Kisah Pilu 'Layangan Putus', Mengapa Perempuan Mau Menjadi Pelakor? Begini Kata Psikolog Keluarga
Kisah pilu layangan putus bisa menjadi pelajaran, lantas mengapa pria bahagia bisa selingkuh? ini jawaban dari Psikolog keluarga
Penulis: Inza Maliana
Editor: Miftah
Dalam cerita layangan putus yang viral, kebanyakan dari masyarakat menganggap penyebab perceraian adalah pihak ketiga atau si pelakor.
Namun menurut Adib Setiawan, bisa saja sang pelakor itu yang menjadi korban.
"Pelakor itu sebenarnya menurut saya bisa aja korban. Dalam situasi psikologis biasanya pelakor itukan kesepian, mungkin orang tuanya kurang memperhatikan sehingga dia mencari perhatian orang lain dan ketemulah dengan lelaki dan secara kebetulan orang itu sudah beristri," ujar Adib.
Cerita layangan putus bukan mencari siapa yang salah dan benar.
Namun bisa mencari sebagai pembelajaran untuk mengontrol keinginan yang menggebu tanpa memperhatikan resiko kedepan.
"Orang kalau sudah berkeinginan kan kadang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan. Kalau menurut saya yang salah itu pelaku di awal. Kalau dalam kasus layangan putus yang salah adalah suaminya. Karena suaminya ini akan mendekati pihak ketiga istilahnya pelakornya," jawab Adib.
Dilansir melalui Fatherly.com, menurut Survei Sosial Umum, sekitar 20 persen pria mengaku selingkuh, dibandingkan dengan 13 persen wanita.
Seorang ayah bisa menipu lebih sering.
Perkiraan ada sekitar 10 persen dari ekspetasi ayah itu berselingkuh pada istri mereka yang sedang hamil.
Ada alasan untuk percaya bahwa perlawanan pria terhadap godaan lebih kuat ketika dia baru menikah.
Lantas mengapa lelaki yang bahagia dengan pernikahannya bisa berselingkuh?
Beberapa orang mungkin selingkuh karena mereka tidak puas, tetapi, aturannya, pria tidak selingkuh karena mereka tidak bahagia.
Pria selingkuh karena mereka pikir mereka bisa lolos begitu saja dan karena mereka rela membiarkan diri mereka lolos dalam perselingkuhan begitu saja.
Selingkuh, anehnya, adalah perilaku yang dapat menyulitkan untuk menjadi ayah dan suami yang baik, tetapi juga perilaku yang tidak ada berkorelasi dengan cinta atau perhatian keluarga.