Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Bukan Perang Nuklir Tapi Pemanasan Global

Perubahan iklim telah mendorong peningkatan kebakaran hutan yang signifikan di negara itu selama 30 tahun terakhir.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Bukan Perang Nuklir Tapi Pemanasan Global
Ist
Agung Wibowo, Mahasiswa Master Universitas Multimedia Nusantara 

Oleh: Agung Wibowo
Mahasiswa Master Universitas Multimedia Nusantara

TRIBUNNEWS.COM - Orang-orang sedang dan terus membicirakan topik hangat baru-baru ini.

Resesi, perang Ukraina-Rusia, kelangkaan pangan, dan digitalisasi.

Ada memang yang membahas tentang iklim, ya perubahan iklim, namun sepertinya tidak banyak.

Saya sampaikan beberapa hal.

Semenjak 100 tahun yang lalu suhu bumi naik sangat signifikan.

Di beberapa negara seperti India, kandungan karbondioksida telah mencapai level tertinggi. Bahkan di sana di beberapa kota metropolitannya, kadar karbondioksida, sudah di atas 405 bagian per juta (ppm).

Baca juga: Rusia Akan Pasok Bahan Bakar Nuklir ke Bangladesh

BERITA REKOMENDASI

Anda bayangkan tahun 1960 kadar karbondioksida disana tidak lebih dari 100 ppm.

Sedang kenaikan air laut diperkirakan 1,5 meter di akhir abad ini. Artinya akan banyak pulau dan daratan yang akan tenggelam.

Di Jakarta, jika kita ke kampung teko, Cengkareng, tembok-tembok menjulang tinggi untuk menahan laju kenaikan air agar tidak masuk pemukiman.

Baru seminggu yang lalu di daerah Sawangan Depok terjadi hujan es.

Bukan es yang kecil-kecil, ukurannya bisa dua kali besar kelereng. Masyarakat ada yang panik ada yang takut.


Di Bogor terjadi longsor dan banjir bandang. Juga di beberapa daerah di sumatra Utara terjadi hal yang sama.

Suhu permukaan bumi menurut NASA naik 1.01 persen pertahun.

Maka tidak aneh misalnya Dilan dengan Milea dulu pacaran dengan motor keliling kota Bandung sepulang sekolah.

Saat ini, naik motor di Kota Bandung pada jam 2 siang, rasanya sudah seperti dipanggang.

Pacaran di Bandung di jam-jam itu naik motor tidak seromantis seperti yang di gambarkan Pidi Baiq tetapi serasa hubungan Agatha dan Sophie dalam film the School for Good and Evil filmnya Paul Feig di Netflix.

Dari hal-hal diatas sudah bisa ditebak apa akibatnya. Curah hujan yang non predictable, banjir bandang, kebakaran hutan, polusi udara, sulitnya air bersih, kelangkaan pangan, dan lain-lain.

Sebagaimana sudah kita lihat, di New York, misalnya. Pada tahun 2018, pada saat mustinya sudah musim dingin tetapi salju tak kunjung turun.

Bahkan ditahun yang sama setelah turun salju. Terjadi hujan salju yang ekstrem.

Pagar di sepanjang rumah-rumah indah, sepanjang Manhattan itu, menjadi pagar es bukan pagar besi.

Di Jerman Barat 2021 lalu ada banjir bandang yang setidaknya menewaskan 100 orang. Suhu ekstrem di Skandinavia tahun lalu juga ikut merenggut beberapa lansia.

Mereka meninggal akibat dehidrasi dan kepanasan di dalam apartemen mereka.

Belum lagi krisis air bersih di pusat-pusat urban di China. Air galon disana seperti Henneiken harganya.

Kebakaran hutan di Australia tahun lalu juga sangat ganas merenggut ratusan korban.

Penelitian yang di lakukan oleh badan sains nasional Australia, menemukan bahwa perubahan iklim telah mendorong peningkatan kebakaran hutan yang signifikan di negara itu selama 30 tahun terakhir.

Beberapa media menyebut 2019-2020 adalah musim kebakaran Australia. Bagaimana tidak, 186 juta hektar hutan dan lahan hijau terbakar, menghancurkan lebih dari 9.352 bangunan, sebanyak lebih dari 3.500 luluh lantah, dan menewaskan puluhan orang.

Sosial media bahkan menyebutnya sebagai musim kebakaran terburuk dalam ingatan.

Data Organisasi Metereologi Dunia (WMO) perubahan iklim akan merenggut nyawa 40 orang per hari.

Bencana terus meningkat pertahun, pada 2021 tercatat 3000an bencana alam terjadi di seluruh dunia akibat perubahan iklim data dari sumber yang sama. Itu akan terus meningkat setiap tahunnya.

Hal lain yang memiliki dampak serius adalah dampak ekonomi perubahan iklim.

Bencana akibat iklim yang ekstrem akan membuat ekonomi mengalami stagflasi, resesi, bahkan kegalalan ekonomi. Ada 7 milyar orang di muka bumi ini.

Jika PBB mengatakan dampak perubahan iklim dapat merusak 11% kelangsungan hidup manusia, coba hitung berapa banyak?, jika ini terus di biarkan berapa juta orang lagi yang terdampak.

Anda lihat dampak dari perubahan iklim? Saya bahkan tidak tahu sampai saat ini sisa karbon dan oksigen untuk anak cucu saya di kemudian hari bagaimana?

Apa yang akan terjadi di eropa, asia, afrika, dan indonesia? yang saya ketahui hanya satu. Perubahan iklim itu pasti.

Rawannya perang nuklir, antara Ukraina+NATO (hemat saya) dengan Rusia tentu harus kita takuti. Perang ini harus segera di selesaikan.

Itu sudah kewajiban bersama kita di muka bumi. Kedamaian dunia adalah hak segala bangsa. Tetapi jangan lupa, perang nuklir yang tinggal se-senti lagi mungkin terjadi. Namun saya ingatkan itu bisa di hentikan.

Perang Nuklir dampaknya tidak akan se-interdependen dari dampak yang di timbulkan oleh perubahan iklim.

Perang nuklir justru mempercepat secara ekstrem perubahan iklim itu sendiri.

Jadi mana lebih berbahaya? perang nuklir atau perubahan iklim?

Hemat saya, keduanya berbahaya tetapi perubahan iklim lebih besar possibilitasnya untuk menghancurkan peradapan jika kita tidak mawas diri.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas