Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Interogasi Setelah Anestesi
Masih terkait kualitas informasi dalam proses interogasi. Pertanyaan yang juga relevan adalah seberapa jauh sabu memengaruhi TM, DP, SM, dan L/A.
Editor: Hendra Gunawan
Oleh Reza Indragiri Amriel *)
INTEROGASI merupakan salah satu fase penting dalam proses investigasi. Lewat interogasi, polisi (penyidik) menggali informasi dengan cara membongkar ingatan dan menelaah proses berpikir si terperiksa (orang yang dinterogasi).
Ingatan sendiri sesungguhnya bukan produk asli sebagaimana foto hasil jepretan kamera. Memori adalah hasil rekonstruksi kognitif atas peristiwa yang manusia lalui. Butuh kerja otak yang tidak ringan agar proses rekonstruksi itu menghasilkan informasi yang akurat sebagaimana kejadian yang telah berlangsung.
Dengan proses psikologis yang kompleks itu, pembiusan total (total anastesi)--berdasarkan riset--disimpulkan sangat berisiko memengaruhi memori dan proses berpikir si terperiksa. Pengaruhnya bersifat negatif. Artinya, terjadi pengenduran memori dan pelemahan proses berpikir sebagai dampak anastesi total.
Baca juga: Teddy Minahasa Disebut Keblinger Bawa-bawa Nama Ayah dan Istri Dody Prawiranegara
Atas dasar itu, patut disesalkan bahwa interogasi terhadap TM dilangsungkan satu hari setelah TM baru saja menjalani serangkaian pembiusan total untuk keperluan operasi medis.
Konsekuensinya, tiga aspek yang patut dikritisi terkait interogasi tersebut: prosedur, efektivitas, dan etik.
Prosedur: antara lain, berapa lama interogasi berlangsung, bagaimana pendalaman dilakukan, dan apakah terhadap TM telah dilakukan pemeriksaan kompetensi sebelum dan sepanjang berlangsungnya interogasi. Cakupan kompetensi adalah kesehatan fisik dan psikis TM, kejernihan TM dalam berpikir, kemampuannya untuk menyampaikan jawaban atas pertanyaan interogator, dan kesadaran TM bahwa ia bertanggung jawab atas jawaban-jawabannya itu.
Efektivitas: jarak waktu sedemikian singkat antara serial anastesi dan interogasi dikhawatirkan akan berdampak kontraproduktif bagi upaya penyidik memperoleh informasi yang berkualitas (utuh dan akurat) dari TM. Ketika TM berada dalam kondisi meragukan untuk menyampaikan keterangan secara berkualitas, namun keterangannya itu tetap dicatat dan dijadikan rujukan yang sahih oleh penyidik, maka dampaknya terhadap pengungkapan kasus secara keseluruhan menjadi rentan error.
Etik: bagaimana penyidik bisa menjelaskan bahwa mereka telah bersikap profesional dalam pelaksanaan interogasi terhadap terperiksa yang sekian jam sebelumnya baru siuman dari efek pembiusan total beruntun di meja operasi. Dengan kata lain, patut ditakar dan dipastikan bahwa interogasi sedemikian rupa sama sekali tidak bersifat abusive. Apabila aspek etik tersebut tidak terjawab, maka dikhawatirkan telah terjadi police misconduct dalam satu tahapan penting kerja penyidik Polda Metro Jaya.
Tekanan selama interogasi sesungguhnya tidak hanya dirasakan si terperiksa. Penyidik (interogator) pun mengalami tekanan serupa. Apalagi, tidak hanya kasus TM dan DP ini menarik perhatian publik, para penyidik dalam kasus ini pun berhadapan dengan situasi dilematis. Yakni, pada satu sisi keharusan menegakkan hukum secara objektif, dan pada sisi lain menaati perintah pimpinan untuk mengunci TM pada status harus bersalah. Demikian simpulan yang bisa ditarik dari pledoi TM.
Tes Narkoba
Masih terkait kualitas informasi dalam proses interogasi. Pertanyaan yang juga relevan adalah seberapa jauh sabu memengaruhi TM, DP, SM, dan L/A.
Baca juga: Pakar Forensik Pertanyakan Sabu 3,3 Kg yang Disita Polisi Terkait Kasus Teddy Minahasa
TM, awalnya, disebut Humas Polda Metro Jaya terbukti positif sabu. Namun pernyataan Humas tersebut dikoreksi bahkan langsung oleh Kapolri. Kapolri, lewat maklumat resminya, menyatakan bahwa setelah menjalani tes narkoba, TM berstatus negatif alias bersih dari substansi kimia terlarang itu.
Tapi tertinggal dua persoalan. Pertama, apakah para terdakwa lainnya, terutama DP, SM, dan L/A, juga telah menjalani pemeriksaan narkoba? Seharusnya demikian agar fairness terpenuhi. Apalagi nyata-nyata ini kasus narkoba. Kedua, apa hasil pemeriksaan terhadap mereka? Positif atau negatif? Sayangnya, kedua hal tersebut tidak pernah Polda Metro Jaya sampaikan kepada media dan masyarakat.
Alhasil, pantas jika masyarakat bertanya-tanya. Sejauh apa tubuh ketiga nama tadi bersih dari sabu? Dan seberapa kuat penyidik teryakinkan bahwa DP, SM, dan L/A telah menjalani interogasi dan memberikan informasi tanpa di bawah pengaruh zat terlarang?
Allahu a'lam.
*) Reza Indragiri Amriel adalah alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne