Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Momentum Persatuan Nasional dan Konsolidasi Ekonomi Rakyat
Persatuan nasional memang mengandaikan adanya perasaan senasib, persamaan kehendakuntuk bersatu, dan persamaan cita-cita.
Editor: Muhammad Zulfikar

Oleh: Dominggus Oktavianus Tobu Kiik, Aktivis Sosial Politik, Eks Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran
TRIBUNNERS - Sejarah memang berulang. Namun, bukan dua kali seperti dikatakan Hegel, filsuf termashyur itu. Bukan juga seperti di kemudian hari ditambahkan Karl Marx dengan frasa, “…pertama sebagai tragedi, kedua sebagai komedi”.
Ternyata puncak sejarah yang memunculkan tokoh besar dapat berulang lebih dari dua kali, sependek rentang waktu yang bisa diketahui. Konon, pemimpin Singosari bernama Kertanegara, sekira tahun 1268-1292, menggalang persatuan kerajaan dan kedatoan di Nusantara, sampai ke negeri-negeri yang sekarang menjadi negara anggota ASEAN seperti Malaysia, Vietnam, dan Kamboja, untuk “menghadang” ekspansi Kubilai Khan, penguasa separuh benua Asia saat itu.
Para pahlawan Indonesia, sejak permulaan 1900-an, saat-saat Proklamasi 1945, hingga pengakuan kedaulatan tahun 1950 m (kurang lebih selama setengah abad), mengukir capaian di atas Tanah dan Samudera ini; Persatuan Nasional untuk Kemerdekaan.
Saat itu “Kemerdekaan” dianalogikan oleh Sukarno sebagai “jembatan emas” menuju cita-cita tatanan masyarakat yang adil dan makmur. Politik persatuan kembali menguat di era 1960-an, meski dengan ironi keretakan yang berujung tragedi nasional.
Karenanya, zaman Pak Harto dimulai dengan perpecahan besar Bangsa Indonesia hingga menimbulkan trauma dan duka mendalam bagi kita semua, terutama bagi generasi yang tidak ada pada zaman itu tapi turut merasakan dampak-dampaknya hingga sekarang.
Pembangunan ekonomi meskipun dapat dilihat sebagian di antaranya strategis dan sangat bermanfaat (seperti infrastruktur pertanian, jalan, pendidikan, kesehatan, danhilirisasi beberapa sektor bagaimanapun mengandung kelemahan, seperti; i) melibatkan kapital asing dalam jumlah yang terlalu dominan serta posisi yang menentukan setidaknya dalam beberapa bidang ekonomi termasuk keuangan, (Richard Robinson, 2012), dan; ii) diorganisir dalam sistem yang saking “terpimpin”nya sehingga menjadi tidak “demokratis”. Kedua kelemahan ini mewariskan banyak persoalan di kemudian hari.
Upaya-upaya untuk memulihkan kepercayaan semua anak bangsa yang pernah atau masih merasa diperlakukan tidak adil agar sedia kembali bersatu, sudah pasti menemukan kendala-kendala. Tapi upaya ini penting terus dilakukan, salah satunya dengan menggelar dialog berkelanjutan dalam kerangka membangun optimisme Indonesia Emas, bukan cemas, gelap, kusut, dan lain sejenisnya.
Melihat ke depan tidak berarti melupakan sejarah, tapi sejarah dijadikan bekal pelajaran dalam perjalanan agar selamat lahir-batin sampai ke tujuan. Sembari mengkomunikasikan persatuan nasional yang lebih padu itu, ada titik-titik kritis ketika keputusan harus dibuat dan dijalankan tanpa harus menunggu.
Titik itu bersifat praksis, yang bisa dimaknai sebagai dialektika antara teori dan praktik,sehingga kebutuhan akan cara pandang yang filosofis (se-apa-pun pemahaman kita tentang ‘filosofis’ itu) jadi tak terhindarkan. Titik tersebut adalah capaian bersejarah untuk disimpulkan (menjawab “di mana kita kini?”) lantas, berakar pada kesimpulan itu, bisa merancang sesuatu yang dicita-citakan, dengan tahapan yang dimungkinkan oleh syarat-syarat obyektif dan metode atau taktik yang dipilih.
Titik di simpul itu menjelaskan keberadaan kita dalam arus perubahan dunia yang tidak terbendung. Benar-benar tidak terbendung. Ekonomi-politik dunia yang multipolar sudah menjadi kenyataan. Ledakan penggunaan teknologi super canggih terjadi dengan dampak-dampak sosialnya yang coba dinavigasi manusia.
Meski, ada saja, di sisi lain lembaga-lembaga multilateral masihlah peninggalan Perang Dunia II yang sudah perlu dievaluasi. Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Dewan Keamanan PBB, Bank Dunia (WB), Lembaga Moneter Internasional (IMF), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan lain-lain beserta ketentuan-ketentuannya sedang bersusah payah untuk tetap relevan-optimal dalam arus perubahan tersebut.
Titik tersebut serupa titik yang muncul pasca Perang Dunia II ketika negeri-negeri terjajah memperoleh momentum untuk merdeka, berdaulat, lepas dari cengkraman kekuatan-kekuatan besar yang sebelumnya bertarung.
Tentu ada perbedaan-perbedaan antara situasi pasca PD II dan sekarang. Salah satunya, dahulu AS yang dominan dengan semangat liberalismenya. Uni Soviet hanya sanggup membayangi dan hanya sampai tahun 1990. Sekarang Tiongkok dengan “Sosialisme berkarakter Tiongkok” yang melejit, sedangkan AS berada pada posisi yang cukup sulit, meski masih memegang lebih dari separuh kewenangan sistem keuangan dunia dengan dominasi dolar.


Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.