Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
DOWNLOAD
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Pendekatan Holistik untuk Penguatan Keselamatan Penerbangan

Berbagai kecelakaan dan insiden penerbangan yang membawa sorotan tentang pentingnya penerapan manajemen risiko yang komprehensif

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Pendekatan Holistik untuk Penguatan Keselamatan Penerbangan
ClickHowTo
ILUSTRASI KECELAKAAN PESAWAT - Manajemen risiko dalam industri penerbangan merupakan pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi, menilai, dan mengendalikan potensi risiko yang dapat memengaruhi keselamatan dan operasional pesawat udara 

Oleh : Ahmad Arafat Aminullah ST (Chairman Forum Dirgantara Muda C Associate Industri Strategis Gentala Institute)

TRIBUNNEWS.COM - Dan terjadi lagi... Kecelakaan pesawat udara yang memakan korban jiwa nahas adanya.

Jeju Air 2216 mengalami gagal landing ditengarai dipicu oleh bird strike, dan setelah go around dalam waktu yang singkat, pesawat melakukan belly landing, mengalami overrun hingga akhirnya menabrak tembok konkrit yang mengakibatkan fatal.

Hanya berselang sehari sebelumnya, pesawat KLM Royal Dutch dengan tipe pesawat yang sama terpaksa melakukan divert, ketika sesaat setelah pesawat take-off, diketahui mengalami problem sistem hidrolik - yang kemudian pada saat landing, pesawat mengalami skidding (tergelincir) hingga terlepas dari trek runway dan taxiway yang seharusnya.

Dua kejadian, di dua tempat yang berbeda, meskipun dengan jenis pesawat yang sama (Boeing 7373-800), namun memiliki outcome yang sama sekali berbeda: Jeju Air memakan fatalitas 179 korban jiwa, sementara KLM tanpa korban jiwa.

Apa pelajaran berharga yang bisa kita tinjau dalam perspektif "manajemen krisis" dari kedua airline ini? Dan khususnya pada kasus kecelakaan terkini Jeju Air, apa aspek manajemen krisis vis a vis manajemen resiko yang perlu disimak dan patut menjadi lesson learned bagi para pemangku kepentingan industri transportasi udara nasional?

Manajemen krisis memiliki definisi yaitu "untuk menjaga kelangsungan operasi dengan kemungkinan dampak yang minimum bagi perusahan dan pelanggannya".

Baca juga: Terkuak, Kotak Hitam Jeju Air Berhenti Merekam 2 Kilometer dari Landasan Pacu

Berita Rekomendasi

Manajemen krisis berkutat pada ketiga aspek berikut: 1. Ancaman [threat] terhadap organisasi/perusahaan; 2. Faktor yang tidak terduga [element of surprise]; 3. Rentang waktu yang singkat dalam pengambilan keputusan.

Manajemen krisis adalah suatu proses yang ditentukan di dalam sebuah organisasi untuk merespon kondisi/kejadian tertentu yang berpotensi mengganggu kelangsungan organisasi - ia bisa merupakan krisis yang tidak terduga, krisis teknologi, ataupun krisis akibat kesalahan implementasi [crisis of misconduct].

Adapun manajemen risiko dalam industri penerbangan merupakan pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi, menilai, dan mengendalikan potensi risiko yang dapat memengaruhi keselamatan dan operasional pesawat udara.

Manajemen risiko dalam industri penerbangan merupakan elemen kritis untuk memastikan keselamatan operasional.

Dalam beberapa tahun terakhir, wilayah Asia Pasifik, termasuk Indonesia, dihadapkan pada berbagai kecelakaan dan insiden penerbangan yang membawa sorotan tentang pentingnya penerapan manajemen risiko yang komprehensif.

Di samping itu, ragam insiden dan kecelakaan nahas yang sama hadapi oleh beberapa airline yang berbeda juga mengindikasikan implementasi manajemen krisis yang tidak seragam antara satu dengan yang lainnya.

Insiden maupun kecelakaan pesawat udara selalu menjadi momok yang ditakuti oleh manajemen perusahaan penerbangan, menjadi pemberitaan hangat di media massa, dan memicu sentimen publik yang negatif, karena selalu bernuansa tragedi.

Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan aspek keselamatan operasi penerbangan dan mengimprove operasi dan organisasi penerbangan yang lebih resilient adalah agenda yang harus dilakukan secara berkelanjutan dan holistic (menyeluruh).

