Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Imbas Kunjungan Ketua DPR Amerika Nancy Pelosi, Akankah Terjadi Perang di Selat Taiwan?
Pelosi melakukan serangkaian pertemuan politis dari petinggi parlemen Taiwan hingga “Presiden” Taiwan Tsai Ing-wen
Editor: Eko Sutriyanto
Oleh : Novi Basuki *)
KETUA DPR Amerika Nancy Pelosi ngotot melawat ke Taiwan (2/8/2022) sehingga membuat Tiongkok geram sehingga memicu eskalasi ketegangan hubungan Tiongkok-Amerika dan hubungan lintas Selat Taiwan.
Apalagi, Pelosi melakukan serangkaian pertemuan politis dari petinggi parlemen Taiwan hingga “Presiden” Taiwan Tsai Ing-wen.
Pelosi memang sudah lama dikenal sebagai politikus yang anti-Tiongkok--tepatnya: pemerintah Tiongkok yang komunis.
Dan kini, ia menjadi pejabat tertinggi Amerika pertama yang melakukan lawatan ke Taiwan selama seperempat abad terakhir.
Kunjungan yang bersejarah; namun, kata Thomas L. Friedman dalam esainya di The New York Times (1/8), “kelewat ceroboh” (utterly reckless).
Tak heran bila pemerintah Tiongkok membalasnya.
Baca juga: China Panggil Diplomat Eropa yang Memprotes Latihan Militer Tiongkok di Selat Taiwan
Mungkin karena Dai Sheng, seorang terpelajar yang hidup pada masa Dinasti Han Akhir, mengajarkan mereka, “lai er bu wang fei li ya” (kalau tidak merespons ketika dipancing, itu tidak sopan namanya).
Pada malam Pelosi tiba di Taiwan, Xie Feng, wakil menteri luar negeri Tiongkokyang pernah menjadi dubes Tiongkok untuk Indonesia, langsung memanggil duta besar Amerika di Beijing untuk menyampaikan protes. “Pelosi sengaja main api. Tiongkoktidak akan tinggal diam,” tegas Xie.
Di samping Kemenlu, ada Kemenhan, DPR, MPR, dan Komite Sentral Partai Komunis TiongkokUrusan Taiwan (Guotaiban) yang juga serempak mengecam.
Otoritas-otoritas tersebut menyatakan, Pelosi telah “melakukan pelanggaran serius terhadap prinsip ‘Satu China’ dan aturan yang telah ditetapkan dalam tiga komunike bersama Tiongkok -Amerika” di mana Amerika hanya mengakui Tiongkoksebagai pemerintah yang sah dan relasinya dengan Taiwan cuma sebatas kebudayaan dan perekonomian, bukan pemerintahan.
Dengan menyambangi Taiwan dalam kapasitasnya sebagai ketua DPR, mereka menilai Pelosi “menyerobot dengan kasar kedaulatan dan keutuhan wilayah Tiongkok.
”Itu sama halnya dengan “bermain api yang berbahaya sekali. Dan, barang siapa yang bermain api, pasti akan kebakaran sendiri.
Untuk itu, lanjut pernyataan lembaga-lembaga ini, “Tiongkok pasti akan mengambil semua langkah yang diperlukan, untuk melindungi kedaulatan dan keutuhan wilayah negara [Tiongkok ]. Adapun segala akibat yang ditimbulkan, harus ditangggung oleh Amerika dan kelompok separatis Taiwan.”
Bukan gertak sambal belaka. Tiongkok segera mengumumkan digelarnya latihan militer besar-besaran dengan peluru sungguhan selama lima hari --yang dimulai sejak Kamis (4/8). Jika dilihat dari enam titik tempat latihan dimaksud, tampak jelas itu merupakan simulasi perang mengepung Taiwan dari arah barat, timur, selatan, dan utara. TKP-nya dari Kaohsiung, kota terbesar di Taiwan bagian selatan, hanya 20 km.
Akan perang?
Latihan militer Tiongkok membidik Taiwan yang dipicu oleh polah Amerika ini, mengingatkan kita kepada Krisis Selat Taiwan Ketiga yang terjadi pada 1995-1996.
Kala itu, Amerika memberikan visa kepada Lee Teng-hui, “presiden” Taiwan, untuk berkunjung ke Amerika guna memenuhi undangan dari Cornell University, almamater Lee. Tiongkok murka.
