Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Bom Waktu Korupsi Jelang Pemilu 2024
Kasus korupsi itu menjadi semacam bom waktu (time bomb) yang baru meledak beberapa tahun kemudian.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
TRIBUNNEWS.COM - Seperti sudah menjadi siklus, setiap menjelang pemilu terjadi kasus korupsi. Bahkan megakorupsi.
Kasus korupsi itu menjadi semacam bom waktu (time bomb) yang baru meledak beberapa tahun kemudian.
Entah calon presiden-wakil presiden serta calon anggota legislatif siapa, dan partai politik apa yang diuntungkan.
Pun, apakah ada hubungannya korupsi menjelang pemilu dengan hasil pemungutan suara pemilu.
Yang jelas, berbagai pihak mengakui jumlah kasus korupsi selalu meningkat setiap menjelang pemilu.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada 2004 ada dua kasus korupsi besar yang ditangani.
Sementara pada 2008, ada 47 kasus korupsi yang ditangani. Jumlah ini meningkat menjadi 70 kasus pada 2013 dan 145 kasus pada 2018.
Jelang Pemilu 1999, misalnya, terjadi kasus korupsi kelas kakap dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan keuangan negara hingga Rp138 triliun.
Jelang Pemilu 2009 juga terjadi kasus korupsi kelas kakap, yakni korupsi dana talangan atau "bailout" Bank Century yang merugikan keuangan negara hingga Rp8,012 triliun.
Lalu, bagaimana dengan Pemilu 2024 nanti, apakah sebelumnya juga akan terjadi kasus korupsi yang ledakannya baru terjadi kemudian, seperti BLBI dan Century?
BLBI
BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998.
Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian dalam Letter of Intent (LoI) Pemerintah Indonesia dengan Intenational Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional dalam mengatasi masalah krisis.
Pada bulan Desember 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar Rp147,7 triliun kepada 48 bank. Namun dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan.
Belakangan diketahui, sekali lagi, kerugian negara akibat korupsi dana BLBI mencapai Rp138 triliun.
Sejumlah mantan Direktur BI kemudian menjadi terpidana kasus korupsi dana BLBI ini, antara lain Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supratomo.
Dari pihak swasta lebih banyak jumlahnya, antara lain Samadikun Hartono dan Sjamsul Nursalim.
Century
Menjelang Pemilu 2009, juga terjadi kasus korupsi.
Kali ini yang menjadi bom waktu adalah "bailout" dari pemerintah kepada Bank Century milik Robert Tantular.
Kasus ini bermula ketika Indonesia tengah dilanda krisis keuangan sekitar bulan Oktober 2018.
Sejumlah bank di Tanah Air mengalami kekeringan likuiditas. Aliran modal asing keluar dari Indonesia (capital outfow).
Akibatnya, rupiah terpuruk. Alhasil, salah satu bank, yakni Bank Century meminta pendanaan pada pemerintah agar mampu bertahan di tengah badai krisis.
Setelah "bailout" dikucurkan, ada penyimpangan. Terjadilah kasus korupsi. Kerugian dalam kasus ini mencapai Rp8,012 triliun, terdiri dari pemberian dana fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) Rp689,894 miliar dan penyertaan modal sementara (PMS) dua tahap, yakni Rp6,7 triliun dan Rp1,250 triliun.
Sejumlah pihak menjadi terpidana dalam kasus Century ini, antara lain mantan Deputi Gubernur BI Budi Mulya. Dari pihak swasta ada mantan Direktur Utama Bank Century Robert Tantular.
Hambalang
Jelang Pemilu 2014, terjadi kasus korupsi pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, dengan anggaran Rp2,5 triliun.
Berdasarkan hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada periode 2012-2013, kerugian negara mencapai Rp706 miliar.
Sedikitnya empat politikus Partai Demokrat terlibat dalam kasus ini, yakni Anas Urbaningrum, M Nazaruddin, Andi Mallarangeng dan Angelina Sondakh.
Jiwasraya dan Asabri
Menjelang Pemilu 2019, terjadi dua kasus korupsi kelas kakap, yakni kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri).
Kasus Jiwasraya merugikan keuangan negara hingga Rp16,807 triliun, sedangkan kasus Asabri merugikan keuangan negara hingga Rp22,78 triliun.
Sedikitnya enam orang diadili dalam kasus Jiwasraya, yakni Benny Tjokrosaputro, Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo, Syahmirwan, Joko Hartono Tirto, dan Heru Hidayat.
Adapun dalam kasus Asabri, mereka yang diadili adalah Lukman Purnomosidi, Jimmy Sutopo, Bachtiar Effendi, Hari Setianto, Adam Damiri, Heru Hidayat, Sonny Widjaja dan Benny Tjokrosaputro. Jadi, Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat terlibat dalam dua kasus itu, yakni Jiwasraya dan Asabri.
Sri Mulyani Mundur?
Kini menjelang Pemilu 2024 beredar isu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mundur dari Kabinet Indonesia Maju pimpinan Presiden Jokowi karena kecewa.
Namun isu itu ditepis.
Bantahan dilontarkan Staf Khusus Menkeu, Justinus Prastowo dalam akun pribadinya di platform X @prastow, Jumat (5/1/2024).
Prastowo juga membantah banyak berita lainnya yang beredar di poster "Indonesia Dimiskinkan", salah satunya terkait pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) di Kementerian Pertahanan yang dipimpin Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang juga merupakan calon presiden untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Di dalam poster yang beredar disebutkan bahwa Sri Mulyani pernah menyebutkan belanja alutsista dilakukan oleh PT TMI yang dipegang oleh kroni-kroni Prabowo.
Seperti dilansir sebuah media, Prastowo menjelaskan hal itu diutarakan oleh Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, bukan Menkeu Sri Mulyani Indrawati.
Chairman dan Chief Executive Officer (CEO) dari PT TMI memang sahabat karib Prabowo dan telah ada surat penunjukan PT TMI oleh Menhan.
Adapun Hasto Kristiyanto menyatakan PT Teknologi Militer Indonesia (TMI) diisi kroni-kroni Prabowo Subianto sehingga ada dugaan penyalahgunaan kewenangan dari Menhan.
Hal itu disampaikan Hasto Kristiyanto saat ditemui awak media di Semarang, Jawa Tengah, Minggu (17/12/2023), seperti dilansir sebuah media.
Baca juga: Kritisi Anggaran Alutsista Naik, PDIP Ungkit PT TMI Diisi Kroni-kroni Prabowo
Juru Bicara Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak membantah sinyalamen Hasto itu.
Namun Dahnil bersama adik kandung Prabowo, Hashim Djojohadikusumo pernah mengakui bahwa "mark up" atau penggelembungan harga dalam pembelian alutsista di Kemhan mencapai 1.250 persen.
Prabowo pun diklaim sudah membatalkan pembelian alutsista yang diduga kena "mark up" itu di awal-awal Ketua Umum Partai Gerindra tersebut menjadi Menhan.
Sementara soal dugaan korupsi, kata Dahnil, menjadi urusan aparat penegak hukum.
PT TMI memang pernah menjadi sorotan publik karena disebut terkait dengan tersebarnya dokumen Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Pemenuhan Kebutuhan Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia Tahun 2020-2024.
Dalam Raperpres disebutkan rencana modernisasi alutsista membutuhkan dana Rp1.760 triliun dan bisa menggunakan skema utang asing. (Kompas.com, 17 Desember 2023).
Akankah di Kemhan tertanam bom waktu korupsi yang ledakannya baru terjadi pasca-Pemilu 2024? Kita tunggu saja tanggal mainnya.