Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mengedepankan Jurnalisme Kepemimpinan
Leadership Journalism adalah praktik jurnalisme yang menekankan pada motif untuk mentransformasikan elan kepemimpinan yang menstimulir energi positif
Editor: Adi Suhendi
Oleh:
Iqbal Setyarso
Indonesia Care Foundation
TRIBUNNEWS.COM - Saya baca meme di facebook (FB) seorang kawan. Dia menulis begini: ”Era reformasi gue belajar jurnalisme damai,…era sekarang menurut gue harus belajar jurnalisme hati dan empati…gak usah sok pakai alasan cover bothside segala…faktanya nggak kok.”
Saya scroll up perbincangan di FB itu. Muncul obrolan antara lain, yang menpertanyakan, “Apa definisi bothsides zaman sekarang?”, dijawab dengan kalimat sinis,”Sekarang penuh aroma pundi-pundi yah?”, lalu ada pula yang mengatakan,”Jurnalisme kewarasan”, lainnya mengatakan,”Cuan bothside!”, dilanjutkan komentar,”Yang itu jurnalisme “damai” juga.
Pembuat meme itu, saya kenal, ia juga jurnalis senior, rekan saya yang pernah berkiprah di majalah berita mingguan (politik) saat saya masih di situ.
Sekarang majalah itu sudah bermutasi menjadi majalah online, saya turut di dalamnya, dia tidak.
By the way, saya tidak memperdalam pembahasan seputar jurnalisme damai ataupun jurnalisme “damai”.
Baca juga: Peringati Hari Pers Nasional, Puan Minta Masyarakat Dukung Jurnalisme Sehat dan Berkualitas
Saya, karena masih peduli dengan aktivitas journalism, nimbrung pada perbincangan tentang itu. Yang saya ketengahkan, tentang iatilah yang pernah saya katakana, saya coba transformasikan pada sejumlah peminat journalism muda (ketika itu, mereka lebih muda dibanding saya). Yaitu: jurnalisme kepemimpinan atau leadership journalism.
Apa itu, Leadership Journalism (LJ)?
Menyebutkan itu, saya perlu berbagi penjelasan tentang definisi kata itu.
LJ, adalah praktik jurnalisme yang menekankan pada motif untuk mentransformasikan elan kepemimpinan yang menstimulir energi positif munculnya kepemimpinan dalam berbagai aspeknya untuk dapat menginspirasi pembaca.
Kata elan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI bermakna: semangat perjuangan (hidup, daya cipta) yang menyala-nyala.
Dipadu dengan kata kepemimpinan, menjadi sebuah aktivitas intelektual seseorang yang menjadikan daya pikir dan nalarnya untuk sungguh-sungguh ia dedikasikan demi menginspirasi pembaca, bukan asal mempublikasikan, dan bukan pemenuhan 5W+H saja.
Baca juga: Angkat Tema Jurnalisme, Ini 4 Rekomendasi Drakor untuk Sambut Hari Pers Nasional
Apa yang ditulisnya, bertendensi memotivasi. Menginspirasi pembaca.
Dengan tendensi itu, ada tujuan positif publikasi yang dilakukannya, satu tingkat dari “damai” sebagai goals, nawaitu kebaikan dalam menulis pemberitaan, menginjeksi kepemimpinan, elan membagi kebermanfaatan melalui kepemimpinan. Apa itu “jiwa kepemimpinan”, atau “peluang konkret menjalankan kebijakan”, ataupun “hal lumrah dalam berbuat baik dan berbagi bermanfaat untuk orang lain”.
Kepemimpinan dengan demikian, yang melandasi penulisan.
Menulis, dengan tujuan berlapis. Bahwa menulis untuk menebar kedamaian, itu bagus-bagus saja.
Menulis demi mentransformasi kepemimpinan, itu baru tendendius.
Hal itu menjadikannya memiliki bobot motivatif, more than writing! Jadi, praktik menulis berita ada beberapa level.