Dikerahkanlah pasukan untuk menggelar latihan perang di perairan dekat Taiwan. Tak mau kalah, Amerika mengirim dua kapal induknya. Ketegangan pun mereda.
Kalau bukan karena Amerika, sebelumnya Tiongkok hampir saja menggempur Taiwan --saat Tiongkok belum setahun merdeka.
Semuanya sudah disiapkan matang oleh Mao Zedong. Sekalipun dirinya menyadari bahwa, seperti pernah diakuinya kepada politisi senior Uni Soviet Anastas Mikoyan, penyerangan terhadap Taiwan yang merupakan wilayah kepulauan, tak semudah menaklukkan wilayah daratan. Terlebih lagi, kata Mao, “Taiwan sebenarnya berada di bawah perlindungan imperialis Amerika.”
Sayang, pada pertengahan tahun 1950, pecah Perang Korea. Amerika memberangkatkan pasukannya untuk mem-back up Korea Selatan. Armada Ketujuh Amerika (Seventh Fleet) juga dilepaskan ke Taiwan untuk membendung Tiongkok bergerak lebih dalam.
Mao terpaksa mengurungkan niatnya “memerdekakan Taiwan”. Beralih menolong Korea Utara memukul mundur serdadu Amerika.
Belajar dari krisis-krisis di atas, diprovokasi bagaimanapun oleh Amerika, naga-naganya Tiongkok tetap akan bisa menahan diri untuk menyelesaikan masalah Taiwan ini dengan jalur militeristik.
Baca juga: China Tangguhkan Sejumlah Kerja Sama dengan Amerika, Imbas Kedatangan Nancy Pelosi ke Taiwan
Sepanjang Taiwan tidak memproklamasikan kemerdekaannya, Tiongkok sepertinya tetap akan memilih jalan damai untuk mereunifikasi Taiwan.
Tentu, tak menutup kemungkinan ke depannya Tiongkok akan menggunakan “wortel” (carrot) dan “tongkat” (stick) secara bersamaan. Dalam artian, tekanan militer ada, tekanan ekonomi pun ada.
Kita tahu, ekonomi Taiwan mempunyai ketergantungan yang cukup besar terhadap daratan Tiongkok.
Ekspor Taiwan ke daratan Tiongkok terus meningkat: dari yang sekitar USD 40 miliar pada 2000, menanjak menjadi USD 156 miliar pada 2020.
Porsinya pun begitu: ekspor ke daratan Tiongkok menempati hampir 44 persen dari keseluruhan ekspor Taiwan ke mancanegara. Kalau daratan Tiongkok menyetop mengimpor barang dari Taiwan, bisa kita bayangkan kalang kabutnya mereka.
Bergantung Amerika
Perang Rusia-Ukraina telah terlalu menyiksa kita semua. Kita berharap Tiongkok dan Taiwan (yang disokong Amerika) tidak sampai pecah konflik terbuka.
Sebab, cepat atau lambat, Indonesia pasti akan terkena imbasnyamengingat secara geopolitik dan geoekonomi, kedua entitas ini begitu dekat dengan Indonesia.
Dari dulu hingga kini, stabil/tidaknya hubungan lintas selat, sangat bergantung kepada Amerika.
Baca juga: Kunjungan Jokowi ke Tiongkok Disebut Lahirkan Banyak Kerjasama Strategis Sektor Ekonomi
Pasalnya, sikap daratan Tiongkok terhadap Taiwan adalah reaksi dari bagaimana Amerika menempatkan Taiwan dalam politik luar negerinya. Atau lebih gamblangnya: apakah Amerika mendukung Taiwan merdeka.
Masalahnya, yang ditunjukkan oleh Amerika saat ini: di satu sisi menyatakan memegang teguh “one Tiongkokpolicy”, di sisi lain terlihat begitu ngebet Taiwan memisahkan diri. Padahal, di belahan dunia lain, Amerika mengecam keras Rusia yang mengakui Luhantsk dan Donetsk yang pilih pisah dari Ukraina.
Kelihatannya, ada semacam dualisme dan inkonsistensi dari apa yang diucapkan dengan apa yang dikerjakan oleh Amerika. Repotnya, yang dihadapi Amerika saat ini adalah Tiongkok yang dengan lantang bilang, “Zhongguo bu re shi, dan ye bu pa shi” (Tiongkok tidak mencari gara-gara, tapi tidak takut pada yang mencari gara-gara).
*) Alumni program pascasarjana HI, Xiamen University