Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Kita Memiliki Pemimpin Negara yang Berani

Karena sesungguhnya kesantunan karya-karya budaya kita itu sungguh diakui oleh bangsa-bangsa lain.

Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Kita Memiliki Pemimpin Negara yang Berani
tangkapan layar
Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Prof. Dr. Komarudin, M.Si. sedang presentasi pidato ilmiah terkait Pendidikan Gerakan Pemuda 

Oleh: Prof.Dr. Komarudin, M.Si

TRIBUNNEWS.COM - “Kalau kita melihat konteks penjajahan masa kini, kita memang tidak lagi dijajah secara politik tetapi faktanya kita masih dijajah secara ekonomi,” kata Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Prof. Dr. Komarudin, M.Si, saat memberikan sambutan sebagai Keynote Speaker diskusi reboan bulanan Forum Diskusi Pedagogik (FDP) PP IKA UNJ, Rabu, 22 Februari 2023.

Dalam diskusi pedagogik secara online bertema “Relevansi Ajaran Gerakan Pemuda Ki Hajar Dewantara Di Tengah Gerakan Pemuda Indonesia Dalam Era Globalisasi”, pengurus FDP IKA UNJ menghadirkan dua narasumber yang dikenal luas di kalangan akademisi dan praktisi pendidikan nasional: Prof. dr. Fasli Jalal, Sp.GK., Ph.D. (Rektor Universitas YARSI/Wakil Menteri Pendidikan RI 2010-2011), dan Prof. Dr. Hafid Abbas (Ketua Senat Universitas Negeri Jakarta/Guru Besar Prodi PLS FIP UNJ).

Dan Raineldis Bero (Lembaga Permberdayaan Perempuan PP PMKRI) sebagai penanggap kedua narasumber. Adapun dosen Program Pascasarjana UHAMKA yang juga alumni IKIP Jakarta Dr. Sarji, S.H., M.Pd., bertindak sebagai moderator.

Baca juga: Hari Pendidikan Nasional dan Arti Semboyan Ki Hajar Dewantara, Tut Wuri Handayani

Komarudin melanjutkan, jika gerakan pemuda dimaknai sebagai sebuah proses untuk melakukan perubahan-perubahan, tentunya setiap gerakan pasti menginginkan sebuah perubahan, ini disebut dengan gerakan sosial atau social movement, ada yang disebut gerakan politik, ada yang disebut gerakan ekonomi, dan ada bentuk-bentuk gerakan lainnya yang semuanya itu untuk menghasilkan sebuah perubahan.

Karenanya bila diterapkan pada konteks kekinian, kata Komarudin, ajaran gerakan pemuda oleh Ki Hajar Dewantara masih relevan.

“Pendidikan generasi muda merupakan prasyarat terpenting untuk pembebasan dari cengkraman penjajahan,” kata Komarudin mengutip pernyataan Ki Hadjar Dewantara yang sudah disampaikan sejak masa penjajahan kolonial Belanda.

Komarudin kemudian menyebutkan empat ciri ajaran gerakan Pemuda Ki Hajar Dewantara: Bersifat transformatif dan kemandirian, berpijak pada akar kebudayaan kebangsaan dan kemanusiaan, berbasis wadah atau lembaga pendidikan (Jawa : peguron/perguruan), memiliki arah dan tujuan yang jelas.

Berita Rekomendasi

“Bersifat transformatif dan kemandirian tentu diharapkan pendidikan gerakan pemuda berdampak pada proses-proses perubahan untuk sampai pada kemandirian. Dalam berbagai bidang pun harapan kita ini mengarah pada kemandirian dan saat ini memang sangat dibutuhkan untuk pengendalian,” kata Komarudin memaparkan pemikirannya.

Ciri kedua, kata Komarudin, berpijak pada akar kebudayaan kebangsaan dan kemanusiaan, sebagai bangsa yang memiliki budaya tinggi maka kita harus mengacu pada budaya kita sendiri tidak berkiblat pada budaya asing.

Karena sesungguhnya kesantunan karya-karya budaya kita itu sungguh diakui oleh bangsa-bangsa lain.

Menurut Komarudin, salah satu pengakuan itu berasal dari sumber sejarah luar negeri, yaitu buku “Atlantis : The Lost Continent Finally Found” karangan Prof. Arysio Santos, seorang geolog dan fisikawan nuklir dari Brazil. Buku hasil penelitian selama 30 tahun membuat peta bawah laut, meneliti geologi, arkeologi dan mitologi itu menyatakan bahwa Benua Atlantis yang senantiasa menjadi pembicaraan hangat di Yunani dan belahan bumi Eropa klasik lainnya sejak abad kelima sebelum masehi, ternyata benua itu dulunya terletak di Indonesia.

Dan di sini dianggap sebagai tempat munculnya peradaban manusia, Atlantis Lamuria (Ibu Peradaban). Namun demikian, kata Komarudin, kebenaran informasi tersebut masih perlu didalami kembali.
“Walaupun bangsa Indonesia memiliki kebudayaan yang unggul tapi seringkali masih silau dengan budaya-budaya asing, misalnya Kpop itu merajai. Sebelumnya yang merajai tentu budaya barat,” papar Komarudin.

Kuatnya Kpop memengaruhi para anak muda, lanjut Komarudin, mungkin merupakan salah satu tanda bahwa pendidikan gerakan pemuda kita masih belum dilakukan berdasarkan ajaran gerakan pemuda Ki Hadjar Dewantara.

“Pada sifat kemanusiaan yang satu tali temali dengan kebudayaan dan kebangsaan, rasa kemanusiaan itu harus dijunjung tinggi dan ini tidak tidak hanya terikat pada agama tertentu, maupun bangsa tertentu. Kemanusiaan adalah relasi universal yang harus selalu kita Junjung tinggi,” kata Komarudin.

Ciri ketiga, lanjut Komarudin, pendidikan gerakan pemuda Ki Hadjar berbasis wadah atau lembaga pendidikan. Pada masa itu bentuknya adalah Taman Siswa.

Baca juga: Ketua Bawaslu: Pilihlah Pemimpin yang Punya Visi ke Depan

“Sekarang saya kira bisa berbagai lembaga, tapi kemasan pendidikan dengan Sistem Among, dengan menjalankan tiga prinsip, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tutwuri Handayani, itu saya kira harus kita kedepankan dengan institusinya yang dianalogikan sebagai taman - taman. Sudah pasti kita tahu persis di situ tumbuh kembang bunga-bunga yang bisa bermekaran dipelihara dengan baik sehingga kemudian menjadi sesuatu yang indah itu harapan kita tentunya,” papar Komarudin.

Ciri keempat, memiliki arah dan tujuan yang jelas yaitu memerdekakan diri dan memerdekakan bangsa, ini tujuan pendidikan gerakan pemuda oleh Ki Hadjar pada masa Zaman Bergerak, zaman di mana Ki Hadjar Dewantara dan para tokoh pergerakan nasional masih berjuang untuk mewujudkan kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Lalu bagaimana dengan sekarang, perlu mendidik manusia merdeka untuk memerdekakan siapa?

Komarudin melanjutkan pernyataannya, secara ekonomi kalau mau jujur, bangsa Indonesia masih dijajah, tentunya karena belum mandiri secara ekonomi.

“Banyak regulasi, banyak sistem sangat bergantung pada tatanan dunia internasional atau negara-negara maju negara-negara adikuasa demikian juga teknologi kita Jujur saja masih dijajah,” kata Komarudin.

Komarudin mengungkapkan, sebenarnya banyak yang menginginkan ada produk-produk teknologi dalam negeri yang bisa menguasai pasar nasional dan menguasai pasar dunia.

“Faktanya di bidang otomotif kita masih selalu kalah dari Jepang walaupun inovasi - inovasi di bidang teknologi ini banyak dihasilkan oleh bangsa kita, anak-anak cerdas kita. Persoalannya tata kelola dunia hingga hari ini masih dalam hegemoni dan dominasi kelompok-kelompok tertentu,” ungkap Komarudin.

Menurut Komarudin, pendidikan gerakan pemuda Ki Hadjar Dewantara untuk melahirkan manusia mardika yang mana lahir dan batin hidupnya tidak terperintah: tidak bergantung kepada siapapun, dan justru memiliki kemandirian. Manusia mardika seperti itu yang akan memiliki keberanian, dan kemampuan untuk membebaskan perekonomian dan kebudayaan bangsanya dari hegemoni dan dominasi kelompok-kelompok pengontrol tatanan dunia sekarang ini.

“Ya, Alhamdulillah, kita memiliki pemimpin negara yang berani sehingga pernah mendongkrak itu. Presiden Soekarno pernah melakukan itu, bahkan Presiden Soeharto pernah melawan WTO walaupun akhirnya kita sampai mengalami Krismon (krisis moneter 1997-1998). Sekarang ketika perdagangan Kebijakan kelapa sawit dan sebagainya Jokowi berani menentang itu karena sesungguhnya bukan kita butuh pada mereka tapi mereka sesungguhnya butuh pada kita. Jadi kalau kita menunjukkan kemandirian diri, dan kedaulatan maka sesungguhnya kita juga akan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain di dunia,” papar Komarudin mengakhiri pidato ilmiahnya.

Diskusi online reboan bulanan Forum Diskusi Pedagogik IKA UNJ selain dihadiri para guru besar UNJ dan dosen UNJ, juga dihadiri para dosen Universitas Eks LPTK Negeri dan swasta, perguruan tinggi ilmu murni, para guru dan para calon guru dari Ibu Kota Jakarta dan berbagai daerah seperti NTB, UIN Dato Karamah Sulawesi Tengah, hingga Provinsi Papua. Para peserta diskusi yang hadir sebagian besar tergabung dalam WAG Forum Diskusi Pedagogik IKA UNJ, yang beranggotakan 253 peserta per 2 Maret 2023.

*Prof. Dr. Komarudin, M.Si., Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas