Mantan Dirut Merpati Akui Sulit Lurus di BUMN
Mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan, mengakui sulitnya menjadi direksi di Badan Usaha Milik Negara.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan, mengakui sulitnya menjadi direksi di Badan Usaha Milik Negara. Pasalnya, kebijakan apapun yang diambil, jika akhirnya merugikan keuangan negara, akan dipidanakan.
"Hidup lurus di BUMN sulit. Setulus dan selurus apapun direksi, pada akhirnya mereka bisa menerima surat panggilan dalam amplop coklat buat suatu perkara," kata Hotasi saat membacakan nota pembelaan (Pledoi) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (22/1/2013).
Dalam pledoi berjudul 'Kami Korban Kejahatan Orang Lain', Hotasi kecewa lantaran ditetapkan menjadi tersangka korupsi penyewaan pesawat oleh Jaksa Agung Muda Pidana Khusus pada Kejaksaan Agung.
Menurutnya hal itulah yang membuat anak, istri, dan keluarganya sangat sedih mendengar kabar tersebut. Terlebih, diklaim dia, kebijakan berbeda dengan tindak pidana korupsi.
"Saya galau. Mengapa Pidsus Kejaksaan memaksakan perkara ini masuk pengadilan. KPK, Bareskrim, BPK, Jaksa agung Muda Tata Usaha Negara sudah menyatakan hal itu bukan tindak pidana korupsi," kata Hotasi.
Karena itu, pada pledoinya, Hotasi keukeuh menyatakan jika telah mengambil keputusan penyewaan pesawat dengan kehati-hatian. Bahkan, keputusan itu diambil secara kolektif kolegial dengan dewan direksi, demi kepentingan perusahaan.
"Jika kebijakan perusahaan bisa dipidana. Akibatnya, direksi BUMN makin lambat mengambil keputusan, ruang gerak terbatas, dan sebagian besar direksi tidak bisa tenang setelah pensiun," imbuhnya.
Hotasi dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan. Jaksa menilai Hotasi terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor.
Hotasi disebut tidak memasukkan rencana sewa pesawat dalam rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP). Dia juga membayarkan security deposit sebesar 1 juta dollar Amerika tanpa mekanisme rekening penampung melainkan langsung dibayarkan ke rekening Hume and Associates yang ditunjuk TALG.
"Padahal belum ada penandatangan purchase agreement dengan Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG)," sebut jaksa dalam tuntutannya.
Sementara kerugian keuangan negara terjadi karena Hume and Associates mencairkan security deposit tersebut. Uang itu kata jaksa, dinikmati pimpinan TALG Alan Messner (US$ 200 ribu) dan Jon C Cooper (US$ 800 ribu).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.