Manakah yang Harus Mengendors National Brand Indonesia?
Pertanyaan ini mengakhiri 45 menit presentasi Menpar Arief Yahya di Forum BUMN Brand & Marketing Day 2016.
TRIBUNNEWS.COM - Pertanyaan ini mengakhiri 45 menit presentasi Menpar Arief Yahya di Forum BUMN Brand & Marketing Day 2016 dengan tema “Branding Concerto” yang diinisiasi Majalah BUMN Track di Grand Ballroom, Pullman Hotel, di Central Park, Jakarta.
Mana yang paling masuk akal untuk mengenders national brand Indonesia? Forum round table itu pun beberapa detik terdiam, tidak sadar bahwa kalimat tanya dari stage 12 meter itu adalah closing statemen Menpar yang mantan Dirut PT Telkom Indonesia.
Tak sulit menjawabnya. Karena paparan itu lengkap antara benchmark, best practice, dan teori di level global, yang diranking oleh Simon Anholt, pionir konsultan National Branding The Anholt GfK Roper Nation Brand Index tahun 2015. Sepuluh besar brand dunia adalah Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Prancis, Canada, Jepang, Italia, Swiss, Autralia dan Swedia.
Dia meneliti dari 6 unsur yang dia sebut National Brand Hexagon: yakni tourism, people, export, culture and heritage, governance, investment and immigration. Anholt sudah menangani lebih dari 50 negara di dunia.
Arief Yahya juga memaparkan rumus dari resit Kasper Nielsen, Executive Partner of Reputation Institute. Ketika country reputation naik 10%, maka tourist akan naik 11% dan investasi naik 2%. Arief Yahya juga menjelaskan, apa yang dilakukan Coca Cola, The World’s Best Brand Builders.
“Pesan yang ditangkap oleh public seluruh dunia akan Coca Cola adalah refresh. Mission-nya to refresh the world, to inspire moments of optimism and happiness, to create value and make a difference! Dia sukses, dengan taglin: teste the feeling,” jelas Arief Yahya.
Arief Yahya juga punya experience sebagai professional yang pernah membranding Telkom dengan semua produknya, seperti Telkomsel. Kartu AS, Simpati, Flexy, Speedy dan lainnya. Ada contoh bagus yang dipaparkan Arief Yahya, sewaktu memimpin perusahaan telekomunikasi itu.
“Brand itu ada value-nya. Ketika saya menjadi Dirut Telkom, value-nya USD 2M, sedangkan anak perusahaannya Telkomsel, tiga kali lipat lebih besar, yakni USD 6M. Maka, Telkomsel yang brand value-nya lebih besar mengendors induknya, Telkom. Dan itu biasa saja. Yang kuat mengendors yang lemah,” kata Arief Yahya.
Saat memimpin Kemenpar, dia juga mencontohkan. Brand Bali dalam tourism itu jauh lebih besar daripada Indonesia. Bali adalah destinasi utama dengan 40% pintu masuk wisatawan mancanegara, karena itu jauh lebih popular. Sampai-sampai banyak yang lebih sering mendengar kata-kata Bali daripada Indonesia.
“Bali sudah top of mind di toursm, karena itu Bali mengendors Wonderful Indonesia. Setiap promosi Pariwisata selalu dikait dengan Bali sebagai destinasi yang mendunia. Dan itu juga sudah terjadi,” ujar Arief Yahya.
Dalam hal produk komersial, saling mengendors itu juga lazim. Lagi-lagi dia mencontohkan Nestle, sebagai corporat brand, yang mengendors produk-produknya, seperti Pure Life by Nestle (minuman dalam kemasan), KitKat produk cokelat, dan susu Milo. Semua brand itu ditempel logo corporate: Produk Neste.
Di sinilah, Arief Yahya menegaskan kembali prinsip dalam mengelola korporasi maupun Kementerian sekarang. Berawal dari akhir. Maka, dia bertanya, apa ujung dari branding sebuah negara?
Dia simpulkan 3 hal, yakni TTI. Dulu lazim disebut Trade, Tourist, Investment, dan menurut dia, sekarang dalam konteks Indonesia sudah menjadi Tourism Trade dan Investment. Jangan memulai dari nol lagi, terlalu jauh, terlalu lama, terlalu berbiaya.
Sebenarnya apa makna brand dan logo Wonderful Indonesia?
Chief Editor BUMN Track Ahmad Khusaeni menyebut reputasi brand Wonderful Indonesia sudah sangat mendunia. Dia terus mengamati TTCI World Economic Forum yang menempatkan brand Pariwisata Indonesia itu menembus peringkat 47.
“Itu bukan pekerjaan ringan. Dan itu bukti bahwa brand Wonderful Indonesia makin popular di dunia,” kata Khusaeni.
Dia setuju bahwa PR-ing yang diturunkan dalam bentuk Branding itu sangat penting dan menentukan seperti apa wajah yang ingin dicitrakan di pasar dunia. Dia juga setuju dengan statemen Menpar Arief Yahya bahwa PR itu Promise, untuk Reputation. Dia juga sependapat bahwa ujung dari national branding adalah TTI, tourism trade investment.
“Kalau Tourism kita sudah sangat kuat, dan menduduki peringat pertama, mengapa bukan tourism saja yang mengendors yang lain?” katanya.
Bagi Indonesia, kata mantan Pemimpin Redaksi LKBN Antara itu, trend itu sudah on the right track.
“Pariwisata akan menjadi sumber pendapatan Negara yang utama. Pariwisata akan menjadi bebek emas nomor satu devisa Negara. Ketika pendapatan migas turun, Pariwisata cenderung naik dari waktu ke waktu. Betul Kata Pak AY, nanti sumber pendapatan Negara itu tidak lagi dikategorikan sebagai migas dan non migas. Tapi Pariwisata dan Non Pariwisata!” ujarnya.
Ahmad Khusaeni juga menjelaskan, dunia sekarang terjadi trend disruptive marketing, dimana terjadi penciptaan pasar baru dari kalangan anak muda dan level menengan bawah. Yang tadinya mereka tidak dijadikan target market. Ini terbukti, dari sukses budget airline atau LCC (low cost carrier), budget hotel, sehingga semua orang bisa berwisata.
“Sedangkan anak-anak muda menjadi generasi milenial yang senang leisure dan narsis di media sosial. Jadi Pariwisata akan menjadi bisnis yang luar biasa menguntungkan,” kata dia.
Brand yang dibangun dengan Wonderful Indonesia itu, nantinya akan semakin mempercepat popularitas destinasi baru yang dipromosikan. Seperti 10 top destinasi wisata yang sering disebut dengan 10 Bali Baru dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata yang sedang getol dikembangkan Kemenpar.