun 2019 lalu ketika mengunjungi Masjid Jiang An.
Zaid adalah pemuda lokal penunggu Masjid Jiang An di kompleks Distrik Hankou, Wuhan. Sebelum masjid Jiang An lama dipindah, masjid baru sudah dibangun dipersiapkan. Masjid lama yang terletak di pinggir sungai besar Yang Tze yang membelah kota Wuhan itu memang dianggap sudah tidak representatif lagi.
Sebelumnya, oleh otoritas setempat, ada banyak bangunan lama di sekitar masjid tersebut seperti pemukiman padat penduduk, pertokoan dan termasuk satu sekolah SD, sudah dirobohkan semuanya, rata dengan tanah. Sementara yang tersisa hanya masjid itu saja.
Masjid lama tersebut akan dirobohkan setelah masjid yang di lokasi baru siap untuk digunakan.
Baca juga: Warner Bros Buka Suara Terkait Pemotongan Dialog Gay Film Fantastic Beast 3 untuk Penonton Tiongkok
Usai ngobrol dengan Zaid, sayapun akhirnya mencari masjid baru yang sedang dibangun untuk menggantikan masjid yang lama.
Dengan bersepeda, akhirnya saya temukan masjid baru tersebut.
Secara fisik, dibanding masjid yang lama, bangunan masjid yang baru jauh lebih bagus, luas, tinggi, modern dan terletak di pertigaan jalan yang sangat strategis.
Masjid tersebut adalah satu dari lima masjid di kota Wuhan yang berpenduduk sekitar 12 juta orang.
Ini kali kedua saya menyaksikan langsung bagaimana proses pembangunan masjid baru di China.
Sebelumnya, saya pernah menyaksikan langsung peresmian masjid baru di kota Nanchang, ibukota provinsi Jiangxi, sewaktu hari raya Idul Adha 2012 lalu.
Ceritanya kurang lebih sama seperti di Wuhan tersebut. Masjid lama terletak di kompleks padat penduduk, kecil dan dipindah ke daerah kota yang baru yang lebih besar.
Pada awal 2020 lalu ketika saya mengunjungi kota Yiwu, di provinsi Zhejiang, saya juga mendapati cerita yang serupa dari warga lokal ketika saya sholat jumat di Masjid Besar Yiwu, masjid baru dan satu-satunya di kota tersebut yang mampu menampung ribuan jamaah.
Di akhir tahun yang sama, saya dan istri juga sempat menerima kiriman foto-foto masjid baru kota Chongqing, kota terbesar di bagian barat China, oleh Ahong Musa, Imam masjid tersebut.
Melalui aplikasi Wechat, Ia berkabar kalau di Chongqing masjid yang baru sudah mulai digunakan di tengah kondisi pandemi yang mereda.
Foto-foto masjidnya memperlihatkan masjidnya yang besar dan indah.
Masjid yang lama di tengah pusat kota, pindah ke masjid baru tersebut.
Setidaknya, Di setiap pendirian masjid, negara memberi bantuan seperti lahan dan perijinan. Penjagaan keamanan di masjid agar jamaah merasa nyaman.
Ramadan dan Lebaran
Kami tidak pernah khawatir dalam menjalankan agama di negeri yang menganut ideologi komunis ini.
Agama adalah urusan privat dan selama kita juga menghormati aturan yang berlaku di daerah setempat. Kita akan merasa aman dan nyaman.
Dalam kondisi normal sebelum pandemi, Beberapa kali ramadan dan lebaran kami jalani di negeri tersebut.
Menikmati suasana ramadan dan lebaran di tengah aktifitas studi di kampus adalah sesuatu hal yang penuh tantangan. Bahkan justru malah lebih menikmati sebagai seorang muslim.
Tiap ramadan, dengan berpuasa rata-rata sekitar 17 jam lamanya, aktifitas buka bersama di masjid-masjid di China digelar sebelum jamaah maghrib dan dilanjutkan jamaah isya dan tarawih bersama.
![Masjid di Tiongkok](https://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/masjid-di-tiongkok1.jpg)
Tarawih dilakukan dengan 20 rakaat dan witir tiga rakaat, ditutup dengan dzikir dan doa bersama.
