Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Siapa di Balik Bom Dahsyat yang Guncang Kerman Kota Asal Qassem Soleimani?
Rentetan operasi sabotase, bom, pembunuhan tokoh di Iran dilakukan Mossad Israel dan anasir perlawanan lokal Iran.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA – Dua ledakan dahsyat mengguncang sebuah komplek makam besar di Kota Kerman, Republik Islam Iran, Rabu (3/1/2024).
Sekurangnya 103 orang tewas di lokasi kejadian akibat dahsyatnya dua bom yang meledak beruntun. Informasi awal menyebutkan bom diledakkan dari jarak jauh.
Serangan teroris itu berlangsung tepat saat peringatan empat tahun meninggalnya Jenderal Qassem Soleimani, yang tewas di Bandara Internasional Baghdad oleh serangan drone militer AS.
Serangan yang menewaskan Qassem Soleimani, pemimpin Brigade Al Quds Korps Pengawal Republik Iran itu diakui secara terbuka oleh pemerintah AS.
Serangan dilakukan secara terkoordinasi oleh Pentagon, CIA, dan dinas intelijen mitra AS di Timur Tengah. Diyakini Mossad Israel berkontribusi besar pada pembunuhan ini.
Jenderal Qassem dimakamkan di kota kelahirannya, Kerman. Kota di dataran luas ini terletak sekira 1.000 kilometer arah selatan Teheran, ibu kota Iran.
Baca juga: Bom Tewaskan 103 Orang di Kerman Iran, Pejabat Iran Tuding Israel dan AS di Belakang Pemboman Kerman
Baca juga: Dendam Atas Pembunuhan Qassem Soleimani, Iran Masih Bertekad Bunuh Trump, Pompeo hingga McKenzie
Siapa Qassem Soleimani? Dia adalah veteran perang Iran-Irak dekade 80an, yang perannya menggalang kekuatan Syiah di Timur Tengah tak diragukan lagi.
Qassem lewat operasi rahasianya menyokong Suriah dan Irak melawan keganasan kelompok ISIS dan Al Qaeda.
Di Irak, peran Qassem sangat besar atas dukungannya ke Al Hasd al Shaabi, paramiliter Syiah Irak yang merebut kembali Mosul dari tangan ISIS.
Sebagai tokoh kunci operasi ekstrateritorial Iran, Qassem Soleimani diincar AS dan Israel karena dianggap membesarkan perlawanan terhadap Israel di Palestina dan Lebanon.
Begitu pentingnya Qassem Soleimani, operasi pembunuhan atasnya digelar 3 Januari 2020, atau empat tahun lalu.
Qassem saat itu bergerak dari Beirut Lebanon ke Damaskus Suriah, sebelum terbang ke Baghdad.
Perjalanannya telah terlacak, dan ketika mendarat di Baghdad dan keluar dari terminal kedatangan, drone AS menembakkan rudal Ninja.
Qassem tewas bersama Abu Mahdi Al Muhandis, pemimpin kelompok Mobilisasi Populer Irak atau Al Hasd Al Shaabi, dan dua pengawalnya.
Pembunuhan Qassem ini sangat mengejutkan Iran, yang lalu membalas lewat serangan rudal ke pangkalan AS dan sekutunya di Erbil, Irak.
Kematian Qassem Soleimani, peringatan kematiannya di Kerman, serangan bom dahsyat 3 Januari 2024 ini bertalitemali dengan konflik yang berlangsung di Palestina, Irak, Suriah, dan Yaman.
Serangan bom terbaru di Kerman ini juga bukan kali pertama dilancarkan di dalam negeri Iran.
Rentetan pembunuhan tokoh dan pakar nulir Iran telah berlangsung beberapa kali, lewat operasi yang sangat mengejutkan.
Sangat mengejutkan karena Iran tidak steril dari keberadaan kelompok perlawanan maupun anasir-anasir yang melawan pemerintah Teheran.
Pakar nuklir Mohzen Fakhrizadeh di akhir 2020 tewas seketika saat mobil yang dikemudikannya diberondong tembakan akurat.
Tidak ada orang menembakkan senapan mesin FN MAG kaliber 7,62 mm, karena operasi dijalankan lewat alat kontrol jarak jauh.
Senapan itu ditempatkan di sebuah mobil Nissan Zamyad yang terparkir di titik tertentu di jalur yang dilewati Mohzen dan istrinya.
New York Times merilis laporan penyelidikan yang menunjukkan dinas rahasia Mossad Isral ada di balik serangan tersebut.
Presiden Iran saat itu Hassan Rouhani menuding Israel sebagai tangan jahat yang merampas nyawa pakar fisika Iran tersebut.
Seperti biasa, Israel sama sekali tak menanggapi tuduhan tersebut.
