Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ada Persoalan Sistemik Institusional di Balik Perlakuan 'Istimewa' Kasus Brotoseno
Bagaimana polisi bisa diandalkan untuk pemberantasan korupsi kalau ternyata malah "bertoleransi" terhadap perwiranya yang melakukan korupsi.
Editor: Dewi Agustina
Oleh: Reza Indragiri Amriel
Ahli Psikologi Forensik
INSTITUSI kepolisian harus punya standar etika, standar moralitas, dan standar ketaatan hukum pada level tertinggi.
Bagaimana polisi bisa diandalkan untuk pemberantasan korupsi kalau ternyata malah "bertoleransi" terhadap perwiranya yang melakukan korupsi.
Relevan. Tapi romantisme semua pandangan tersebut.
Sekarang kita pragmatis saja.
Pertama, seberapa jauh kemungkinan perwira polisi yang pernah dipidana dalam kasus korupsi akan mengulangi perbuatan jahatnya?
Jawabannya semestinya diperoleh lewat risk assessment.
Jadi, perlu dicek seserius apa Kemenkumham melakukan risk assesment terhadap para napi korupsi.
Kalau hasil risk assessment ternyata menyimpulkan bahwa risiko residivismenya tinggi, maka sungguh pertaruhan yang terlalu mahal bagi Polri untuk mempertahankan personelnya tersebut.
Terlebih ketika yang bersangkutan ditempatkan di posisi-posisi strategis yang memungkinkan ia menyalahgunakan lagi kewenangannya.
Yang jelas, berdasarkan riset diketahui bahwa tingkat pengulangan kejahatan kerah putih adalah lebih tinggi daripada kejahatan dengan kekerasan.
Jadi, pantaslah kita waswas bahwa personel dimaksud akan melakukan rasuah lagi nantinya.
Kedua, di organisasi kepolisian ada Wall of Silence.
Ini adalah kebiasaan menutup-nutupi penyimpangan sesama polisi.
Lagi-lagi, kalau mau fair, perlu dicek dulu apakah Wall of Silence juga marak di Polri.
Lebih spesifik, apakah mempertahankan AKBP Brotoseno bisa dianggap sebagai bentuk Wall of Silence oleh institusi Polri.
Tapi pastinya, dari ribuan polisi yang disurvei, kebanyakan mengakui bahwa Wall of Silence berlangsung masif.
Semakin parah, lebih dari separuh menganggap subkultur destruktif itu bukan masalah.
Itu artinya, kembali ke poin pertama: andai personel tersebut melakukan lagi aksi kejahatan kerah putihnya, maka poin kedua: kecil kemungkinan reoffending tersebut akan menjadi kasus hukum.
Terjadilah Wall of Silence. Publik tak akan tahu-menahu.
Memang disayangkan. Kalau Polri konsekuen dengan perkataan Kapolrinya, bahwa--dikutip media--Brotoseno akan dipecat jika divonis di atas dua tahun penjara, maka sahlah korupsi menjadi masalah individu yang bersangkutan.
Tapi begitu perkataan itu tidak Polri tepati, maka jangan pula publik disalahkan ketika kemudian berspekulasi bahwa ada persoalan sistemik institusional di balik perlakuan "istimewa" dalam kasus yang satu ini.
*Penulis pernah menjadi dosen PTIK/STIK, pernah mengikuti studi pengembangan kepolisian di Jepang