Level berita standar: menulis sebatas memenuhi syarat minimal 5W+H (jurnalis yang baru melakukan praktek penulisan berita); kedua, level menengah: menulis untuk membangun damai (jurnalisme plus); ketiga, level advance: jurnalisme plus-plus (plus membangun damai, plus mentransformasi kepemimpinan).
Baca juga: Menguak Sisi Lain Jurnalisme Investigasi Melalui Podcast Aiman Witjaksono
Nawaitu atau niat mentransformasi kepemimpinan, perlu dibedakan dari memanaskan (ngompori, memicu amarah).
Sekilas, hampir mirip, sama-sama memicu atau menstimulasi, bedanya, yang satu menstimulasi perubahan positif; yang lain menstimulasi perubahan yang memperkeruh situasi (kontra perdamaian).
Untuk jurnalis, anda termasukkah? Termasuk yang menstimulir perubahan positif, atau malah memperkeruh situasi –demi konten, menarik perhatian pembaca, alih-alih mengedukasi pembaca agar lebih mengerti duduk persoalannya tapi malah memicu kegaduhan dan meluaskan permasalahan.
Salah satu “kekayaan pers” yang tidak diinginkan, kian banyak mass media yang tidak bertanggung jawab.
Hal itu mencuatkan dua kontinum: media tak bertanggung jawab (yang kerap dipandang media buzzer) dan media sosial yang lebih tidak terkontrol kredibilitasnya. Keduanya “mengabdi” pada niat buruk yang sama: menciptakan, meramaikan, menambah “kegaduhan”. Bedanya, media “resmi” memiliki pengelola, ada struktur keredaksian yang bertanggungjawab, namun untuk media sosial nyaris liar, tidak ada struktur keredaksian yang “menyaring”, semua terlontar bebas tanpa tanggung jawab, dan tidak ada mekanisme kontrol dan penyaringan.
UU ITE, Seberapa Pentingkah?
Dalam konteks ini, pihak yang berwajib sering menjadi “pihak bertanggungjawab” dalam pengertian, mengambil tindakan hukum yang diperlukan.
Perlu diketahui, ada Undang-undang yang perlu diketahui , terutama pengguna medsos.
Menyambaikan berita bohong, dilarang dalam pasal 28 ayat (1) UU ITE. Kalimatnya,”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Pada UU yang sama, ayat (2) berbunyi,” Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
UU ITE No 11 tahun 2008, diperbaiki dengan perubahan menjadi UU No. 19 tahun 2016. UU baru itu tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang ditetapkan dan diundangkan pada 25 November 2016.
UU ITE akhirnya resmi direvisi oleh Pemerintah (Kompas, 9 Juni 2021, diakses 6 April 2023).
Mulanya, Presiden Jokowi berpesan, agar implementasi Undang-undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan. Jika hal itu tak dapat dipenuhi, ia akan meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi UU tersebut. Hal itu dikemukakan Presiden dalam rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, 15/2/2021.
Bahkan, Presiden akan meminta DPR menghapus pasal-pasal karet yang ada dalam UU ITE. Hal itu, menurut Presiden, menjadi hulu dari persoalan hukum UU tersebut. Ketua Komisi I, Meutya Hafid menyambut baik wacana yang disampaikan Jokowi itu.
Ia mengatakan, DOR siap untuk membahas kembali Undang-undang Iinformasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana dikemukakan Presiden Joko Widodo. Politikus Partai Golkar itu menuturkan, pembahasan Pasal 45 ayat (3) UU ITE yang mengatur soal ketentuan pidana atas penghinaan atau pencemaran nama memang menjadi isu utama dalam revisi UU ITE tahun 2016. Hal itu mengingat, ada keinginan agar masyarakat dapat bijak dalam mengeluarkan pendapatnya di media sosial, termasuk tidak menghina atau mencemarkan nama baik orang lain.
