Kedua, adalah masalah promosi pariwisata Indonesia di Jepang. Departemen Pariwisata sebenarnya punya rencana membuka Kantor Promosi Pariwisata Indonesia di Jepang dan di Australia kembali dengan uang dari VOA. Kenyataan yang ada tidak ada realisasi hingga saat ini setelah sedikitnya lima tahun berencana demikian. Sebaliknya uang untuk membuka kantor itu malah perlu dipertanyakan ke mana larinya saat ini.
Wisatawan Jepang adalah salah satu jumlah terbesar dari wisatawan asing yang masuk ke Indonesia. Bahkan tahun 2002 sebelum bom Bali pertama meledak tanggal 12 Oktober, jumlah wisatawan Jepang ke Bali hampir 700.000 orang per tahun. Kini memang hampir menyerupai angka itu lagi setelah orang Jepang merasa nyaman dan aman terhadap Bali. Berarti sedikitnya lima tahun baru kepercayaan balik kembali terhadap bali.
Jumlah tersebut penulis yakin dapat dilipatgandakan apabila Kantor Promosi Pariwisata Indonesia dibuka di Tokyo. Masalah tampaknya muncul dari DPR yang akan mempertanyakan ke mana uang VOA itu saat ini, mengapa baru sekarang dibuka Kantor Promosi Pariwisata di Tokyo, mengapa menunjuk si ABC sebagai pengelola dan sebagainya.
Pertanyaan yang bakal sangat ketat itulah tampak membuat pejabat Departemen Pariwisata enggan untuk mengaktifkan Kantor Promosi Pariwisata Indonesia di Tokyo. Jelas hal ini perlu dipertanyakan, bukan?
Dengan uang 127,5 juta dolar, katakanlah 10 persen saja untuk Kantor di Tokyo berarti 12,75 juta dolar, jauh lebih dari cukup menghidupkan dan mempopulerkan Indonesia lebih lanjut. Mengapa? Karena anggaran Malaysia saja hanya 4 juta dolar per tahun dan mereka sangat berhasil mempopulerkan Visit Malaysia di Negeri Sakura itu.
Lalu kapan Indonesia mau bergerak? Tunggu petunjuk Presiden? Kembali ke zaman Soeharto lagi mungkin.
Informasi lengkap lihat: http://www.tribunnews.com/topics/tips-bisnis-jepang/
Konsultasi, kritik, saran, ide dan segalanya silakan email ke: info@promosi.jp
*) Penulis adalah CEO Office Promosi Ltd, Tokyo Japan, berdomisili dan berpengalaman lebih dari 20 tahun di Jepang