Ketika Dapur Nagara Bersaing dengan Kompor Gas
Menurut Salmah, sejak program konversi minyak tanah ke gas, berdampak besar pada produk unggulan, yaitu dapur.
Editor: Mohamad Yoenus
Laporan Wartawan Banjarmasin Post, Hanani
TRIBUNNEWS.COM, KANDANGAN - Langit di Desa Bayanan, Kecamatan Daha Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) Kalimantan Selatan terlihat cerah.
Terik matahari pun terasa membakar kulit. Dua perempuan, Ida (30) dan Salmah (45) tak peduli cuaca panas itu.
Mereka tetap fokus dengan pekerjaannya. Menempa tanah kemudian membentuknya, dengan cara memutar menggunakan alat khsusus.
Selanjutnya, menjadi aneka produk gerabah (perkakas dari tanah liat yang diolah).
Antara lain tungku atau yang disebut warga setempat dapur. Adapula panai (alat penutup loyang saat membuat kue bakar).
Dalam sehari, mereka rata-rata menghasilkan 100 biji produk gerabah.
Khusus menempa atau membentuk tanah menjadi produk, kebanyakan dilakukan kaum perempuan.
Sedangkan para lelaki, mencari tanah liat di dasar perairan rawa, serta membakar gerabah yang sudah dibentuk ke dalam tempat pembakaran khusus.
Ida, salah satu perajin mengatakan, sudah menggeluti usaha membuat gerabah ini, lebih dari 20 tahun.
Namun, dia hanya menjual gerabah jenis panai. 100 panai yang dibuatnya per dua jam sehari, dijual Rp 130 ribu.
Sedangkan produk sudah jadi, dijual pedagang di pasaran antara Rp 5.000 sampai Rp 6.000 di tingkat eceran.
Menurut Ida, usaha ini memang tak butuh modal besar, dan selalu ada yang membelinya, yaitu pedagang pengumpul.
Merekalah yang memasarkannya ke berbagai daerah di Kalsel. “Kami hanya sebatas mengolahnya,” katanya.
Perajin gerabah lainnya, Salmah. Bersama suaminya Supian dia membuat aneka produk gerabah.
Seperti halnya pembuat gerabah lain, sehari dia menghasilkan 100 produk.
Beda dengan Ida, yang tak lagi membuat dapur dengan alasaan peminatnya mulai berkurang, Salmah membuat berbagai produk inovasi.
Seperti celengan, guci, miniatur. Celengan dibentuk dengan aneka buah-buahan dan boneka tokoh animasi atau karton.
Misalnya, hello Kitty, spongebob dan angry bird, sebagai cindera mata.
Menurut Salmah, sejak program konversi minyak tanah ke gas, berdampak besar pada produk unggulan, yaitu dapur.
"Sekarang, permintaan dapur jauh menurun drastis. Dulu waktu harga minyak tanah mahal, dan program pembagian kompor gas belum ada, permintaan sempat naik,” tuturnya.
Penggunaan kompor gas, setelah konvensi tersebut berdampak pada kejayaan produk gerabah di Desa Bayanan yang dulunya terkenal dengan Kampung Padapuran tersebut.
Jika dulunya hampir semua warga menggeluti usaha itu, kini bisa dihitung dengan jari.
“Sekarang unit usahanya tak sampai 10 orang lagi,”tutur Jam’ah, perajin gerabah lainnya.
Untuk bisa bertahan dan eksis dengan usaha gerabahnya itu, inovasi produk seperti dilakukan Salmah pun di lakukan perajin lainnya.
Selain membuat celengan buah, panai dan boneka karakter film animasi, mereka pun berupaya memenuhi selera pasar.
“Misalnya membuat semacam kendi, untuk merebus resep tradisional. Pemesan bilang, merebus ramuan tradisional lebih aman menggunakan alat dari tanah ketimbang di panci aluminium. Akhirnya kami produksi juga. Alhamdulillah, mulai laku,” kata Jam’ah.
Menurut para perajin, kunci agar tetap eksis di dunia usaha, adalah melakukan inovasi produk. Sebagian warga Bayanan, sepertinya memahami hal tersebut.
Camat Daha Selatan, Safwan mengatakan, warga Nagara memang terkenal dengan kreativitasnya.
Hidup di lingkungan perairan rawa-rawa dengan hanya memiliki potensi perikanan dan peternakan, memaksa mereka harus kreatif mencari peluang usaha.
Dan itu sudah dibuktikan masyarakat Daha yang kini menjadi pusat industri kecil di kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Mereka tak hanya pandai membuat produk gerabah. Tapi juga pandai mengolah besi menjadi aneka senjata tajam, membuat aneka aksesoris, serta membuat alat transportasi air. (*)