Sederet Masalah yang Dihadapi Perajin Batik
"Bahan bakunya yang dipakai masih impor, hanya 20 persennya yang dari lokal. Kain mori, zat kimianya, pewarnanya, semua impor".
Editor: Mohamad Yoenus
Laporan Wartawan Tribun Jateng, Raka F Pujangga
TRIBUNNEWS.COM, PEKALONGAN - Hari Batik Nasional yang ditetapkan pada 2 Oktober, masih menyisakan permasalahan serius bagi perajin batik.
Pengusaha Batik Rafina, Ali Jufri, menyampaikan terdapat tiga persoalan penting yang masih dialami perajin.
Pertama, bahan baku batik yang dirayakan setiap tahunnya tersebut 80 persennya berasal dari luar negeri.
"Bahan bakunya yang dipakai masih impor, hanya 20 persennya yang dari lokal. Kain mori, zat kimianya, pewarnanya, semua impor," kata dia, di Kelurahan Poncol, Kota Pekalongan, Jumat (2/10/2015).
Kedua, meski sudah diakui UNESCO, batik masih menjadi barang yang sulit tembus ke pasar dunia karena untuk mendaftarkan mereknya sangat mahal.
Dia menjelaskan, masih banyak pengusaha yang tidak mampu mendaftarkan mereknya ke pasar internasional karena biayanya mahal mencapai Rp 50 juta per merek.
"Jika di Indonesia hanya Rp 1.350.000 per merek selama 10 tahun. Di luar negeri, sekitar 4.000 dolar Amerika atau setara Rp 50 juta per merek. Bayangkan saya harus keluarkan berapa duit jika saya punya 20 merek," kata dia.
Ketiga, masuknya kain bermotif batik dari China yang harganya lebih murah dibandingkan produk dalam negeri.
Dia mengharapkan, adanya pembatasan produk kain bermotif batik tersebut untuk menyelamatkan produksi dalam negeri.
Setiap pengusaha batik memilih caranya sendiri dalam menjalankan strategi bisnis.
Satu di antaranya, Ali Jufri pemilik Batik Rafina, yang memilih untuk membuat desain-desain batik yang terbaru dalam satu bulan.
"Desain-desain batik yang baru, itu membuat penjualanya juga baik. Sebenarnya ini rahasia dapur, tapi nggak apa-apa saya berbagi," kata dia, Jumat (2/10).
Alasannya, kata dia, konsumennya yang kebanyakan adalah wanita itu akan tertarik pada desain yang baru.
Meski sudah memiliki busana batik, wanita akan cenderung membeli lagi karena desainnya yang berbeda. (*)