Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Transisi Energi Indonesia dan Urgensi Renewable Energy
Pernyataan Guterres menegaskan pentingnya seluruh elemen di dunia melakukan kerja-kerja konkret dalam mengatasi perubahan iklim.
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Oleh: Hafif Assaf
TRIBUNNEWS.COM - Konferensi Tingkat Tinggi Group of Twenty (KTT G20) telah tuntas digelar di The Apurva Kempinski, Nusa Dua, Bali, 15-16 November 2022.
Tercatat sejumlah hasil konkret dicapai dalam KTT tersebut, sebagaimana disampaikan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dalam konferensi pers setelah pertemuan.
Khusus untuk sektor energi, telah diluncurkan Energy Transition Mechanism (ETM), wabilkhusus untuk Indonesia, memperoleh komitmen pendanaan dari Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$ 20 miliar (Rp 312,8 triliun dengan asumsi kurs Rp 15.639,3/US$).
Sebelumnya atau sehari jelang KTT G20, Indonesia secara resmi meluncurkan ETM Country Platform Indonesia dalam acara grand launching yang digelar di Jimbaran, Bali.
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati menuturkan peluncuran tersebut merupakan langkah konkret pemerintah menjalankan transisi energi yang adil dan terjangkau sebagai upaya menuju ekonomi rendah karbon yang menjadi prioritas nasional.
Baca juga: HUT Ke-65: Inisiatif Transisi Energi Berlanjut, Ikhtiar Pertamina untuk Indonesia Bebas Emisi
Sebagai gambaran, inisiatif ETM yang diinisiasi pemerintah bersama Asian Development Bank (ADB) dirilis dalam perhelatan konferensi COP 26 di Glasgow, tahun 2021.
Usai melalui serangkaian kerja bersama para pihak, pemerintah mengidentifikasi sebanyak 15 GW pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) akan pensiun dini.
"Kami semua bekerja tanpa henti untuk membangun ETM Country Platform Indonesia. Kerangka kerja ini akan memobilisasi sumber daya keuangan dan dukungan dari mitra internasional, termasuk multilateral, bilateral, filantropi, dan sektor swasta untuk menjadikan ini transisi energi yang adil dan terjangkau," tutur Sri Mulyani Indrawati (Sumber: kemenkeu.go.id).
Lalu, bagaimana implikasi dari peluncuran ETM Country Platform Indonesia bagi upaya transisi energi di tanah air?
Lantas, seperti apa tantangan dalam optimalisasi energi baru dan terbarukan (renewable energy) demi tercapainya transisi energi yang adil dan terjangkau?
Tingkatkan bauran EBT
"Emisi gas rumah kaca terus meningkat. Suhu global terus meningkat. Dan planet kita dengan cepat mendekati titik kritis yang akan membuat kekacauan iklim tidak dapat diubah. Kita berada di jalan raya menuju 'neraka' iklim dengan menginjak pedal gas."
Itulah kutipan pernyataan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Antonio Guterres dalam perhelatan konferensi COP 27 di Sharm El Sheikh, Mesir, beberapa waktu lalu.
Pernyataan Guterres menegaskan pentingnya seluruh elemen di dunia melakukan kerja-kerja konkret dalam mengatasi perubahan iklim.
Seperti kita ketahui bersama, tidak terhitung korban jiwa hingga materiil akibat bencana alam yang dipicu oleh perubahan iklim. Belum lagi kerugian-kerugian dalam bentuk lain yang diderita berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia.
Para pemimpin dunia tentu tidak tinggal diam merespons fenomena tersebut. Pada tahun 2015, telah lahir program Net Zero Emissions (NZE) pasca Paris Climate Agreement yang bertujuan menekan pencemaran lingkungan yang berpotensi mengakibatkan pemanasan global di mana Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen tahun 2030 dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan dukungan internasional.
Energi tentu menjadi salah satu sektor yang difokuskan di mana berbagai negara lantas merilis peraturan-peraturan terbaru dalam konteks penyediaan energi listrik.
Pemerintah Indonesia memiliki lima prinsip utama dalam program NZE, yaitu pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), pengurangan energi fosil, penggunaan kendaraan listrik di sektor transportasi, peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri, dan yang terakhir pemanfaatan Carbon Capture and Storage (CCS). (Sumber: Kementerian ESDM).
Khusus untuk EBT, pemerintah menetapkan target bauran energi dari EBT mencapai 23 persen pada tahun 2025. Namun demikian, porsinya sampai dengan tahun 2021 baru mencapai 11,5 persen.
Berdasarkan data dan fakta yang ada, maka tak ayal percepatan transisi energi dari bahan bakar fosil ke sumber EBT kian relevan.
Penulis menilai, JETP Indonesia yang lahir dalam pertemuan KTT G20 lalu tentu berpotensi menjadi tambahan 'tenaga' bagi pemerintah mempercepat transisi energi tersebut.