Ketika lebaran, sholat Id, jalan di sekitar kompleks masjid biasanya ditutup karena membludaknya jamaah yang hadir.
Aparat keamanan setempat dibantu oleh relawan membantu untuk kelancaran aktifitas sholat Id.
Berbeda dengan lebaran di Indonesia, lebaran di China, usai sholat Idul Fitri dan bersalam-salaman, langsung kembali pulang dan tidak ada aktifitas saling berkunjung.
Tapi jika Idul Adha, mereka merayakan dengan lebih meriah. Makan-makan di kerabat, teman dan sanak saudara, bahkan mudik di kampung halaman mereka.
Muslim China dengan total sekitar 40 juta penganut, mayoritas beretnis Hui dan Uighur.
Yang berasal dari Provinsi Otonomi Khusus Hui Ningxia, Gansu, Qinghai dan Otonomi Khusus Xinjiang, empat wilayah yang sebagian besar penduduknya beragama islam. Semua daerah tersebut terletak di barat laut China. Mereka banyak menyebar di kota-kota atau daerah China lainnya untuk merantau.
Peran Negara
Di empat daerah tersebut, jika Idul Adha, dijadikan libur lokal sekitar tiga hari.
Perlakuan dan peraturan istimewa khusus untuk mayoritas daerah yang beragama islam.
Walaupun di China sendiri, klasifikasi dan representasi populasi tidak berdasar agama, akan tetapi berdasar etnis, salah satunya tercermin dari salah satu urutan kolom identitas di KTP mereka selain nama, alamat dan kelahiran.
Dengan penduduk lebih dari 1.4 milyar orang dan 91 persen adalah suku Han.
Baca juga: Cerita Warga Palestina Lindungi Al-Aqsa, Minta Bantuan Pakai Speaker Masjid dan Khawatir Kena Granat
Pemerintah China mengeluarkan kebijakan Affirmative Action atau Youhui Zhengce dengan tiga prinsip yakni kesetaraan bagi suku minoritas, daerah otonomi, dan Kesetaraan bagi semua bahasa dan budaya.
Salah satu contoh kebijakan ini adalah one child policy -yang berakhir pada 2015 lalu-, yang tidak berlaku bagi 55 suku minoritas. Termasuk etnis Ughur dan Hui yang masuk lima besar etnis di China.
Kebijakan pemerintah setempat juga berlaku dalam hal kebebasan dalam menjalani agama dan saling menghormati antar pemeluk dan non pemeluk agama. Konstitusi Tiongkok di Pasal 36, yang berbunyi 'Warga negara Tiongkok mempunyai hak kebebasan beragama. Negara, kelompok masyarakat dan individu, tidak boleh memaksa warga negara untuk menganut agama, atau tidak menganut agama.
Tidak boleh mendiskriminasi warga yang beragama atau tak beragama. Negara melindungi aktivitas keagamaan yang normal.
Siapa pun tidak boleh melakukan kegiatan yang merusak ketertiban sosial, merugikan kesehatan warga negara, merintangi sistem pendidikan negara dengan menggunakan agama. Kelompok keagamaan, dan urusan keagamaan tidak boleh dikontrol kekuatan dari luar negeri'.
Setiap negara mempunyai kebijakan dan cara dalam mengatur warganya. Sebagai pelajar yang sering bertukar pandangan, diskusi, dan interaksi secara kritis terkait isu atau wacana tertentu, dengan berbagai macam kalangan di China.
Baik di kampus maupun di luar kampus. Memberi banyak pandangan dan wawasan baru yang berbeda dari literatur atau media, khususnya media-media Barat selama ini yang sering bias terkait China.
Setidaknya, realita dan pengalaman empirik bertahun-tahun tinggal dan melihat China secara langsung, sedikit banyak memberi pelajaran nyata, salah satunya bagaimana keberagamaan itu dipraktekkan.
*) Mahasiswa PhD Hubungan Internasional Central China Normal University (CCNU) Wuhan, Direktur Sino-Nusantara (SINTARA) Institute dan Rois Syuriyah PCINU Tiongkok
![Baca WhatsApp Tribunnews](https://asset-1.tstatic.net/img/wa_channel.png)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.