Rektor Unsri Kocok Perut Mahasiswa
Pentas ini pun dikenal sebagai Dul Muluk pada awal abad ke-20.
Editor: Mohamad Yoenus
Laporan Wartawan Sriwijaya Post, Igun Bagus Saputra/ Refly Permana
TRIBUNNEWS.COM, PALEMBANG - Universitas Sriwijaya (Unsri) menggelar pertunjukkan Dul Muluk, sebuah sandiwara tradisional khas Sumatera Selatan saat Dies Natalis ke-55 Unsri, Jumat (30/10/2015).
Ada yang berbeda saat Dul Muluk kali ini.
Selain diisi pemain yang sudah professional, beberapa petinggi kampus Unsri memainkan perannya di seni panggung.
Tak terkecuali Rektor Unsri, Profesor Dr Badia Perizade MBA.
Lawakannya mengocok perut penonton yang didominasi oleh mahasiswa.
Pertunjukkan seni drama Dul Muluk jadi pilihan utama akademisi Unsri saat Dies Natalis ke-55.
Tujuan mereka hanya ingin membuktikan jika orang yang sehari-harinya bekerja tak sekedar menyukai kesenian daerah, tapi mampu memainkan peran layaknya profesional.
Dul Muluk dikenal dikenal sebagai kesenian khas Sumsel.
Semua bermula saat seorang pedagang keturunan Arab bernama Wan Bakar, membacakan syair tentang Abdul Muluk di sekitar rumahnya di kawasan Tangga Takat, 16 Ulu.
Acara itu menarik minat masyarakat sehingga semua orang datang berkerumun.
Agar lebih menarik, pembacaan syair disertai peragaan oleh beberapa orang dan ditambah iringan musik.
Pentas ini pun dikenal sebagai Dul Muluk pada awal abad ke-20.
Pada masa penjajahan Jepang sejak tahun 1942, seni rakyat itu berkembang menjadi teater tradisi yang dipentaskan dengan panggung.
Dalam dul muluk terdapat lakon, syair, lagu-lagu Melayu dan lawakan berbahasa Palembang.
Akting pemain di panggung dibawakan secara spontan dan menghibur.
Penonton pun bisa membalas percakapan di atas panggung.
Kesenian ini biasanya dipentaskan setiap ada pesta pernikahan.
Kadang juga digelar semalam suntuk. Pamor kesenian daerah ini lah yang ingin diangkat lagi oleh pihak Unsri.
“Saya dulu sering melihat Dul Muluk, namun sekarang sudah jarang. Jadi, sudah selayaknya remaja kembali menggiatkan kesenian ini. Kalau tidak, tentu akan punah,” kata Badia. (*)