Harapannya adalah komitmen semakin maksimal dalam menggunakan sumber daya EBT yang begitu melimpah di tanah air disertai komitmen politik yang solid dalam percepatan penghentian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dalam jangka menengah ke depan.
Baca juga: Kolaborasi Stakeholder Dinilai Bisa Perbaiki Iklim Investasi Migas saat Transisi Energi
Dari sisi nominal, mobilisasi dana JETP Indonesia yang mencapai US$ 20 miliar tentu bukan 'kaleng-kaleng'. International Partner Group (IPG) yang terdiri dari Prancis, Jerman, Inggris, Amerika Serikat (AS), Uni Eropa bakal memobilisasi dana publik US$ 10 miliar dolar AS dan Kelompok Kerja Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) akan memobilisasi dan memfasilitasi dana swasta 10 miliar dolar AS. (Pemerintah Inggris Raya).
Tidak mudah
Berkaitan dengan berbagai dinamika di atas, penulis hendak fokus kepada dua titik pembahasan, yaitu langkah pemerintah mempensiunkan PLTU dan regulasi EBT.
Pemensiunan PLTU tentu bukanlah hal yang mudah, terutama bagi PT PLN (Persero). PLN telah meluncurkan peta jalan pensiun dini PLTU hingga 3,5 GW. Mengacu kepada keterangan PLN, jumlah itu lebih besar dari pensiun alami sesuai umur ekonomis pembangkit batu bara sebesar 3,2 GW pada tahun 2040.
Selain pensiun dini, PLN juga sudah mengurangi kapasitas PLTU di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dari 27 GW menjadi 13,9 GW. Upaya lain perseroan adalah menurunkan penggunaan batu bara dengan cara mengganti batu bara dengan biomassa (cofiring) di mana skema ini telah diimplementasikan di 33 PLTU dari 48 pembangkit.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, sampai dengan April 2022, Indonesia secara total memiliki 253 PLTU. Pemensiunan PLTU-PLTU yang masih beroperasi jelas memicu tambahan biaya yang kudu ditanggung PLN.
Lalu, sebagai perusahaan pelat merah, pihak mana yang akan menggantikan tambahan biaya itu? Apakah harus melalui penaikan tarif listrik yang digunakan oleh para pelanggan? Tentu akan ada resistensi besar dari publik terkait hal tersebut.
Opsi lain adalah penyertaan modal negara (PMN). Namun, opsi ini juga bukan tanpa tantangan, mengingat tahun politik yang kian dekat membuat anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku pihak yang berkepentingan akan menjaga reputasi mereka dengan enggan mengambil keputusan yang tidak populer semacam itu.
Efek lain yang harus diantisipasi pemerintah berkaitan dengan sektor ketenagakerjaan.
Kementerian ESDM mencatat industri batu bara sebagai pendukung utama PLTU telah menyerap 245 ribu orang tenaga kerja, sementara tenaga kerja di pembangkit listrik 310 ribu orang dengan separuhnya pada PLTU.
Oleh karena itu, mau tidak mau, secara bertahap pemerintah perlu melakukan peningkatan kapasitas kemampuan ratusan ribu orang itu. Paralel dengan pemensiunan PLTU, mereka harus memperoleh tambahan kecakapan dalam kaitannya dengan operasionalisasi pembangkit listrik EBT sehingga nantinya tidak akan berujung kepada kekecewaan lantaran tidak dapat bekerja.
Untuk jangka panjang, regulasi khusus EBT mutlak hadir. Beberapa waktu lalu, pemerintah juga telah meluncurkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan EBT Untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang bertujuan menarik lebih banyak investasi dalam pengembangan EBT.
Namun, itu semua tidak cukup. Diperlukan peraturan setingkat undang-undang yang dapat memayungi beragam aspek dalam pengembangan EBT di tanah air.
Baca juga: Duta Besar Inggris: Presidensi G20 Indonesia Perkuat Kemitraan Perdagangan hingga Transisi Energi
Saat ini, pembahasan dan penyusunan RUU EBT masih terus berlangsung di Senayan. Parlemen masih menanti daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah untuk kemudian melanjutkan pembahasan RUU itu.
Harapan kita semua tentu beleid itu nantinya akan memberikan kepastian hukum hingga menciptakan kerangka regulasi yang komprehensif yang dapat menjaga ekosistem investasi EBT yang kondusif, adil, dan berkelanjutan.
Penulis tentu berharap agar RUU EBT segera dituntaskan. Pemerintah dan politisi di Senayan harus menunjukkan komitmen menuntaskan RUU tersebut, apalagi tahun politik kian dekat.
Jangan sampai muncul kesan kalau RUU EBT sulit diselesaikan karena ada kepentingan pengusaha tertentu yang bisnisnya berpotensi terancam jika RUU itu lahir. Ingat bahwa transisi energi berkaitan erat dengan masa depan anak cucu kita, bukan kepentingan sesaat semata.
*) Hafif Assaf: Government Affairs Profesional dan Pemerhati Kebijakan Publik.