Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Selamat Ulang Tahun Ke-94 PSSI, Ternyata Michel Platini, Anak Imigran
Kamis (18/4/24) malam, Rizky Ridho dan kawan-kawan, telah memberi kado kemenangan 1-0 atas Australia dalam laga lanjutan grup A putaran final PA
Editor: Toni Bramantoro
Catatan Sepakbola Bagian- III
OLEH: M. Nigara
HARI INI, 19 April 1930, Ir. Soeratin dan kawan-kawan dengan gagah berani menyatakan keINDONESIAannya melalui PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia). Sementara Indonesia sendiri belum lagi terlahir.
Kamis (18/4/24) malam, Rizky Ridho dan kawan-kawan, telah memberi kado kemenangan 1-0 atas Australia dalam laga lanjutan grup A putaran final Piala Asia. Sungguh satu hadiah indah.
Sementara, catatan sepakbola saya bagian III, juga saya persembahkan untuk PSSI....
PRO dan KONTRA naturalisasi pemain untuk tim nasional kita, masih dan pasti akan terus berlanjut. Padahal pemain naturalisasi bukan barang baru. Tim-tim dari negara yang pernah 4, 3, 2, 1 kali juara dunia saja tak ragu menggunakan, bahkan anak-anak imgran, dan pemain dari negeri bekas jajahan pun mereka rekrut.
**
SEKALI LAGI tentang pemain naturalisasi yang berdatangan ke dalam tim nasional Merah-Putih. Sekali lagi juga tentang pro dan kontra dengan gelombang para pemain keturunan. Sekali lagi soal kebebasan bersikap dan berpendapat.
Di era seperti sekarang, jangankan PSSI dengan kebijakannya mendatangkan pemain keturunan, apa saja bisa dibuat pro dan kontra. Dan, siapa pun seolah bebas berpendapat. Meski ketika ditanya, apa yang sudah mereka sumbangkan untuk kemajuan dan prestasi sepakbola tanah air yang nyata, beribu gaya mengelak, pasti mereka kedepankan.
Itulah indahnya sepakbola. Siapa saja boleh membincangkannya. Bahkan orang yang tak punya pengetahuan tentang sepakbola pun tidak dilarang untuk membahasnya. Malah tidak jarang, orang di luaran itu, sering merasa jauh lebih hebat dari pelatih siapa pun. Tidak ada yang salah, dan itulah sepakbola.
Maka, sampai kapan pun, pro dan kontra, bukan hanya persoalan naturalisasi, apa pun selalu ada dan pasti banyak pandangan berbeda. Yang perlu kita hindari, khususnya tentang naturalisasi, perbedaan itu tidak diisi oleh hal-hal negatif. Maklum, belakangan muncul rumor tentang ada 'mafia sepakbola' di belakang anti naturalisasi dan pelemahan secara khusus Shin Tae-yong.
Saya sendiri tidak yakin mereka atau pengamat yang anti itu dibekingi 'mafia sepakbola'. Saya juga tidak tahu apakah tudingan itu memiliki landasan fakta. Intinya, saya tidak ingin masuk ke wilayah yang serba belum jelas itu.
Lalu, apa sebenarnya alasan konkret dia atau mereka begitu anti naturalisasi dan berupaya menyepelekan palatih STY? Tentu hanya mereka yang tahu. Buat saya, itu adalah bentuk kebebasan berpendapat.
Naturalisasi, Imigran, Koloni
Di dunia, sejak lama, ada tiga jenis pemain yang selama ini menjadi penghuni tim nasional berbagai negara. Ketiganya adalah: Para pemain yang berasal dari anak imigran. Lalu, pemain negeri koloni (jajahan). Dan yang ketiga, naturalisasi. Ketiganya jelas dan tegas bukan warga negara 100 persen.
Di Indonesia, yang saat ini sedang ramai dibahas hanya naturalisasi saja.
Menurut catatan Soccerphile: Jerman (4 kali juara dunia: 1954, 1974, 1990, 2014), Italia (1934, 1938, 1982, 2006), Argentina (1978, 1986), Prancis (1998, 2018), Inggris (1966), dan Spanyol (2010), adalah negara juara dunia yang tidak luput menggunakan para pemain dari ketiga sumber, dua, atau salah satu di antaranya.
Jerman misalnya, dari banyak pemain naturalisasi dan imigran, saya hanya mengambil dua saja sebagai contoh: Gerald Asamoah (Ghana) dan mesin gol Lukas Podolski (Polandia). Saya tak perlu menjabarkan siapa mereka, karena untuk penggila bola, keduanya sangat dikenal kehebatannya.
Lalu Italia, pelatih Luciano Spalletti, mempercayakan tim Gli Azzuri, ikuti dimotori oleh lima pemain yang tidak memiliki darah negeri spaghetti sama sekali. Bahwa lahir di Italia, itu karena orang tua mereka bermigrasi atau menjadi imigran. Mereka adalah: Emerson Palmieri (bek), Jorginho (gelandang) asal Brasil, Wilfried Gnoto, Koise Kean (penyerang) berdarah murni Pantai Gading, Stephan Shaarawy (penyerang) imigran Mesir,
Jauh sebelumnya Felice Borel, sudah memperkuat timnas Italia. Untuk anak milenial, nama ini sama sekali tidak dikenal, tapi sejarah mencatat warga Perancis yang lahir di Bagus, itu dinaturalisasi awal 1930an. Dan ia tercatat sebagai pemain yang membawa Italia merebut Piala Dunia ke-2, 1934.
Argentina sendiri yang melejit berkata kehebatan Mario Kempes dan Diego Maradona, ternyata dua bintangnya di era 1990-an, Gabriel Batistuta dan Claudio Caniggia, adalah anak-anak dari Imigran Italia. Padahal, Argentina yang memiliki populasi 37, 7 juta di tahun 2000, memiliki lebih dari 10 juta pemain bola dari berbagai tingkatan.
Prancis pun beberapa bintang yang sempat membawa negeri itu menjadi juara Eropa dan dunia, diperkuat oleh anak-anak imigran: Reymond Kopa (Polandia), Michel Platini (Italia), Youri Djorkaeff (Armenia), Robert Pires (Pirtugal), David Trezeguet (Argentina).
Kemudian, para pemain dari negeri bekas jajahan, Ibrahim Ba (Senegal), Marcel Desailly (Ghana), Chrustian Karembeu (New Caledonia), Thierry Henry (Guadalupe), Lilian Thuram (Guadalupe(, Zinedibe Zidane (Aljajair).
Dan yang paling menarik adalah Michel Platini, bintang Prancis yang mampu menggetarkan orbit bumi. Meski lahir di Joeuf, Perancis, ternyata dia anak seorang imigran Italia.
Kemudian Belanda yang sempat mengguncang dunia dengan Total Football 1974 dan 1978. Juga mengejutkan jagad dengan trio fenomenalnya: Ruud Gullit, Frank Rijkaard, Marco van Basten awal 1990an. Mereka juga tak dapat menghindari para pemain yang kemudian jadi bintang dunia tidak berdarah Belanda sama sekali.
Di awali oleh Simon Tahamata (Maluku, Indonesia), awal 1970an dinaturalisasi, KNVB melanjutkan dengan merekrut anak-anak dari negeri bekas jajahan, Suriname. Muncullah bintang besar Ruud Gullit, disusul Frank Rijkaard, Clerence Seedorf, Aaron Winter, Pierre Hooijdonk, Edgar Davis, Patrick Kluivert, dan banyak lainnya.
Jadi, negeri yang pernah menjadi juara dunia, Eropa, dan Amerika saja tidak tabu menggunakan pemain yang bukan 100 persen warganya, mengapa kita kok 'direcoki' untuk diperkuat oleh mereka yang punya darah Indonesia?
Jika dulu, 2009, saat, saya, sahabat Yesayas Oktovianus (Kompas), Reva Deddy Utama (antv), dan Erwiantoro (Cocomeo), ditugaskan oleh PSSI untuk membuka wacana naturalisasi ke Belanda, bersepakat hanya jalan pintas, sekarang saya sebagai pribadi justru mengukuhkan naturalisasi adalah jalan terbaik.
Tentu ada yang tidak sependapat, saya pun tidak keberatan. Toh setiap kita punya cara pandang masing-masing. Saya tetap menghormati mereka, sepanjang mereka tidak punya niat buruk di dalamnya.
Sungguh, apa yang sedang dilakukan oleh PSSI saat ini, tujuannya jelas untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa. PSSI yang dilahirkan 19 April 1930 untuk perjuangan, saatnya kini memetik hasilnya.
Kita berharap saatnya prestasi Merah-Putih sungguh-sungguh bisa kita banggakan. Kita berharap Merah-Putih dan Indonesia Raya dinyanyikan sesaat timnas kita akan berlaga di Piala Dunia.
Meski demikian, tak sedikit pun rasa hormat dan persahabatan saya pada Oom Liong Ho, satu-satunya saksi hidup sejak timas Olimpiade Merlbourne, 1956, Alm. Mas Gareng, Oom Sinyo Aliandu, Risdianto, Ronny Pati, Rully Neere, Bambang Nurdiansyah, Dede Sulaiman, Syamsul Arifin, Herry Kiswanto, Patar Tambunan, Hermansyah, serta seluruh mantan skuad tim nasional kita, berkurang. Kekaguman dan rasa bangga saya tetap tinggi pada mereka semua.
Begitu juga untuk FH Hutasoit, seorang pegawai Pemerintah DKI Jakarta, yang tak kenal lelah untuk membina di klub Jayakarta. Hutasoit merupakan tokoh yang hidupnya jauh lebih banyak di lapangan ketimbang di belakang meja sebagai pejabat.
Bagaimana pun juga, mereka telah berjuang dan telah mengabdikan diri untuk bangsa dan negara. Bukan sekedar cuap-cuap mencari kontroversi.
Demikian pula, saya tetap berterima kasih pada mantan para ketua umum serta pengurus PSSI dari zaman ke zaman. Mereka sudah berjibaku dengan niat yang luar biasa.
Tentu, rasa hormat yang tinggi saya haturkan untuk mantan Ketum Iwan Bule yang mengawali semua perjalanan ini.
Terpenting, terima kasih yang tak terhingga untuk Ketum Erick Thohir, Waketum Zainudin Amali, Ratu Tisha, serta seluruh esko PSSI dan Sekjen yang telah membawa PSSI ke jalur yang mendekati kebenaran.
Selamat ulang tahun PSSI, semoga sepakbola Indonesia bisa meraih kejayaan.
Aamiin ya Rabb
*M. Nigara, Wartawan Sepakbola Senior