Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ekosistem EV Battery ASEAN Plus Three: Peluang dan Tantangan
Salah satu hasil pertemuan berkaitan dengan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) alias electric vehicle (EV).
Editor: Hendra Gunawan
Oleh Hafif Assaf *)
TRIBUNNEWS.COM -- Konferensi Tingkat Tinggi ke-43 ASEAN dan KTT lainnya yang dimulai di Jakarta, 5 September 2023, secara resmi telah ditutup Presiden Joko Widodo pada 7 September 2023.
Tercatat ada 12 pertemuan KTT yang telah diselenggarakan dan menghasilkan 90 outcome documents dan sejumlah kesepakatan-kesepakatan konkret dengan mitra.
Salah satu pertemuan KTT yang dilaksanakan adalah KTT ke-26 ASEAN Plus Three pada 6 September 2023. Dalam kesempatan itu, turut hadir PM China Li Qiang, PM Jepang Fumio Kishida, dan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol selaku koordinator Plus Three.
Salah satu hasil pertemuan berkaitan dengan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) alias electric vehicle (EV). "ASEAN sangat menghargai dukungan China, Jepang, dan Korea untuk pengembangan ekosistem EV battery dan ASEAN-Indo-Pacific Forum. Ini penting bagi kemajuan dan pertumbuhan kawasan," ujar Presiden Joko Widodo pada pembukaan KTT ke-26 ASEAN Plus Three.
Baca juga: Tata Motors Uji Mobil Listrik ke Beberapa Pasar Global
Dalam tulisan ini, penulis hendak menganalisis kolaborasi ASEAN dan Plus Three untuk pengembangan ekosistem EV battery. Apa saja peluang dan tantangannya?
Peluang
Tidak dapat dimungkiri, Asia merupakan pasar kendaraan listrik terbesar di dunia saat ini. Dari sisi penduduk, saat ini lebih dari 4 miliar jiwa tinggal di benua tersebut. (World Population Data Sheet, 2020). Namun nyatatanya, jumlah penduduk yang begitu besar berbanding lurus dengan tantangan perubahan iklim. Mengutip laporan McKinsey's tahun lalu, 93 dari 100 kota paling tercemar di dunia ada di Asia.
Asia juga menghadapi masalah berupa permintaan energi yang begitu tinggi seiring pertumbuhan ekonomi pesat ditambah urbanisasi. Sebagai contoh, konsumsi energi China lebih dari tiga kali lipat total energi yang digunakan Eropa.
Sektor transportasi menjadi sorotan utama lantaran menyumbang 17 persen dari emisi gas rumah kaca di dunia. Oleh karena itu, transisi dari kendaraan berbasis bahan bakar minyak menjadi EV krusial dalam kerja-kerja demi menekan emisi tersebut.
Dalam konteks kolaborasi ASEAN dan Plus Three untuk pengembangan ekosistem EV battery, masing-masing pihak memiliki modal yang sama-sama kuat. Sebagai contoh, China merupakan produsen EV terbesar di dunia dengan produksi 44% dari seluruh kendaraan listrik dalam kurun waktu 2010-2020.
Begitu pula Korea Selatan. Tahun depan. dua perusahaan raksasa Korsel, LG dan Hyundai, akan memulai produksi EV battery di Indonesia. Sedangkan Jepang, sebagaimana kita tahu, juga tidak mau ketinggalan menggarap pasar EV. Mobil listrik niaga Mitsubishi Minicab MiEV bakal diproduksi pada tahun ini dan akan dijual awal tahun depan.
Dari sisi sumber daya alam, Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar bukan hanya di Asia melainkan juga di dunia. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia Arifin Tasrif mengatakan kalau cadangan nikel Indonesia saat ini mencapai 5,3 miliar ton dengan potensi 17 miliar ton. (Kementerian ESDM, 2023).
Baca juga: Stellantis Kembangkan Baterai Mobil Listrik Berbobot Ringan
Vietnam pun demikian. United States Geological Survey (USGS) melaporkan, Vietnam memiliki cadangan nikel sebesar 191 juta ton pada tahun 2020. Salah satu konglomerat terkemuka Vietnam, VinFast, sedang membangun pabrik baterai EV dengan kapasitas 5 gigawatt-hours atau setara 30 juta sel baterai.
Thailand, seperti kita ketahui bersama, telah menjadi basis produksi kendaraan berbasis BBM maupun EV. Beragam insentif yang ditawarkan pemerintahannya membuat produsen global berlomba-lomba berinvestasi di Negeri Gajah Putih, tidak terkecuali dari negara-negara Plus Three.
Mengutip data ISEAS-Yusof Ishak Institute, Thailand menjadi produsen terbesar mobil di ASEAN dengan 1,6 juta unit. Disusul Indonesia (1,1 juta unit) dan Malaysia (480 ribu unit). Modal lainnya adalah populasi penduduk di mana ada lebih dari 650 juta orang yang tinggal di ASEAN. Kelas menengah di kawasan ini pun terus bertumbuh, menjadikan mereka sebagai pasar potensial EV.
Tantangan
Kolaborasi ASEAN dan Plus Three untuk pengembangan ekosistem EV battery memang menarik untuk dicermati jika melihat modal-modal yang ada. Namun, masih terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi demi menumbuhkan ekosistem EV yang terhubung antara ASEAN dan Plus Three.
Misalnya, harga unit setiap EV yang begitu mahal membuat tingkat kepemilikannya masih rendah. Ambil contoh di Indonesia, berbagai insentif berupa subsidi yang diberikan pemerintah belum mampu mendorong peningkatan pemilikan.
Kementerian Perhubungan mencatat jumlah EV yang beroperasi di Indonesia baru mencapai 81.525 unit. Perinciannya, kendaraan roda dua sebanyak 62.815 unit, kendaraan roda tiga 320 unit, mobil penumpang 18.300 unit, dan mobil barang sebanyak 10 unit.
Alasan di balik belum masifnya pengguna EV di tanah air memang bermacam-macam. Satu hal yang sederhana adalah pengisian daya EV. Berbanding terbalik dengan SPBU yang mudah ditemukan di mana-mana, hingga ke pelosok daerah, masih sulit bagi masyarakat menemukan stasiun pengisian daya EV.
Untuk itu, perlu kerja kolosal negara-negara ASEAN dan Plus Three untuk meyakinkan masyarakat kalau EV merupakan solusi di masa depan sehingga pasarnya terbentuk. Fenomena polusi udara yang muncul belakangan di kota-kota besar seyogianya dapat menjadi momentum untuk menggencarkan kampanye perihal urgensi EV.
Lalu, apa yang dapat dilakukan pemerintah? Penerapan insentif fiskal, kebijakan investasi yang tepat hingga akselerasi pembangunan infrastruktur pengisian daya dapat dilakukan. Semua itu bertujuan untuk meningkatkan ekosistem EV.
Tantangan lain yang tidak kalah krusial tentu adalah tidak semua critical mineral seperti nikel ada di semua negara ASEAN. Layaknya sumber daya tambang lainnya, ada jangka waktu hingga komoditas tersebut akhirnya habis. Jika itu terjadi, bagaimana nasib kolaborasi ASEAN dan Plus Three?
Sesungguhnya masih banyak tantangan lainnya yang perlu dijawab dan diselesaikan untuk mengembangkan ekosistem EV battery di tanah air. Akan tetapi, semangat kolaborasi ini tentu patut diapresiasi di tengah kondisi dunia yang penuh dengan ketidakpastian.
*) Hafif Assaf adalah Government Affairs Profesional, Pemerhati Kebijakan Publik dan Dewan Pengawas BincangEnergi