Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Di Tengah Konflik AS -Tiongkok, Indonesia Jangan Hanya Sekedar Mendayung di Antara 'Dua Karang'
Indonesia memilih berkerjasama yang memberikan solusi jangka panjang, seperti transfer teknologi, infrastruktur dan pendidikan baik AS maupun Tiongkok
Editor: Eko Sutriyanto
AS adalah sekutu Arab Saudi dan Bahrain yang otokrasi. AS pun tidak melakukan tindakan signifikan apapun terhadap kudeta militer yang memberangus demokrasi di Mesir tahun 2013 dan Thailand tahun 2014.
Sejak awal Bank Dunia dan IMF juga tidak serius atau konsisten dalam mempromosikan baik pemerintahan yang baik ataupun demokrasi. Bukan ideologi ataupun sistem pemerintahan yang menjadi dasar dari aliansi atau rivalitas yang terutama adalah kepentingan. AS memiliki kepentingan di Timur Tengah untuk mengendalikan sumber daya energi.
Oleh sebab itu Paman Sam menempatkan pasukannya di Saudi Arabia dan Bahrain. AS memiliki kepentingan untuk mengendalikan Mesir sebagai kakak sulung di antara negara-negara Arab. AS memiliki kepentingan untuk memasok logistik di Afghanistan dan Iraq, maka Thailand menjadi lokasi strategis untuk tujuan tersebut. Kepentingan membutakan mata AS terhadap sistem pemerintahan ataupun ideologi negara-negara mitra/sekutu, sekalipun hal tersebut berarti mencekik demokrasi.
AS dan China: Beberapa Kepentingan yang Berkonflik
Sejak berdirinya RRT tahun 1949, ada paling tidak 3 periode yang menjadi tonggak sejarah yang menggambarkan bagaimana AS memandang RRT. Pertama adalah tahun 1970-an, atau yang dikenal sebagai periode rapprochement.
Periode ini ditandai antara lain dengan Resolusi 2758 tanggal 25 Oktober 1971yang mengembalikan posisi RRT di PBB sebagai representasi dari negara dan rakyat Tiongkok, yang sebelumnya dipegang oleh pemerintah Taipei.
Kurang dari setahun kemudian, pada Februari 1972 Presiden Nixon mengunjungi Beijing. Dan puncak dari periode 1970-an ini adalah pembangunan hubungan diplomatik di awal tahun 1979. Bersahabatnya AS dan RRT ini terjadi di tengah hubungan yang memburuk antara RRT dan Uni Soviet. AS melihat bahwa RRT adalah negara yang dapat dirangkul dalam melawan musuh utama yang lebih membahayakan.
Kedua adalah periode awal 2000-an, yang diawali dengan masuknya RRT ke dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dengan dukungan AS pada akhir tahun 2001.
Di periode kedua ini, RRT menunjukkan gairahnya yang besar terhadap institusi multilateral baik di tingkat global maupun regional.
Di tingkat regional, RRT bergabung dengan ASEAN Treaty of Amity and Cooperation tahun 2003 yang disalah satu klausul pentingnya adalah menghindari penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan masalah dan mengedepankan diplomasi.
AS di bawah Presiden Clinton menunjukkan juga sikap terbuka dan mendukung terhadap bergabungnya RRT ke dalam sistem internasional. Pada masa itu di Washington terdapat pemikiran kuat yang mendukung inkorporasi RRT dalam rejim internasional dengan harapan dan keyakinan bahwa hal tersebut akan membuat RRT lebih terintegrasi dalam pasar global, lebih patuh terhadap norma-norma internasional dan ujung-ujungnya akan memeluk sistem politik yang demokratis.
Periode ketiga adalah pasca krisis ekonomi global 2008 hingga sekarang. Pasca 2008, AS memandang RRT lebih membangkang. Bahasa yang sering digunakan untuk menggambarkan sikap ini adalah “assertive”. RRT nampak lebih percaya diri dengan kemampuannya mengatasi krisis global bahkan memberikan bantuan kepada negara-negara di Asia Tenggara.
Sejak saat itu di Beijing semakin populer semboyan “Barat melorot, Timur melesat” (西降东升).
Baca juga: Bertemu Dubes Tiongkok, Daniel Johan Dorong Tingkatkan Kerjasama Bilateral Indonesia-Tiongkok
Perilaku RRT di kawasan, misalnya di Laut Tiongkok Selatan dan Laut Tiongkok Timur dipandang semakin meresahkan. Kekhawatiran Washington terhadap kebangkitan RRT semakin besar.
Berdasarkan hal di atas, dapat dilihat bahwa AS tidak selalu memandang RRT sebagai saingan atau musuh. Sekalipun sistem politik RRT tidak pernah berubah. Dalam arti tertentu AS berperan besar dalam membesarkan RRT.
Hal ini yang dilihat oleh pakar politik internasional seperti John Mersheimer dan Aaron L. Friedberg sebagai kesalahan strategis Washington.
Washington tidak menganggap Beijing sebagai saingan dan musuh ketika RRT masih lemah.
Selain itu Washington juga memiliki kepentingan untuk menembus pasar Tiongkok yang besar dan menjanjikan. Karena itu dapat dipahami strategi AS yang bersahabat di awal tahun 2000-an.
Namun pasca 2008, hubungan keduanya bergeser dari pertemanan menjadi persaingan. Kedua belah pihak memiliki andil dalam persaingan ini.
Ada beberapa konflik kepentingan yang tidak bisa didamaikan antara AS dan RRT. Pertama ialah nilai-nilai sosial politik. Sekalipun RRT telah memeluk ekonomi pasar, namun kontrol negara/partai sangat kuat.
RRT juga dengan terbuka menolak sistem demokrasi liberal Barat. Beijing percaya bahwa mereka harus mengembangkan sistem politik yang sesuai dengan kondisi masyarakat Tiongkok.
Sedangkan Barat, pada kondisi normal, selalu berusaha mengekspor demokrasi liberal.
Yang dimaksud kondisi normal adalah ketika AS tidak memiliki kepentingan lain yang lebih mendesak. Jika ada kepentingan lain yang mendesak, maka demokratisasi tidak menjadi agenda utama, hal ini terjadi misalnya di Arab Saudi, Bahrain, Mesir dan Thailand.
Kedua ialah dominasi politik. RRT menjadi rival Barat karena pertama-tama RRT memiliki nilai yang berbeda dan juga berkembang menjadi sangat kuat. Ini menjelaskan mengapa rivalitas AS – RRT terjadi terutama pasca 2008.
Kekuatan suatu negara berkaitan dengan ambisi untuk dominasi regional maupun global. Seperti pendapat Michael Beckley (Tufts University), tatanan dunia dibentuk berdasarkan ekslusi kepada negara yang dipandang sebagai rival. Tatanan politik masa Perang Dingin terbentuk karena ketakutan di antara AS dan Uni Soviet.
Dan tatanan politik masa kini terbentuk atas dasar ketakutan di antara AS dan RRT. Ketakutan inilah yang mendasari sikap pengucilan AS terhadap RRT. AS mengkhawatirkan intensi RRT dalam membangun kekuatan militer, teknologi, ekonomi dan politik. AS mengkhawatirkan intensi dari BRI yang berpotensi menggerus dominasinya.
Sebaliknya RRT mengkhawatirkan AS yang melakukan manuver-manuver menyudutkan RRT melalui kebijakan “Pivot to Asia”, “Indo-Pacific” dan kerjasama pertahanan QUAD serta AUKUS. RRT meyakini bahwa AS ingin melanggengkan dominasinya dan tidak pernah rela melihat RRT maju tanpa demokrasi liberal.
Indonesia harus bagaimana?
Terhadap AS dan RRT kita harus semakin peka dengan cara kerja mereka.
Kita harus memilih berkerja sama terhadap tawaran yang memberikan solusi jangka panjang, seperti transfer teknologi, infrastruktur dan pendidikan/pengembangan SDM.
Baik BRI maupun Inisiatif Kemitraan G7 harus kita manfaatkan sebesar-besarnya. Kedua pihak adidaya ini memiliki potensi untuk kerjasama yang menguntungkan kepentingan strategis kita.
Kita harus peka untuk tidak tergiur dengan resep neoliberalisme, ataupun menjadi otokratik.
Pembangunan dapat terwujud pleh political will yang kuat dan berkesinambungan terlepas dari -isme apapun.
Kita juga harus peka terhadap usaha-usaha membuat kita segan, terbeban dalam menuruti kepentingan nasional negara mitra baik di forum regional maupun internasional.
Pelajaran yang dapat dipetik dari persaingan AS dan RRT adalah kita harus terbebas dari persaingan ideologis ataupun perdebatan sistem politik.
Kita berkomitmen untuk mandiri, demokratis dan berkembang melalui kerja sama dengan semua pihak.
Lebih dari itu, Indonesia harus berpikir melampaui bermain cantik “mendayung di antara dua karang”.
Kita tidak boleh puas dengan sekedar menjadi negara yang diperebutkan oleh negara-negara adidaya.
Kita tidak boleh berpuas diri dengan meraup manfaat dari kerjasama dengan negara-negara adidaya yang saling bersaing.
Indonesia dan negara-negara kekuatan menengah lainnya harus menjadi penentu tatanan dunia yang baru. Peran sebagai juru damai – seperti yang dijalankan oleh pemerintah dalam misi perdamaian ke Kyiv dan Moscow – sangat penting dalam mewujudkan tatanan dunia yang inklusif dan dialogis.
Hal ini dapat terwujud jika ada political will ke arah sana ditopang oleh pembangunan nasional yang komprehensif dan berkesinambungan. Negara masa depan itu bukan hanya persoalan menjadi makmur – lebih dari itu, ia juga harus terlibat dalam membangun tatanan dunia baru yang lebih manusiawi.
*) Peneliti Independen, Jakarta, Indonesia