TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah telah menetapkan kebijakan tarif cukai hasil tembakau (CHT) 2022 naik rata-rata 12,5%. Hal ini berdasarkan keputusan rapat internal kabinet yang dipimpin Presiden RI pada tanggal 13 Desember 2021.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, dalam sebuah wawancara pada Jumat (07/01/2022), mengungkapkan beberapa hal penting di balik keputusan tersebut.
"Penentuan tarif cukai ini membutuhkan proses yang panjang, sebelumnya kami sudah berdiskusi dengan asosiasi industri rokok, Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Kesehatan, dan lainnya. Juga, karena penentuan tarif ini memenuhi kriteria Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2021, yaitu termasuk kebijakan yang berdampak pada masyarakat banyak, bersifat strategis, dan melibatkan antar kementerian/ lembaga, maka harus diputuskan sampai batas Presiden, hingga mendapatkan angka rata-rata tertimbang 12,5%," ujarnya.
Kenaikan tarif cukai tersebut, menurut Nirwala telah mempertimbangkan aspek kesehatan, keberlangsungan tenaga kerja, pemberantasan rokok ilegal, dan penerimaan negara.
"Pemerintah tidak hanya fokus pada economic growth atau inflasi, tetapi juga faktor pengendalian dari kebijakan cukai, yang menjadi resultan dari empat elemen, yaitu kesehatan, industri termasuk memerhatikan supply chain-nya, yaitu petani tembakau dan tenaga kerja yang terlibat, rokok ilegal, dan penerimaan negara."
Di bidang kesehatan, kenaikan cukai ini diharapkan meningkatkan fungsi cukai yang sesungguhnya, yaitu pengendalian konsumsi dan pengawasan peredaran terhadap barang berbahaya yang mengganggu kesehatan masyarakat, khususnya rokok.
Hal ini juga merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, melalui penurunan prevalensi merokok, khususnya usia 10-18 tahun yang ditargetkan menjadi 8,7 % di tahun 2024.
Sedangkan untuk mengantisipasi keberlangsungan petani tembakau, Nirwala menegaskan bahwa pemerintah telah menyiapkan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) untuk petani tembakau yang dialokasikan setidaknya untuk subsidi harga, peningkatan kualitas bahan baku, iuran jaminan produksi, dan bantuan bibit/benih/pupuk/sarana dan prasarana produksi.
"Begitu pun untuk para tenaga kerja terdampak, kami sudah mengalokasikan DBHCHT yang secara spesifik ditujukan kepada para tenaga kerja dalam bentuk pemberian bantuan langsung tunai, pelatihan keterampilan kerja, dan bantuan modal usaha. Selain itu, untuk industri sigaret kretek tangan (SKT) yang menyerap banyak tenaga kerja, tarif cukai hanya naik maksimal 4,5%," lanjutnya.
Disebutkan Nirwala, mengingat skema cukai bersifat multidimensi, maka kenaikan tarif cukai selain berfungsi untuk mengendalikan konsumsi, juga memberikan pengaruh positif terhadap penerimaan negara.
"Target penerimaan cukai hasil tembakau konsisten tercapai selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2021, berhasil terkumpul Rp188.811,48 miliar dari target Rp173.780,90 miliar atau tercapai 108,65%. Atas hal ini, kami mengapresiasi kepatuhan para pelaku industri rokok dan upaya aparat penegak hukum dalam mengontrol peredaran rokok ilegal. Bersamaan dengan fungsi revenue collector ini pun, kami juga memastikan pelayanan yang prima untuk menjaga keberlangsungan industri melalui penyediaan dan distribusi pita cukai dan mitigasi atas dampak kebijakan yang berpotensi mendorong rokok ilegal," tutupnya. (*)