Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Apa Kabarnya Filatelis Muda Indonesia?
Perhatian serta minat generasi muda Indonesia pada filateli mulai berkurang seiring dengan dikuranginya penggunaan prangko.
Editor: Dewi Agustina
Oleh Gilang Adittama *)
Regenerasi merupakan suatu kemestian dari setiap aspek kehidupan. Apapun yang tidak lagi melakukan regenerasi bisa dianggap tengah menanti kepunahan.
Filateli sebagai hobi mengumpulkan prangko, salah satunya, telah hidup dan berkembang selama lebih dari seratus tahun sejak abad ke-18.
Sayangnya, hobi ini seperti terkebiri oleh digitalisasi di berbagai bidang.
Perhatian serta minat generasi muda Indonesia pada filateli mulai berkurang seiring dengan dikuranginya penggunaan prangko akibat adanya kebijakan-kebijakan baru Pos Indonesia terkait sistem pembayaran pengiriman surat dan paket.
Bayangkan kirim sebuah surat tertentu sudah tidak boleh pakai prangko lagi.
Di tahun 2005, satu nama besar di kalangan filatelis remaja Indonesia, Guntur Prabowo menghilang dari kancah perlombaan karena usianya telah mencapai batas maksimum di kelas remaja (21 tahun).
Mirisnya lagi, beliau tidak melanjutkan koleksinya ke tingkat kompetisi di kelas dewasa. Satu tunas baru muncul di pameran nasional Banten 2005.
Gilang Adittama (13 tahun) memulai sepak terjangnya di pameran filateli dengan menyabet medali silver di kelas One Frame Exhibit (OFE).
Sayangnya, meskipun masih aktif di kelas tematik dengan koleksi bertema pramuka dan beruang, saat ini Gilang sudah bukan remaja yang bisa diharapkan mempengaruhi teman-teman seusianya.
Beberapa nama lain seperti Beatrice Juanita dan Mauritania Wibawanto sempat digadang-gadang sebagai pelanjut kejayaan filatelis Indonesia di kancah internasional.
Namun lagi-lagi mimpi ini belum bisa terwujud.
Harapan serupa sempat bersemi kembali dengan munculnya Eka Arief Setiawan di pameran se-dunia Indonesia 2012 dengan koleksi bertema penerbangan.
Para filatelis senior Indonesia mungkin semakin berbunga-bunga dengan diraihnya medali di FourNation Malaysia 2014 dan pameran sedunia Indonesia 2017 oleh dua wajah baru, Christopher Alexander Tampenawas dan Mayong Kalua.
Namun kenyataan sepertinya tak lagi berpihak pada harapan.
Eka dan Christopher menghilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak apapun, sementara Mayong Kalua sepertinya membutuhkan istirahat panjang untuk mengobati duka akibat kehilangan mentor sekaligus ibu kandungnya akibat Covid-19.
Di London 2022, sebuah rekor fenomenal terpecahkan dengan diraihnya medali emas (Gold) oleh remaja Indonesia atas nama Dinda Alisha Rahima.
Namun sayangnya rekor tersebut hanya bertahan beberapa hari.
Karena penganugerahan medali Gold di kelas remaja jelas melanggar aturan resmi federasi filateli internasional (FIP), maka medalinya diturunkan menjadi Large Vermeil.
Di ajang yang sama, muncul pula nama-nama baru yang secara mengejutkan meraih medali sangat tinggi seperti Erina Firdausi Zahra (Large Vermeil di kelas remaja) dan Shafa Sabila Fadli (Large Vermeil di kelas dewasa).
Baca juga: Bukan Hanya Prangko, Filatelis Banyak Memburu Barang-barang Langka
Kabar buruk lain datang dari negara tetangga, Australia.
Salah satu juri FIP, Yung Ling Benson menuturkan bahwa anak-anak di Australia sudah tidak lagi menaruh perhatian pada prangko.
Beliau juga menyatakan bahwa beberapa filatelis senior Swedia sudah menyatakan habisnya generasi muda mereka semenjak Mathilda Larsson berserta koleksi Harry Potter miliknya tidak pernah lagi terlihat di kancah internasional.
Angin segarnya kali ini datang dari obrolan saya bersama filatelis sekaligus pedagang senior Indonesia, Avie Wijaya.
Menurut beliau, Indonesia masih memiliki harapan untuk mengkader filatelis muda lewat komunitas post-crosser (para penggiat bertukar kirim kartu pos) yang anggotanya saat ini mencapai belasan ribu.
Beliau juga menuturkan bahwa di Cina saat ini ada trend di kalangan orang tua untuk mengajak anak-anaknya ke kantor pos dan bursa lelang untuk berburu prangko.
Mereka menekankan bahwa benda filateli adalah benda bernilai layaknya kertas saham.
Dari kejadian-kejadian selama dua dekade terakhir, sepertinya seluruh pemangku kebijakan dan penggiat filateli Indonesia harus belajar bahwa kaderisasi filatelis muda tidak lagi bisa dilakukan dengan cara-cara instan.
Penumbuhan minat lewat lomba mewarnai, berkirim surat, serta mengikut sertakan anak-anak ke perlombaan tingkat dunia sepertinya sudah terbukti hanya bertahan sementara.
Upaya peningkatan antusiasme dengan jargon investasi dan pembentukan karakter juga tidak lagi memiliki daya dobrak.
Satu-satunya harapan baru adalah dengan menggaungkan aspek-aspek akademis dari filateli di kalangan orang tua.
Selain itu, sebagaimana dikatakan almarhum Ismail Isdito, ‘perlu pembinaan yang terus menerus dan berkesinambungan.’
Bagi yang ingin berdiskusi filateli ada whatsapp group bagi Filatelis, email ke: filateli@jepang.com Subject: Filatelis, dengan nama lengkap alamat tanggal lahir dan nomor whatsapp, gratis.
*) Penulis adalah peraih medali Vermeil Tematik di Bangkok F.I.P 2013 dan Large Vermeil di Singapore fournation 2016. Sisanya ada beberapa medali pameran filateli dari tahun 2005 - 2012. Magister pendidikan bahasa Inggris, Universitas Lampung