Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Benua Eropa di Ambang Perang Nuklir
Ukraina didukung NATO menyerang instalasi radar sistem rudal antarbenua Rusia di Krasnodar dan Orenburg. Serangan ini bisa mengubah jadi perang Eropa.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Perang Dunia I dan II mengajarkan betapa penderitaan sangat hebat diderita manusia berikut semua peradaban yang mereka bangun.
Butuh waktu berpuluh tahun untuk membangun kembali puing-puing peperangan. Memulihkan seperti sedia kala tentu hal tak mudah.
Luka fisik dan jiwa akibat Perang Dunia II di Eropa terbawa hingga saat ini. Contohnya, holocaust menjadi isu paling sensitif di antara kekuatan dunia.
Holocaust adalah genosida kaum Yahudi di Eropa, para gipsi Roma dan golongan masyarakat kelas rendahan, oleh Nazi Jerman dan kolaboratornya.
Di Asia Timur, militer Jepang menyapu daratan dari Korea, China, Asia Tenggara, hingga Pasifik Selatan.
Kerusakannya yang ditimbulkan juga sulit digambarkan. Terlebih penderitaan masyarakat di berbagai pulau strategis di Indonesia pada waktu itu.
Baca juga: Rusia: Perang Nuklir Bisa Terjadi Jika AS Lakukan Ini di Ukraina
Baca juga: Perang Nuklir Apakah Bakal Segera Terjadi di Asia dan Eropa?
Baca juga: Rusia Siap Hadapi Perang Nuklir, Putin Ungkap Senjata Terkuat Rusia untuk Lawan Barat
Kini, bayang-bayang kengerian juga menghantui daratan Eropa. Perang di Ukraina membuka jalan pengulangan sejarah era 1940an.
Ada bayang-bayang menakutkan di masyarakat, tetapi segelintir elite yang berkuasa di berbagai pusat dunia barat, tidak mempedulikannya.
Rusia, satu di antara raksasa tidur di benua Eropa, ditantang dan diprovokasi dengan tujuan akhir dihancurkan.
Para penguasa di AS dan Eropa, saat ini seperti sedang membangun situasi agar pecah perang melibatkan kekuatan nuklir.
Peta konflik berubah. Rusia kini jadi musuh, setelah di masa PD II, Rusia bersama pasukan AS dan sekutu barat bahu membahu mengalahkan kekuatan Hitler.
Satu hal yang mendorong penggunaan kekuatan senjata untuk menghancurkan Rusia adalah naluri dari sifat imperialis barat.
AS sebagai superpower yang menikmati kemewahan mengontrol dunia selama beberapa dekade, ingin terus memaksakan kehendak mereka pada bangsa-bangsa di planet ini.
Pola pikir imperialis dan (neo) kolonialis seperti ini tidak berubah sedikit pun hingga saat ini.
Inggris, kolonialis dan imperialis sejati, kehilangan sebagian besar kekuasaannya, tapi mereka menggabungkan diri ke dunia barat yang dipimpin AS.
Dalam 80 tahun terakhir, negara-negara yang bertikai, secara drastis meningkatkan agresinya terhadap dunia, dengan puluhan negara sekutu, negara bawahan, dan satelit ikut bergabung.
Seringkali, dengan jalan melucuti negara-negara berdaulat (baik melalui subversi atau agresi langsung), dan mendongkel rezim yang tak mereka sukai.
Politik barat melindungi kebijakan tersebut. Sebagian mempertahankan koloninya, yang tidak hanya dieksploitasi secara maksimal, namun juga digunakan untuk menggoyahkan wilayah-wilayah lainnya.
Di Eropa Timur dan Eropa Utara, jalan ini ditempuh dengan target utamanya masih sama seperti 80 tahun yang lalu, yaitu Rusia.
Tentu kini harus ditambahkan China di Asia ke dalam “daftar yang harus dimatikan”, demi mempertahankan hegemoni dan meraih dominasi global.
Di Ukraina, ketika peluang untuk melakukan hal ini semakin dekat, NATO tampak menjadi semakin putus asa dibandingkan sebelumnya.
Sebaliknya, Kremlin semakin kuat seiring berjalannya waktu, terutama ketika rakyat Rusia melakukan mobilisasi untuk melawan perang proksi yang semakin terbuka dan langsung dari hari ke hari.
Elite di AS dan Uni Eropa secara terbuka telah berbicara tentang serangan langsung terhadap wilayah jauh di dalam Rusia.
Seorang senator AS yang dikenal tokoh penghasut perang, Michael McCaul, telah menyerukan perang melawan Tiongkok, demi mempertahankan dominasi industri semikonduktor.
Ia pun sejak lama sangat bersemangat mendorong Washington memulai perang langsungnya melawan Rusia.
Meski masih di level retorika di Capitol Hill dan Pentagon, dukungan terbuka mulai mengalir dari markas besar NATO di Brussels.
Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg, mendukung saran McCaul agar senjata jarak jauh dari NATO digunakan Ukraina untuk menyerang langsung target jauh di dalam wilayah Rusia.
Polandia, Slovenia Latvia, Lithuania, termasuk deretan negara Eropa dan Baltik yang menyatakan adalah hak Ukraina menggunakan senjata yang diberikan untuk menggempur wilayah Rusia.
Ini ide yang sesungguhnya sudah terjadi. Belgorod, Krasnodar, bahkan Moskow pernah diserang drone oleh Ukraina.
Negara-negara NATO terlibat secara tidak langsung lewat dukungan data dan elektronik ketika Ukraina menembakkan rudal Storm Shadow (Inggris), Patriot dan ATACM (AS), Scalp (Prancis).
Bahkan yang terbaru, Ukraina menyerang sistem radar strategis senjata balistik antarbenua (ICBM) Voronezh-M di Krasnodar dan Orenburg.
Sistem peringatan dini itu sebetulnya tidak difungsikan terkait operasi militer di Ukraina. Rusia akan mengaktifkan radar itu ketika senjata nonkonvensional digunakan dalam perang skala benua.
Ini menunjukkan para penyokong Ukraina memiliki agenda lain, menciptakan provokasi peperangan strategis yang akan menaikkan level konflik ke skala nuklir.
Ini pesan khusus kepada Moskow. Jika Rusia meledakkan nuklir, bahkan jika itu tidak membunuh siapa pun, AS akan menyerang semua Rusia di Ukraina dengan senjata nuklir. AS akan menghancurkan semuanya.
Ancaman tersebut tentu saja realistis jika negara yang dimaksud Serbia/bekas Yugoslavia, Suriah, Irak, Afghanistan, Libya atau salah satu dari lusinan negara lainnya, yang menjadi korban agresi politik barat yang terus-menerus terhadap dunia.
Namun mengancam Rusia adalah hal gila. Polandia, yang getol memasok senjata dan petempur ke Ukraina bisa lenyap jadi gurun radioaktif dalam hitungan detik.
Dalam hitungan menit, Rusia bisa menyapu kota-kota besar di Eropa menggunakan rudal balistik jarak menengahnya.
Doktrin nuklir Rusia menyatakan, arsenal pembunuh massal itu akan digunakan jika ada serangan serupa langsung ke wilayah Rusia.
Ini doktrin yang pada dasarnya digunakan negara nuklir manapun, senjata pembunuh massal ini adalah kekuatan cegah dan tangkal.
Banyak elite NATO merasa mereka bisa menghancurkan Rusia, meski kenyataannya mereka gagal memenangkan perang konvensional melawan raksasa Eurasia ini.
Rezim Kiev terus dijadikan proksi, dan kartel pemeras paling agresif di dunia ini bertekad untuk terus menggoreng “permainan nuklir” dengan Moskow.
Selain AS, pemimpin Inggris dan Perancis tampaknya mempunyai ilusi serupa.
Politisi sayap kiri Prancis, Marine Le Pen menuding, Presiden Macron hendak menyeret Prancis terlibat perang langsung dengan Rusia.
Ide Macron yang ingin mengirim instruktur militer NATO ke Ukraina dan mengizinkan Kiev menggunakan jarak jauh berisiko mengubah konflik saat ini menjadi “perang dunia” berikutnya.
Serangan terbaru Ukraina (NATO) terhadap aset-aset strategis nuklir Rusia seperti radar Voronezh-M adalah peluit awal dari mereka.
Tindakan seperti itu, sama saja dengan deklarasi perang, yang bakal menguji kesabaran Moskow. Meskipun Kremlin menunjukkan pengendalian diri luar biasa, tentu akan ada batas akhirnya.
Dmitry Suzlov, pakar di Lembaga Kebijakan Luar Negeri Rusia menyarankan pemerintah Moskow agar merespon pendekatan NATO ini secara elegan.
Satu di antara opsinya, menggelar latihan tempur taktis dan meledakkan senjata nuklir secara terbatas untuk demonstrasi publik.
Awan jamur ledakan senjata nuklir terbatas itu bisa dipertontonkan ke dunia agar menyadarkan para pemimpin politik barat tentang risiko penggunaan bom nuklir.
Perang nuklir di Eropa bukan mustahil terjadi, ketika para pemimpin politik barat benar-benar kehilangan akal sehatnya.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)