Merespons wacana yang digaungkan Presiden Jokowi itu, pemerintah kemudian membentuk dua tim untuk merespons polemik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Regulasi itu dinilai memuat pasal karet atau multitafsir. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, satu tim dibentuk untuk membahas rencana revisi UU ITE.
Pasalnya, sejumlah pihak mendorong pemerintah dan DPR merevisi pasal-pasal yang dianggap mengancam demokrasi. "Tim revisi atau tim rencana revisi UU ITE, karena kan ada gugatan, katanya UU ini mengandung pasal karet, diskriminatif, membahayakan demokrasi. Nah, Presiden mengatakan silakan didiskusikan kemungkinan revisi itu," ujar Mahfud dalam keterangan pers melalui video, Jumat (19/2/2021).
Menurut Mahfud, tim rencana revisi UU ITE ini akan membahas pasal-pasal yang dianggap multitafsir bersama komponen masyarakat.
Pemerintah akan mengundang pakar hukum, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), pakar, lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga kelompok gerakan pro-demokrasi.
"(Semua) akan didengar untuk mendiskusikan, benar tidak ini perlu revisi," kata Mahfud.
Selain itu, pemerintah juga membentuk tim untuk menyusun interpretasi atas pasal-pasal yang selama ini dianggap multitafsir.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate akan bertanggung jawab mengenai pembahasan dalam tim tersebut.
"Itu nanti akan dilakukan oleh Kemenkominfo, Pak Johnny Plate nanti bersama timnya, tetapi juga bergabung dengan kementerian lain di bawah koordinasi Polhukam untuk menyerap itu," ucap Mahfud.
Jalan Panjang UU ITE
Ikhtiar DPR ternyata gagal untuk memasukkannya UU ITE dalam Prolegnas Prioritas 2021. Pada rapat kerja antara Baleg dengan pemerintah yang diwakili Yasonna, revisi UU ITE akhirnya batal masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2021.
Itu artinya wacana yang digaungkan Jokowi untuk merevisi UU ITE batal terealisasi dalam waktu dekat lantaran sikap pemerintah yang tak langsung melakukan legislative review bersama DPR.
Pemerintah lebih memilih membentuk tim kajian pedoman penggunaan UU ITE dan tim kajian revisi ketimbang langsung mengeksekusi wacana yang digaungkan langsung oleh Presiden Jokowi.
Pada hari Selasa (8/6/2020), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, melaporkan bahwa pemerintah telah mengambil keputusan untuk merevisi empat pasal Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Ada empat pasal yang akan direvisi. Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 36, ditambah satu Pasal 45C, itu tambahannya," ujar Mahfud dalam konferensi pers di Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (8/6/2021).
Revisi terhadap empat pasal tersebut, kata Mahfud, bertujuan menghilangkan multitafsir, pasal karet, dan upaya kriminalisasi.
Ketiga poin tersebut sebagaimana masukan yang diberikan kelompok masyarakat sipil selama proses pengkajian rencana revisi UU ITE dilakukan beberapa waktu lalu.
Kendati demikian, Mahfud menegaskan bahwa revisi terhadap empat pasal tersebut tak serta-merta mencabut UU ITE secara keseluruhan.
"Kita perbaiki, tanpa mencabut UU itu karena masih sangat diperlukan untuk mengatur lalu lintas komunikasi kita dalam dunia digital," ucap Mahfud.
Ia juga mengungkapkan, keputusan revisi itu diambil setelah mengantongi persetujuan dari Presiden Joko Widodo.
Dapat dimengerti bahwa elan kepemimpinan, khususnya dalam praksis jurnalisme kepemimpinan demikian strategis. Bahwa menyeriusi dimensi kepemimpinan, dengan kesadaran urgensi “membimbing nurani pembaca”, sebuah la ngkah yang inheren dalam kerja-kerja jurnalistik.
Bobot urgenitasnya menjadi lebih tinggi pada masa meruyaknya kekurang-akurasi muatan pesan-pesan komunikasi yang memapar publik, baik di media mainstream maupun media sosial.