Dilihat dari rentetan operasi pembunuhan, pengeboman, sabotase, dan serangan udara ke objek vital Iran, memang hanya Israel yang sanggup melakukannya.
Tak selau menggunakan agen sendiri, Mossad mampu merekrut warga Iran yang oposan terhadap pemerintah Teheran.
Kelompok paling terkenal adalah Mujahidin Khalq, yang pernah jadi tulang punggung sukarelawan Iran saat perang Irak-Iran.
Ini kelompok politik bersenjata berhaluan Islam Marxis, yang mendukung penuh Revolusi Islam Iran 1979.
Tapi kelompok ini diberangus setelah Khomeini berkuasa, anggotanya ditangkapi dan sebagian lain kabur ke luar negeri.
Kelompok lain adalah Tondar, sayap militan Majelis Kerajaan Iran yang menentang Khomeini. Jaringan mereka kebanyakan berada di Jerman dan AS.
Ada pula kelompok Mujahidin Rakyat (MEK), yang paling santer dikaitkan dengan berbagai operasi rahasia Mossad di Iran.
MEK bagian dari Dewan Perlawanan Nasional Iran (NCRI) yang menginginkan jatuhnya pemerintahan Republik Islam Iran.
Konfigurasi politik di Iran terhitung beragam, meski secara penampilan umum Iran terlihat monolitik karena dominannya kelompok Syiah.
Sebagian kalangan muda Iran juga sudah memiliki perspektif baru, tidak kaku dan konservatif seperti yang dijalankan pemerintahannya yang tunduk pada Ayatullah Khameini.
Kehidupan sosial kemasyarakatan di Iran, terutama di kota-kota besar, terlihat kosmopolitan dan agak terbuka.
Di sisi lain, kekuatan dan spirit revolusi Iran 1979 masih terasa akibat tekanan dan embargo yang dialami Iran selama berpuluh tahun.
Teknologi militernya, terutama pesawat nirawak (drone), sangat maju dan bahkan Rusia menggunakan produk Iran yang dimodifikasi untuk perangnya di Ukraina.
Begitu pula teknologi roket, rudal, dan antariksa Iran cukup pesat, bahkan melampaui capaian negara manapun kecuali Israel.
Nah, serangan teror di Kerman, tepat saat peringatan kematian Qassem Soleimani ini menjadi sangat signifikan di tengah kecamuk perang Gaza, Lebanon, Yaman, Suriah dan Irak.
Pembunuhan massal di Kerman itu secara mudah bisa dibaca sebagai bagian upaya menarik Iran masuk secara terbuka dalam perang besar di Timur Tengah.
Siapa yang paling berkepentingan? Secara geopolitik internasional, maka elite di Washington lah yang paling ingin Iran dihancurkan lewat peperangan.
Sejak lama kalangan hawkish (kelompok radikal penyeru perang) menginginkan AS menyerang Iran secara langsung.
Ketika Presiden AS Donald Trump berkuasa, secara sepihak Gedung Putih menarik diri dari perjanjian nuklir Iran, taktat yang menahan Iran tak mengembangkan senjata nuklirnya.
Tapi langkah Trump hanya sampai di situ, meski para pembantu utamanya mendesak Trump melancarkan serangan militer ke Iran.
Kedua, elite Israel sangat berkepentingan Iran dilemahkan sampai selemah-lemahnya karena dianggap sebagai ancaman paling berbahaya bagi eksistensi negara Israel.
Israel paling takut seruan tokoh spiritual dan politisi Iran agar Israel dimusnahkan dari peta bumi jadi kenyataan.
Israel juga takut karena menyadari pengaruh Iran semakin kuat di Gaza, Tepi Barat, Lebanon, hingga Dataran Tinggi Golan, wilayah Suriah yang mereka duduki sejak 1967.
Di sisi lain, Yaman yang dikuasai kelompok Houthi, juga memberikan ancaman riil yang sangat menakutkan.
Serangan rudal Houthi bahkan telah mencapai wilayah Israel di kota pelabuhan Eilat di ujung Teluk Aqaba.
Houthi secara ideologis memiliki garis persamaan kuat dengan Syiah Iran, dan diyakini mendapat sokongan penuh dari Korps Garda Republik Iran dalam perjuangannya.
Di perang Yaman, kelompok Houthi ini menghadapi gempuran luar biasa dari pasukan koalisi yang dipimpin Saudi Arabia dan didukung AS serta sekutu baratnya.
Dari konstelasi ringkas ini bisa dilihat secara jelas apa bagaimana koneksi musuh-musuh Iran ini dengan aksi bom teror di Kota Kerman 3 Januari 2024.
Bagaimana pula meletakkan peristiwa Kerman dari peta geopolitik Timur Tengah maupun supremasi global, yang ingin dipertahankan AS dan sekutunya.(Setya Krisna Sumarga, Editor Senior Tribun Network)