Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Siapa Bisa Cegah Eksodus dari Jalur Gaza?
Militer Israel memerintahkan penduduk Palestina meninggalkan wilayah utara Gaza dan mengosongkan Gaza City, berpindah ke Gaza bagian selatan.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Ratusan ribu, diperkirakan total 1,1 juta penduduk Palestina di bagian utara Jalur Gaza, dipaksa eksodus.
Militer Israel sudah memberi ultimatum, pemindahan itu harus dilakukan 24 jam sejak Jumat (13/10/2023) pagi.
Pengumuman lewat media sosial dan pamflet yang disebarkan Israel lewat udara telah dilakukan. Pamflet itu berjatuhan di wilayah utara Gaza yang semakin hancur.
Kepanikan muncul. Badan PBB memperingatkan kemungkinan terjadinya bencana kemanusiaan akbar atas eksodus paksa ini.
Menggunakan bagal atau keledai, gerobak, motor, mobil reyot, atau jalan kaki, beribu-ribu penduduk Gaza telah berpindah tanpa tujuan jelas ke wilayah selatan.
Baca juga: Skenario Konflik Sesudah Serbuan Hamas 7 Oktober 2023
Baca juga: Sejumlah Kesalahan Taktis Operasi Kelompok Hamas
Baca juga: Skenario Terburuk, Jalur Gaza Jatuh ke Tangan Israel
Kelompok Hamas sebaliknya, memaksa penduduk tetap tinggal di tempatnya masing-masing. Mereka menganggap ultimatum Israel propaganda belaka.
Dalam ultimatumnya, Israel meminta penduduk Palestina di Gaza berpindah ke bagian selatan enklave itu. Batasnya adalah Wadi Gaza.
Jika menggunakan batas ini, maka setengah wilayah Gaza di bagian utara akan kosong. Israel ingin memotong wilayah ini, membuat perimeter sangat lebar dengan perbatasan Israel-Gaza saat ini.
Apa yang akan terjadi? Militer Israel kemungkinan sangat besar akan segera menggelar invasi darat, membumihanguskan semua yang ada area yang ditinggalkan penduduk Gaza ini.
Meratakan area ini berarti akan menciptakan zona baru yang sangat lebar yang memisahkan permukiman Israel di selatan yang tadinya cukup dekat dengan Gaza.
Cengkeraman militer Israel akan semakin jauh ke selatan dari pesisir utara Gaza hingga mepet ke perbatasan dengan Israel di dekat Kibutz Kfar Berri yang pekan lalu diserbu Hamas.
Menguasai sepenuhnya Gaza mungkin butuh waktu lama. Karena itu Israel dalam jangka pendek ingin memotong wilayah utara Gaza, menciptakan area baru pengaman bagi negara mereka.
Lebar perbatasan Gaza dan Israel diperjauh dari kota-kota besar Israel seperti Sderot dan Askhelon yang mampu dijangkau roket Hamas.
Memindahkan 1,1 juta penduduk dari bagian utara Gaza ke selatan kini bukan pekerjaan mudah. Perlu lokasi dan pusat pengungsi baru, logistik, air, listrik, transportasi dan lain sebagainya.
Sementara Israel telah memutus pasokan listrik, air, obat-obatan dan bahan pokok pangan ke Gaza. Bantuan kemanusiaan dari luar, terutama dari Mesir juga tertahan di Rafah.
Sulit terbayangkan dalam hari-hari atau pekan mendatang akan ada banjir penduduk di wilayah selatan Gaza yang juga sudah sangat padat.
Kelompok Hamas sebaliknya meminta penduduk Gaza mengabaikan ultimatum Israel, dan menyuruh mereka tetap bertahan di tempat masing-masing.
Seruan Hamas ini bisa sangat berbahaya bagi warga, mengingat militer Israel sudah terbukti tak pernah peduli dampak serangan mereka terhadap warga sipil.
Hamas bukanlah satu-satunya entitas di Palestina dan Jalur Gaza. Tidak semua penduduk sipil Gaza adalah anggota Hamas.
Dalam situasi yang amat sangat sulit seperti ini, penduduk Gaza nonkombatan tidak ada pilihan lain kecuali menyingkir.
Lain bagi petempur Hamas yang bisa dimasukkan ke kelompok kombatan, yang akan dianggap sah sebagai peserta perang dalam hukum konflik bersenjata internasional.
Mereka mungkin akan bertahan, melawan untuk setiap peperangan baru yang diciptakan militer zionis Israel ke Gaza.
Bagaimana dengan Mesir? Apakah negara ini akan membuka koridor eksodus yang aman dari Gaza menuju wilayah Sinai Mesir?
Ini memang satu-satunya jalan paling memungkinkan guna menyelematkan ratusan ribu hingga jutaan penduduk Palestina di Gaza.
Tapi solusi ini tidak mudah. Mesir pasti akan menghitung dampak atau ekses pemindahan penduduk Gaza, yang banyak di antaranya anggota dan simpatisan Hamas.
Menciptakan kantong baru permukiman Palestina di Sinai Mesir, sama saja menciptakan masalah baru yang dalam jangka panjang bisa sangat rumit.
Mesir terikat perjanjian damai dengan Israel. Mesir juga sedang memulihkan diri dari konflik politik berdarah sepeninggal Hosni Mubarak.
Mesir juga masih menyimpan konflik dengan kelompok radikal bersenjata afiliasi ISIS di Semenanjung Sinai.
Kairo pasti tidak ingin sepanjang tapal batas mereka dengan Israel akan dikuasai kelompok bersenjata Hamas, dan melakukan perlawanan ke Israel dari balik pagar perbatasan Mesir-Israel.
Inilah krisis serius, masalah paling pelik hari-hari ini. Satu sisi bencana kemanusiaan penduduk Palestina ada di depan mata kita.
Sisi lain, belum terbayang jalan keluarnya seperti apa. Banyak yang berharap Israel konsisten dan tidak membumihanguskan seluruh wilayah Gaza.
Serangan kelompok Hamas 7 Oktober 2023 memang berakibat sangat fatal dan amat merugikan Palestina serta upaya damai pembentukan dua negara Israel dan Palestina.
Tapi orang harus tahu, okupasi, persekusi, represi, opresi Israel terhadap rakyat Palestina sudah berlangsung amat sangat kejam, berpuluh tahun lamanya.
Saat ini, jelas sulit berharap pada PBB, Liga Arab, Uni Eropa, Uni Afrika, ASEAN, dan organisasi internasional lain, untuk mencegah petaka akbar di depan mata ini.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.