Belajar Dari Kemalangan – Ketika Resiko Tak Selalu Bisa Dikelola

Kecelakaan Air Asia (ǪZ 8501), Sriwijaya Air (SJ 182), dan Lion Air (JT 610) – ketiganya terjadi di langit Nusantara – menghadirkan jejak kelam tersendiri dalam rekam jejak dunia transportasi udara dalam dekade terakhir.

Kecelakaan ǪZ 8501 menghentakkan kembali pentingnya urgensi kesadaran bahwa “kegagalan dan kecelakaan pesawat udara” terjadi akibat multi-faktor penyebab yang hadir dan saling-menyambung hingga kecelakaan tersebut tidak dapat dielakkan lagi.

Pun demikian dengan SJ 182 dan JT 610 yang memiliki alasan “kegagalan mekanikal/sistem” pada kasusnya masing-masing.

Baca juga: Keputusan Jeju Air Usai Kecelakaan: 1900 Penerbangan Dihentikan

Namun, benang merah dan faktor yang selalu ada dari ketiga kecelakaan tersebut adalah, “kegagalan kru di kokpit” untuk bisa memahami perkembangan situasi yang terjadi dan untuk memberi respon korektif secara tepat dan cepat (tanggap).

Dari kacamata “manajemen resiko”, kegagalan operasional pesawat tercipta sebagai konsekuensi dari kegagalan SDM-nya dalam mengidentifikasi problem, menilai situasi dan melakukan mitigasi serta reaksi yang diperlukan untuk menurunkan level-bahaya yang ada.

Thus, sekali lagi, faktor manusia (human factor) terbukti menjadi kontributor terbesar rata-rata (~45 persen) dalam statistik kecelakaan udara dari dekade ke dekade.

Pada kasus kecelakaan Jeju Air, indikasi pengaruh “human factor” dapat dilihat dari kealpaan/ketidakmampuan kru untuk menurunkan roda pendarat pesawat sesaat sebelum pesawat mendarat (menyebabkan pesawat terpaksa mendarat secara belly landing), ataupun posisi mendarat di tengah-tengah runway dengan kecepatan yang relatif masih sangat tinggi.

Pada kasus insiden KLM, indikasinya bisa dilihat pada trayektori pesawat yang bergeser ke atas rerumputan alih-alih tetap berada di trek taxiway yang benar.

Semua insiden maupun accident pesawat udara di atas memiliki rentetan sebab- akibatnya masing-masing, dan pertanyaannya adalah: apakah setiap resiko dan mata- rantai kejadian yang berpotensi menimbulkan resiko (hazards) telah diidentifikasi, dipetakan, dan diupayakan untuk dicegah/dimitigasi dengan paripurna?

Apakah setiap yang telah diidentifikasi benar-benar bisa di mitigasi dampaknya? Karena setiap celah pada mata-rantai kegagalan adalah potensi (faktor) kegagalan itu sendiri, dan setiap potensi [menurut Murphy’s Law] akan menjadi nyata – maka di titik inilah Manajemen Resiko yang strategis sangat membutuhkan Manajemen Krisis yang efektif.

Simbiosis Mutualistis: Strategi Mengelola Krisis di Balik Resiko

Industri aviasi merupakan industri yang secara inheren membawa "high risk" yang perlu diperhatikan dan dipersiapkan oleh pemangku kepentingan yang ada - operator juga regulator.

Oleh sebab itu, diperlukan inward-looking yang berorientasi pada jangka panjang untuk mengidentifikasi, melakukan assesment, memitigasi, menyiapkan contingency, hingga memonitor dan mengkomunikasikan potensi hingga propagasi resiko yang mungkin terjadi.

Industri aviasi juga membawa benih-benih potensi "high crisis" manakala krisis tersebut terjadi dan mengemuka. Untuk ini diperlukan outward-looking yang senantiasa berjalan kontinu untuk dapat memetakan unsur-unsur krisis yang mungkin terjadi dan bagaimana mempesiapkan dan merespon krisis tersebut bilamana terjadi.

Manajemen krisis bisa dianggap bersifat Makro, sementara manajemen resiko bersifat mikro. Namun meskipun demikian, perlu dilakukan pengkombinasian dan cross-over penerapan dan perencanaan strategis kedua perangkat manajemen ini - yakni manajemen resiko harus menjadi agenda stakeholder dan men-drive business objective, dan manajemen krisis harus mengambil ruang implementasi secara harian (regular) dalam keseluruhan aspek operasional.

Baik Manajemen Resiko maupun Manajemen Krisis sama-sama berurusan dengan upaya mengelola resiko - yang mana resiko merupakan konsekuensi dari terjadinya "hazards" di lingkungan organisasi dan operasi.

Dengan demikian, mengingat nature dari kedua hal ini senantiasa berkenaan dengan resiko, kita dapat memandang Manajemen Resiko dan Manajemen Krisis laksana dua sisi dari satu koin. Dan aspek pelaksanaan kedua hal ini berakar pada Budaya Organisasi dan Psikologi Organisasi.

Secara statistik, faktor Organisasi hanya berkontribusi sekira 5% pada seluruh kasus kecelakaan transportasi udara – merupakan faktor terkecil setelah aspek Human Factor, kegagalan teknis/mekanikal, dan faktor Cuaca.

Namun, tidak berlebihan kiranya untuk penulis menyatakan bahwa faktor terkecil ini (budaya/psikologi organisasi) memainkan peran yang sangat mendasar dan memiliki jangkauan yang jauh dalam memengaruhi faktor kontribusi lainnya.

Sebagai contoh, sebuah perusahaan airline memiliki kebijakan untuk tidak pernah mengijinkan menggunakan PMA parts, apatah lagi bogus parts, tetapi, sebuah perusahaan tersebut apabila memiliki kultur-manajemen dan sistem pengawasan yang buruk dan permisif, bisa saja berakhir menggunakan part yang tidak seyogyanya digunakan – dan dengan demikian bisa berujung fatal pada kejadian kecelakaan.

Di contoh yang lain, sebuah perusahaan yang mengalami dan dihadapkan pada banyak handicap operasional dan krisis finansial, misalnya, akan mampu bertahan dan terus beroperasi ketika manajemen perusahaan telah menetapkan kebijakan dan mengambil implementasi strategis untuk menjaga standar prosedur keselamatan, memenuhi kebutuhan training SDM (kru), dan memiliki sistem quality-audit yang paten juga terpadu.

Industri aviasi (airline) merupakan salah satu industri yang paling menantang, riskan, dan penuh disrupsi. Ia menjadi begitu "berbahaya" dan "beresiko" karena senantiasa berada pada "challenging environment", "high risk", “high capital/cost”, "minimal gain”, dan sederet atribusi yang negatif.

Kecelakaan pesawat yang telah terjadi sepanjang sejarah penerbangan menunjukkan bahwa pendekatan tradisional dalam mengelola risiko dan krisis secara terpisah (parsial) dan terfragmentasi tidak lagi memadai untuk menghadapi tantangan kekinian dalam industri aviasi.

Setiap satu kejadian insiden apalagi kecelakaan pesawat adalah hal yang sangat berbahaya dan disayangkan, dan upaya untuk mencegah kecelakaan tersebut harus mendapatkan prioritas nomor wahid sesungguhnya.

Menemukan dan meramu konsep, strategi dan pendekatan yang lebih holistik dan komprehensif adalah tanggungjawab bersama yang dipikul oleh setiap pihak yang menjadi building-block penyusun ekosistem kedirgantaraan (penerbangan).

Integrasi manajemen risiko dan manajemen krisis dalam industri penerbangan bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak.

Pendekatan holistik ini memungkinkan organisasi penerbangan untuk lebih efektif dalam mengidentifikasi, mencegah, dan menangani potensi masalah keselamatan.

Dengan mengadopsi framework terintegrasi, industri penerbangan dapat mencapai tingkat keselamatan yang lebih tinggi dan membangun ketahanan organisasi yang lebih kuat dalam menghadapi tantangan masa depan.

Framework ini perlu terus dikembangkan dan disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan perubahan dalam industri penerbangan.

Kolaborasi antara regulator, operator, dan pemangku kepentingan lainnya akan menjadi kunci keberhasilan implementasi pendekatan terintegrasi ini. Kita perlu selalu belajar dari kesalahan dan kegagalan masa lampau.

Tetapi, jauh lebih baik untuk menyiapkan jurus-yang-jitu (framework) untuk mengantisipasi perubahan zaman dan unprecedented threat yang akan menyertainya.

Di balik human factor, ada organizational factor, dan di antara keduanya, kita mesti berfokus pada simbiosis manajemen resiko dan manajemen krisis yang proaktif, sinergis, dan positif-konstruktif.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas