Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pemilu 2024 Harus Tetap Digelar Tepat Waktu
Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 Pasal 14 menyatakan "KPU berkewajiban melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan pemilu secara tepat waktu."
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Dr Anwar Budiman SH MM MH
TRIBUNNEWS.COM - Sudah semestinya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengajukan banding atas keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang mengabulkan gugatan Partai Prima dan menghukum KPU untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024.
Sebab keputusan yang diketok tanggal 2 Maret 2023 tersebut hanya menguntungkan segelintir kelompok dan merugikan mayoritas rakyat Indonesia yang sudah lama menunggu-nunggu pesta demokrasi lima tahunan itu.
Bukan ranah Pengadilan Negeri untuk memutuskan penundaan pemilu.
Itu adalah ranah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab itu, keputusan PN Jakpus tersebut bisa diabaikan.
Baca juga: Soal Putusan Pemilu Ditunda, KPU Bakal Ajukan Banding, Jokowi Harap Tahapan Pemilu Tetap Berjalan
Di tingkat banding mudah-mudahan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta mengembalikan PN Jakpus ke "jalan yang benar" dengan mengabulkan banding yang diajukan KPU.
Artinya Pemilu 2024 tetap dilaksanakan tepat waktu yakni 14 Februari 2024.
Sejatinya, secara yuridis telah sangat jelas bahwa pemilihan umum atau pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
Hal tersebut sudah ditetapkan berdasarkan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi, "Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali."
Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 Pasal 14 menyatakan, "KPU berkewajiban melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan pemilu secara tepat waktu."
Penjelasan UU No 7 Tahun 2017 menyatakan, "Sesuai dengan ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, anggota DPD, serta anggota DPRD diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali."
Secara filosofis, pemilu diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Adil di sini secara filosofis berarti pemilu juga mempunyai sifat kemanfaatan yang sangat besar.
Artinya, pemilu yang diselenggarakan harus bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya bermanfaat bagi sekelompok orang atau partai.
Melihat keputusan PN Jakpus No 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst mengenai gugatan dari salah satu partai kepada KPU yang salah satu amar putusannya, “menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari”, maka jelas keputusan tersebut tidak berasaskan keadilan. Karena salah satu asas dari keadilan itu ada kemanfaatan di dalamnya, dan kemanfaatan tersebut harus benar-benar dirasakan dan diterima oleh sebanyak-banyaknya orang.
Keputusan PN Jakpus itu hanya memberikan kemanfaatan kepada satu kelompok orang saja, dan.justru merugikan banyak orang. Sebab pemilu itu dibutuhkan dalam demokrasi dan ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia.
Rakyat Indonesia sangat menghormati undang-undang yang mengatur pelaksaann pemilu. Mengapa hanya karena satu kelompok yang menggugat kemudian keputusannya menimbukan kerugian bagi jutaan orang lain?
Apakah Pengadilan Negeri mempunyai hak untuk menunda pemilu? Apakah undang-undang memberikan wewenang kepada Mahkamah Agung (MA) untuk dapat menunda pelaksanaan pemilu?
Pada saat memberikan keputusan yang berdampak pada kepentingan publik, sudah semestinya pengadilan mempertimbangkan manfaat dan mudaratnya. Termasuk PT Jakarta yang akan menyidangkan banding dari KPU
Perlu diketahui bahwa gugatan yang diajukan Partai Prima sejatinya karena adanya penolakan sebagai peserta Pemilu 2024 oleh KPU.
Jika ditelisik lebih dalam lagi, maka semestinya penolakan KPU tersebut bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, yang keputusannya harus ke arah ganti rugi seperti yang tertera dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Tetapi mengapa malah melebar ke mana-mana?
KPU melaksanakan pemilu berdasarkan UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pelaksanaan pemilu bisa berubah hanya berdasarkan keputusan dari MK dan itu pun hanya bisa dilakukan melalui judicial review (uji materi) jika terdapat pertentangan antara UU No 7 Tahun 2017 terhadap UUD 1945.
Jadi, penulis berpendapat KPU tetap dapat melanjutkan tahapan-tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024 yang sudah berjalan saat ini karena KPU tunduk kepada UU No 7 Tahun 2017.
Ingat, pemilu sebelumnya digelar pada 2019 maka pemilu berikutnya harus dilaksanakan pada 2024 sesuai amanat UUD 1945 bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Semoga!
* Dr Anwar Budiman SH MM MH: Praktisi Hukum/Pengajar Hukum Tata Negara Sekolah Pascasarjana Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.